Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pembaca yang dirahmati Allah.., dalam edisi kali ini akan dibahas pertanyaan dari Ibu Ani di Makassar: DPR dan pemerintah saat ini telah sepakat dengan membatasi usia perkawinan yaitu 19 tahun, pertanyaannya: Mengapa harus dibatasi?; Apakah pembatasan usia perkawinan ini adalah solusi ataukah justru akan membawa dampak buruk?; Bgm pandangan islam tentang hal ini?. Kemudian pertanyaan dari Ibu Kustiati Bantul – Yogyakarta : Pengajuan dispensasi pernikahan dini akibat hamil di luar nikah cukup tinggi di DIY namun pemerintah justru akan membatasi usia pernikahan, ini berarti kasus hamil di luar nikah akan semakim bertambah. Bagaimana mengatasi masalah ini.?
Ibu Ani dan Ibu Kustiati yang dirahmati Allah.., berikut jawaban dari pertanyaan ibu berdua: Beberapa alasan dikemukakan oleh pihak-pihak yang menuntut pembatasan dan peningkatan usia perkawinan, diantaranya yang dikatakan oleh menteri PPPA Yohana Yambise yang disampaikan http://www.prfmnews.com/: pemerintah mengusulkan batas minimal usia perkawinan perempuan dan laki-laki sama, yakni 19 tahun, karena pada usia tersebut perempuan dan laki-laki dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian, serta mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas. ”Diharapkan juga kenaikan batas umur yang lebih tinggi dari 16 tahun bagi perempuan untuk kawin akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan risiko kematian ibu dan anak. Selain itu, juga dapat terpenuhinya hak-hak anak sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak,”. Benarkan alasan tersebut?. Pernyataan tersebut sarat dengan asumsi dan tidak sesuai dengan realitasnya. Kematangan seseorang untuk mengarungi kehidupan rumah tangga bukan semata ditentukan oleh usia mereka sehingga semakin tinggi usia pernikahan maka rumah tangganya akan aman dari perceraian. Faktanya, tidak sedikit pasangan suami isteri yang menikah dalam usia dewasa tetap saja menghadapi perceraian. Salah satu buktinya data di pengadilan agama Kuningan pada tahun 2018 menyebutkan bahwa 70% penyebab perceraian adalah karena masalah ekonomi, bukan karena nikah dini. Kesiapan seseorang untuk menjalani peran sebagai istri/ibu atau suami justru lebih dipengaruhi oleh pemahaman tentang hakikat pernikahan dan hak serta tanggung jawab masing-masing, dan ini erat kaitannya dengan pendidikan dan pengajaran yang telah mereka terima baik pengajaran yang berasal dari keluarga maupun pendidikan formal di sekolah. Di sinilah pentingnya Negara menyelenggarakan pendidikan yang baik untuk seluruh warga negaranya. Dengan pendidikan yang baik akan lahir calon suami/isteri yang siap mengemban tugas-tugas sebagai suami/isteri.
Ibu- ibu yang dirahmati Allah…, jelas saja peningkatan usia perkawinan bukanlah solusi, karena tidak menyelesaikan akar masalahnya. Jika penyebab terbesar perceraian karena masalah ekonomi, maka tanggung jawab negaralah untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan keluarga. Diantaranya dengan menyediakan lapangan kerja layak yang mencukupi jumlah kepala keluarga; meningkatkan daya beli masyarakat dengan menjamin ketersediaan bahan kebutuhan pokok dan memudahkan keterjangkauannya; menindak tegas para pelaku penimbunan, dll. Demikian juga masalah angka kematian ibu dan anak yang tinggi, ini terkait dengan jaminan kesehatan yang mesti dipenuhi Negara, ini pun berkelindan dengan kesulitan ekonomi. Tidak sedikit ibu hamil dan balita yang mengalami gizi buruk berasal dari keluarga pra sejahtera kian parah disebabkan sulit dan mahalnya mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Jika Negara serius ingin melindungi perempuan dan anak-anak, harusnya dimulai dengan tepat dan sungguh-sungguh dalam menentukan bahaya apa saja yang sedang mengancam mereka. Narkoba, pornografi-porno aksi, seks bebas, dekadensi moral, dan berbagai penyakit sosial lainnya sekarang justru sedang menggempur anak-anak dan remaja. Jika ditarik benang merahnya, bisa dikatakan bahwa semua masalah bermula dari penerapan sistem aturan kehidupan yang salah, sistem sekularis-kapitalis-liberal. Karenanya, pembatasan usia perkawinan alih-alih menyelesaikan masalah, yang terjadi justru boleh jadi akan semakin banyak remaja yang terjerumus pada seks bebas(zinah). Serangan liberalisme dan hilangnya kesadaran menjadikan Islam sebagai standar perbuatan menjadikan remaja masa kini cepat matang secara biologis namun lemah secara pemahaman dan tidak siap secara psikologis untuk menanggung berbagai tanggung jawab. Berbagai aturan yang dibuatpun seolah kian menjerumuskan mereka ke jurang kemaksiatan. Kebijakan pendidikan tidak mengajarkan aturan pergaulan yang benar, justru mereka dikenalkan dengan pendidikan seks yang vulgar. Seks aman dengan memakai kondom, atau kalaupun sampai hamil bisa diupayakan aborsi aman. Informasi tersebut bisa menjadi rangsangan seksual bagi mereka dan dorongan untk mencobanya. Akibatnya, banyak siswa SMP bahkan siswa SD mengaku sudah pernah melakukan hubungan seks. Padahal sudah pasti mereka belum menikah. Kalaupun berkeinginan untuk menikah akan dijegal dengan UU yang mengatur usia perkawinan. Dengan demikian tidak mustahil kebijakan ini akan menuai peningkatan perzinahan, besarnya kasus kehamilan tak diinginkan(KTD) yang berujung pada maraknya peristiwa aborsi dan pembunuhan bayi hasil zinah. Kemenkes pada Oktober 2013 mengungkapkan, bahwa sekitar 62,7% remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seks di luar nikah, 20% dari 94, 270 perempuan yang mengalami hamil di luar nikah juga berasal dari usia remaja. 21 % diantaranya pernah melakukan aborsi. (https://www.kompasiana.com/…/63-persen-remaja-di-indonesia-…
Bahkan harus diwaspadai kebijakan justru dibuat untuk memenuhi tuntutan internasional. Sudah diketahui bahwa kontroversi usia dini untuk menikah telah muncul sejak Indonesia menandatangani konferensi Internasional tentang batasan usia anak adalah 18 tahun. Faktanya Indonesia dinilai gagal merealisasikan target Millenium Development Goal’s (MDGs) 2015, dan lamban pula dalam merealisasikan target Sustainable Development Goal’s (MDGs) 2030. Salah satunya adalah goals tentang penghapusan segala bentuk praktik berbahaya terhadap anak seperti mutilasi kelamin (sunat) perempuan, kawin paksa, dan pernikahan dini. Padahal kesemuanya dianggap bertalian juga dengan tujuan-tujuan lain seperti kesehatan (goal 3), pendidikan (goal 4) dan eliminasi kemiskinan (goal 1). Atau mungkin juga peningkatan usia perkawinan merupakan salah satu cara untuk menekan jumlah kelahiran generasi muslim? Pernyataan menteri Yohana di atas menjadi salah satu penguat dugaan ini.
Begitulah rusaknya sekularisme-kapitalisme-liberalisme yang menjatuhkan manusia ke dalam kehidupan dunia yang penuh masalah dan kesengsaran akhirat yang sudah menanti. Na’udzubillahi min dzalika. Bagaimana dengan Islam? Kedudukan pernikahan dalam Islam merupakan perkara penting (mitsaqon ghalizho); pembeda antara yang halal dan bernilai ibadah dengan perzinahan yang diharamkan; bahkan termasuk sunnah Nabi saw sebagaimana sabda beliau yang artinya: “Nikah itu sunnah ku, siapa yang membenci sunnahku maka bukan dari golonganku”. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muttafaq ‘alahi Rasulullah saw menganjurkan setiap pemuda yang sudah mampu untuk bersegera menikah, sebab pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Bahkan dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh al Hakim dan Ibn Hibban Beliau menyampaikan bahwa orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan termasuk salah satu yang akan ditolong Allah SWT. Jadi jelas sekali Islam mendorong umatnya untuk menikah. Sebaliknya, Islam sangat mengecam keras perbuatan zina. Rasulullah Saw bersabda, “ Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu negeri, maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri” (HR al Hakim, al Baihaqi dan at Thabrani).
Terkait pembatasan usia perkawinan, dalam fiqh Islam umur saat menikah tidak dibatasi. Demikian juga pembebanan taklif dan tanggung jawab hukum tidak ditentukan oleh umur seseorang, namun ditetapkan oleh masa balighnya. Jadi di dalam Islam tugas Negara bukan membatasi usia perkawinan, namun bagaimana menjamin seluruh warga Negaranya siap menjalankan semua kewajibannya termasuk tanggung jawabnya sebagai suami-isteri dan melindungi mereka dari pelanggaran seperti pornografi-pornoaksi dan perzinahan. Melalui penerapan syari’ah Islam Negara akan menerapkan sistem pendidikan termasuk di dalamnya pengajaran aturan pergaulan dan fiqh rumah tangga; sistem ekonomi,kesehatan, pergaulan sosial, bahkan sanksi yang sesuai dengan aturan Islam. Ringkasnya, dalam Islam Negara akan membantu dan mempermudah warga negaranya berbuat taat dan menjaga mereka dari apapun yang tergolong maksiat.
Ibu-ibu yang dirahmati Allah.., ketaatan akan serasa berat dijalankan manakala sistem yang mendominasi kita bukan aturan yang berasal dari Allah Dzat Pencipta kita. Karenanya, satu-satunya solusi adalah mengganti sistem yang rusak dan merusak ini dengan sistem Islam yang pernah diterapkan Rasulullah saw, Khulafa ar rasyidin, dan para Khalifah setelahnya. Semoga kita termasuk orang-orang yang emperjuangkan kembalinya system tersebut, aamiin. Wallahu A’lam[]