Apa itu Radikalisme?

Assalamu’alaikum wr. wb. Ustadzah, apa yang dimaksud dengan radikalisme? Apakah berbahaya sehingga perlu upaya deradikalisasi yang masif baik di masyarakat melalui pengajian di masjid, sekolah, kampus, bahkan di pesantren? Mohon penjelasannya karena pembahasan ini cukup marak di lingkungan kami. Terima kasih atas penjelasannya. Wassalamu’alaikum. wr. wb. Ibu Ratna – Malang, Jawa Timur

Jawab:

suaramubalighah.com | Wa’alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh. Ibu Ratna yang dirahmati Allah… Benar sekali yang Ibu sampaikan bahwa sekarang sedang ada opini terkait ancaman ‘radikalisme’. Upaya ini dilakukan secara terstruktur dan masif seolah-olah ancaman tersebut sudah di depan mata dan mendesak untuk segera dilawan.

Benarkah di negeri ini tengah terjadi radikalisasi yang mengancam keamanan masyarakat? Ataukah opini ini sengaja dibuat untuk menjatuhkan pihak tertentu? Untuk mendapatkan jawaban yang tepat, selayaknya kita mulai dari pemahaman yang benar tentang radikalisme itu sendiri.

Kamus Merriam Webster mengartikan “radikal” sebagai opini atau perilaku orang yang menyukai perubahan ekstrem, khususnya dalam pemerintahan/politik. Kamus Inggris lainnya, Oxford Dictionary, memahami ‘radikal’ sebagai orang yang mendukung suatu perubahan politik atau perubahan sosial yang menyeluruh, seorang anggota dari suatu partai politik atau bagian dari partai politik yang melakukan upaya tersebut.

Jika kita memperhatikan definisi radikal versi kedua kamus tersebut, nampak bahwa kata radikal bermakna netral. Tidak mengandung tendensi atau penilaian apapun terhadap siapa saja yang dilabeli radikal. Siapa pun bisa dicap radikal manakala menginginkan terjadinya perubahan yang menyeluruh. Sebagai contoh, sepanjang abad ke-19, para aktivis antiperbudakan (abolitionists) di Amerika Serikat pun kerap dijuluki radikal oleh lawan-lawan mereka.

Dalam perkembangan berikutnya, ternyata telah terjadi pergeseran makna, bahkan langsung mengerucut bahwa yang disebut radikal itu lebih dominan mengarah kepada ajaran Islam. Akhir-akhir ini sering diberitakan beberapa kejadian yang dituduh bermuatan radikalisme, yang sebenarnya merupakan syiar Islam yang selama ini sudah biasa terjadi di tengah-tengah umat Islam dan tidak ada yang memperkarakannya.

Salah satu contohnya, peristiwa cukup mengagetkan terjadi di tahun 2017: “Tepuk Anak Soleh” menjadi polemik di Banyumas setelah Ketua Himpunan PAUD Indonesia (Himpaudi) Banyumas, Khasanatul Mufidah, mempertanyakan lirik lagu ini dalam pertemuan forum Pokja Pendidikan Keluarga (Dikkel) Kabupaten Banyumas. Dia mengaku menerima banyak masukan dari wali siswa agar kalimat kontroversial itu dihilangkan.

Lirik lagu yang selama ini sudah familiar di kalangan keluarga muslim dan selalu disuarakan anak-anak TK ini dituduh bermuatan radikal gara-gara mengandung kalimat ‘Islam yes, kafir No’. Bukti lain yang masih terus berlangsung adalah tuduhan radikal terhadap bendera tauhid. Tidak ketinggalan, Menteri Pertahanan pun ikut bersuara, bahwa tiga persen anggota TNI telah terpapar radikalisme karena diduga setuju dengan ide Khilafah.

Khilafah adalah ajaran Islam, tercatat dalam sirah telah diterapkan oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta para sahabat sepeninggal beliau dan dilanjutkan oleh para Khalifah berikutnya sampai yang terakhir di Turki 1924.

Dari berbagai fakta tersebut bisa disimpulkan bahwa di negeri ini, bahkan di seluruh belahan dunia tengah terjadi pembohongan publik. Tuduhan radikal senyatanya sengaja dibuat sebagai alat untuk menyudutkan dan mengkriminalkan ajaran-ajaran Islam, ulama, serta para pengemban dakwah Islam.

Deradikalisasi yang digencarkan di berbagai kalangan termasuk di lingkungan pesantren, bisa dipahami sebagai upaya ‘de-Islamisasi’. Dengan demikian, jelas sekali deradikalisasi dengan makna seperti ini sangat berbahaya dan akan berujung pada penyesatan pemahaman umat tentang agamanya.

Jika terus dibiarkan tanpa upaya pelurusan maka umat akan kian jauh dari ajaran Islam yang benar seperti yang telah dicontohkan Rasulullah saw. Dakwah untuk menegakkan syariah secara kaffah dalam institusi Khilafah akan diwaspadai bahkan dimusuhi.

Pada akhirnya, bukan mustahil sesama umat Islam akan saling curiga dan saling serang. Kewajiban merajut ukhuwah islamiyah pun justru dilupakan, umat malah tercerai-berai dalam pertingkaian.

Padahal, ajakan untuk menegakkan Islam kaffah bukan seruan yang berasal dari manusia, namun kewajiban dari Allah SWT, salah satunya tertera dalam Al Qur’an surat al Baqarah ayat 208.

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan: Lafadz kaffah menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Abul Aliyah, Ikrimah, Ar-Rabi’ ibnu Anas, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan, Qatadah dan Ad-Dahhak artinya seluruhnya. Artinya, orang beriman diperintah untuk menerapkan seluruh ajaran Islam, tanpa pilih-pilih. Sebaliknya, Allah memperingatkan sikap abai terhadap hukum Allah dan lebih memilih terikat pada hukum thagut sebagai salah satu karakter munafik.

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

Tidakkah kamu memperhatikan kaum yang mengklaim telah mengimani apa saja yang telah diturunkan kepadamu dan pada apa saja yang telah diturunkan kepada kaum sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thâghût, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thâghût itu. Setan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya (TQS an-Nisa’ [4]: 60).

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa thâghût adalah segala sesuatu —selain Allah SWT— yang disembah, diikuti atau ditaati manusia. Thâghût juga bermakna setiap kaum yang berhukum pada selain hukum Allah SWT dan Rasul-Nya.

Ibu Ratna yang dirahmati Allah….,

berikutnya yang penting kita pahami bahwa kita memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan umat. Kita berkewajiban menyampaikan kepada umat tentang bahaya dibalik opini deradikalisasi dan mengajak umat agar senantiasa berpegang teguh kepada Islam yang dicontohi Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat, tetap mengokohkan ukhuwah, dan istiqamah dalam dakwah berjamaah sebagaimana difirmankan Allah dalam surat Ali Imran ayat 103-104.

Kita pun dituntut untuk belajar Islam dari sumber yang benar dan dengan metode yang shahih sebagaimana dicontohkan oleh para ulama terdahulu. Sabda Rasulullah saw berikut ini bisa menjadi pengingat kita:

. عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَ هُمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Aku tinggalkan dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya yaitu Kitabullah dan Sunnahku, serta keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya mendatangiku di Telaga (di Surga).”Hadits shahih riwayat al-Hakim (I/93) dan al-Baihaqy (X/114).

Semoga kita dan semua umat Islam dilindungi Allah dari upaya-upaya yang akan menyesatkan dan menjauhkan kita dari ajaran Islam. Kita pun bermohon agar Allah senantiasa menjadikan kita istiqamah dalam perjuangan Islam kaffah mengikuti metode dakwah Rasulullah saw, aamiin. [SM]