Deradikalisasi Virus Mematikan Umat

  • Opini

Oleh: Novita Aryani M Noer

Deradikalisasi adalah virus yang diciptakan untuk mematikan kebangkitan umat Islam. Hal ini tidaklah aneh, mengingat proyek ini merupakan salah satu bentuk dari strategi utama kontra terorisme melalui pendekatan cara lunak (soft approach). Pasalnya agenda global “War on Terrorism” yang diinisiasi Amerika Serikat yang dikatakan sebagai perang melawan teroris, nyatanya hanyalah adalah perang melawan Islam atau ”War on Islam”. Islam dan kaum Muslim-lah yang disasar, bukan yang lain.

Namun, nampaknya Barat belum puas dengan permainannya melalui propaganda terorisme yang dilakukan dengan pendekatan cara keras (hard approach). Karena hanya mampu menyasar sebagian kecil kaum Muslim. Karenanya perlu ada isu baru agar Barat dapat lebih banyak menyasar kaum muslimin.

Hal ini tak bisa dilepaskan dari pertumbuhan kaum Musim anti Barat. Mereka kian ​​haus akan Dien dan syariat-Nya untuk diterapkan secara kaffah dalam institusi global Khilafah Islamiyyah, menggantikan sistem rusak yang tegak hari ini.  Terlebih lagi umat kian menyadari kebenaran perang global yang dipimpin oleh Amerika -melawan apa yang disebut terorisme- hanyalah topeng Barat untuk  memerangi Islam dan kaum Muslim.

Maka dimunculkanlah istilah radikalisme yang dapat ditafsirkan sesuai dengan apa yang dikehendaki Barat. Satu istilah yang sengaja ‘dibelokkan’ untuk mengarahkan konotasi yang identik dengan ekstrimisme dan terorisme. Setelah sebelumnya Barat menggiring umat dengan model Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang mereka ciptakan guna mendistorsi khilafah dan Islam, dengan menggambarkannya sebagai sistem yang penuh darah dan kekerasan.

Tidak bisa dilepaskan pula dari kekuatan politik Islam yang kian tumbuh dan mengental di negeri ini. Kekuatan politik umat Islam terlebih di Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia telah menimbulkan kecemasan Barat dan musuh-musuh Islam. Karena itu, rezim represif kian terdesak dan harus mencari jalan bagaimana melemahkan kekuatan politik umat Islam tersebut. Jika kekuatan politik itu terus membesar dan menguat akan dapat menjegal rezim yang berkuasa. Hal ini dapat dilihat dari waktu ke waktu bagaimana pemerintah terus meningkatkan kebijakan anti-Islam mereka.

Sebagai penguasa komprador Barat, rezim di negeri ini ikut mengambil narasi radikalisme sebagai alat gebuk bagi siapa saja pihak yang berseberangan dengan kepentingan dan kekuasaan mereka. Dalam hal ini adalah kelompok maupun individu-individu yang ingin menggantikan kedudukan  Pancasila, UUD 45, serta menolak NKRI dan berusaha menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah.

Hal ini ditegaskan oleh Menko Polhukam Wiranto baru-baru ini saat memberikan pembekalan di Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta Pusat, Jumat (13/9/2019). Menurutnya organisasi yang telah dibubarkan oleh pemerintah karena menyebarkan –apa yang Wiranto sebut sebagai ideologi, yakni khilafah yang sejatinya adalah ajaran Islam, harus diimbangi dengan mengawasi penyebaran ideologi tersebut yang dilakukan secara individual. Karenanya pemerintah tengah menggodok aturan individu sebarkan ideologi khilafah. Wacana ini pun disambut positif dan didukung oleh dua ormas besar di negeri ini dan diaminkan oleh MUI.

Menurut mereka, menjaga keutuhan NKRI sebagai keharusan bagi seluruh elemen. Hal ini membuat setiap gerakan yang menentang keutuhan NKRI wajib ditangkal karena menimbulkan kerusakan dan perpecahan umat.

Selain itu, mereka menyebut bahwa telah berkurangnya relevansi sistem khilafah bagi umat Islam. Islam tidak menentukan bentuk negara dan sistem pemerintahan bagi pemeluknya. Umat Islam diberi kewenangan menentukan bentuk negara dan sistem pemerintahan sesuai zaman dan tempat umat Islam berada. Bahkan tak segan mengibaratkan persoalan khilafah saat ini seperti penyakit yang semakin parah, sehingga memerlukan penanganan yang tepat.

Dengan pernyataan tersebut, para ulama mencoba mereduksi aturan Islam menjadi aturan berkala yang cocok untuk suatu waktu dan tidak cocok untuk waktu yang lain. Mereka menjadikan Islam dan aturannya sejalan dengan budaya Barat serta tidak bertentangan dengan kepentingan tuan-tuan mereka di Barat maupun di Timur. Seolah-olah hukum Allah SWT yang diturunkan untuk manusia dapat ditinjau dengan dalih perubahan waktu dan tempat.

Inilah yang diinginkan Barat. Mendistorsi Islam sebagai sistem aturan, dan mengosongkannya dari konten politik dan ekonomi; karena didasarkan pada dua pilar:

Pilar pertama: menipiskan Islam dengan nama modernisasi, dan mengosongkan isinya dengan nama Islam moderat (demokratis).

Pilar kedua: adalah islamisasi sekularisme, dan manifestasinya sebagai sesuatu yang tidak bertentangan dengan Islam.

Sangat disayangkan bahwa para ulama Muslim telah terseret ke dalam perang Barat melawan Islam dan konsep-konsepnya. Membenarkan bahwa Islam dan kaum Muslim adalah ancaman bagi keamanan global. Mata mereka pun ditutup dari melihat kejahatan dan belenggu kapitalisme yang telah menghancurkan pemikiran umat manusia dan akhirnya akan menghancurkan hidup mereka. Inilah realitas ulama kita hari ini yang mengambil ayat-ayat Allah sesuai dengan kepentingan mereka demi menyenangkan tuannya.

Allah SWT berfirman:

Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,” lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima. (TQS Ali-Imran: 187)


Akibatnya umat pun dihadap-hadapkan pada pilihan radikal atau moderat. Padahal, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme adalah terminologi yang dipolitisasi hanya digunakan untuk menyerang Islam secara intelektual setelah umat diserang secara militer.

Karenanya menggambarkan Muslim atau kelompok Islam sebagai radikal, ekstremis dan teroris hanyalah alasan untuk mendorong umat Islam meninggalkan ideologi sejati mereka, Islam dan berpegang teguh pada ideologi kapitalis destruktif Barat.

Namun, umat tidak akan mudah lagi tertipu oleh ulama-ulama pesanan dan model negara yang dijalankan oleh para boneka yang digerakkan oleh tuannya di Barat dan Timur. Karena ide-ide Islam kian berakar dalam jiwa anak-anak umat, meskipun mereka tidak pernah merasakan hidup di bawah naungan Khilafah Islamiyyah yang menerapkan Islam sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan khalifah setelah beliau.

Tetapi kaum Muslim hari ini kian merindukan Islam diterapkan dalam Negara Islam, khilafah yang akan mengurus urusan dan menjadi perisai bagi mereka. Terutama setelah munculnya kelompok dakwah ideologis dan pengemban dakwah yang bekerja penuh kesabaran untuk menghidupkan kembali umat di dalamnya, dengan ideologi Islam.

Menjelaskan kepada umat bagaimana mencontoh metode Nabi SAW dalam menegakkan khilafah beserta aparatur negara khilafah dan sistemnya, baik sistem ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, militer, dst serta bagaimana menerapkan sistem tersebut. Sebuah keadaan yang diinginkan untuk diwujudkan dalam setiap hati dan pikiran umat.

Lantas, akankah kita mengambil bagian menjadi ‘Muslim moderat’ yang shalat tetapi mengikuti keinginan dan arahan Barat atau menjadi ‘Muslim radikal’ yang shalat dan bekerja untuk penerapan Islam secara totalitas?

Jelas, agenda deradikalisasi adalah upaya Barat untuk menjauhkan umat dari ajaran Islam yang sebenarnya dan melucuti pengemban dakwah dari menegakkan Islam sebagai sistem hidup yang paripurna, dan mematikan umat dari kebangkitannya.

Allah SWT berfirman:

“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (TQS. Al-Nisa’: 141)