Konsultasi Marital Rape

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Saya ibu….. dari Jakarta ingin menanyakan marital rape yang ada dalam RUU KUHP, yakni suami yg memaksa istrinya untuk melayani hubungan suami istri dinilai sebagai tindakan pemerkosaan terhadap istri. Adakah marital rape dalam Islam ?  dan Bagaimana islam mengatur masalah ini?

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh.  Ibu… yang dirahmati Allah, berikut pembahasan terkait pertanyaan ibu:

Sesungguhnya dalam syari’ah Islam tidak dikenal istilah marital rape (perkosaan suami atas isteri).  Istilah ini mulai marak dibicarakan pada tahun 1990-an. Pada tanggal 5 Juli 1993, marital rape akhirnya didefinisikan sebagai sebuah kejahatan di setidaknya 50 negara. https://wepreventcrime.wordpress.com/2013/10/05/ketika-status-melegalkan-perkosaan-sebuah-analisis-mengenai-marital-rape/. 

Sementara dalam perundang-undangan Indonesia, yakni dalam KUHP sebelumnya disebut perkosaan apabila pelaku dan korban tidak terikat perkawinan. Pasal 285 menyatakan:
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Namun sekarang definisi perkosaan dalam RUU KUHP mengalami pergeseran, yaitu bisa saja dilakukan oleh suami ke istrinya/perkosaan dalam rumah tangga.”Dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun,” demikian ancaman ke pemerkosa dalam RUU KUHP”, yang dikutip detikcom, Kamis (29/8/2019).  Jadi istilah marital rape bukan berasal dari Islam.  Semestinya kita memahami bahwa dalam Islam kehidupan suami isteri merupakan hubungan persahabatan. Satu sama lain merupakan sahabat sejati dalam segala hal. Yaitu persahabatan yang bisa memberikan ketentraman dan kedamaian bagi keduanya.  Kondisi ini sudah dijelaskan Allah SWT dalam surat ar Rum[30] ayat 21, yang artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang”. Tidak hanya menyampaikan tentang kesakinahan yang akan didapatkan oleh pasangan suami isteri, Islampun telah menjelaskan mekanisme supaya kesakinahan diperoleh. Yaitu dengan menetapkan hak dan kewajiban masing-masing. Suami memiliki hak yang harus ditunaikan isteri dan isteripun mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh suami, sebagaimana firman Allah SWT: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” (TQS al Baqarah[2]:228). Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan makna ayat ini: Yakni para wanita mempunyai hak atas suami mereka seimbang dengan hak yang ada pada para lelaki atas diri mereka. Karena itu, hendaklah masing-masing pihak dari keduanya menunaikan apa yang wajib ia tunaikan kepada pihak lain dengan cara yang ma’ruf. Perintah mempergauli isteri secara ma’ruf terdapat juga dalam ayat lain, diantaranya dalam surat an Nisaa[4] ayat 19 : وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaulah dengan mereka(para isteri) secara ma’ruf”
.  Bahkan Rasulullah saw menjadikan perlakuan baik suami kepada isterinya sebagai standar kebaikan seorang laki-laki, sebagaimana sabdanya:


«خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي»

Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik perlakuan kalian kepada istrinya, sedangkan aku adalah orang yang paling baik kepada istriku di antara kalian. (HR Ibnu Majah).Seorang suami wajib memperlakukan isterinya dengan sebaik-baiknya, termasuk ketika dia berkeinginan dilayani (hubungan suami-isteri).  Hendaklah dia memperhatikan kondisi dan situasi yang nyaman bagi isterinya, sebagaimana sabda Rasulullah saw, yang artinya: “Janganlah kalian mengetuk pintu wanita(isteri) pada malam hari hingga wanita itu(bisa) menyisir rambutnya yang kusut dan wanita yang ditinggal suaminya itu (bisa) mempercantik diri.” (HR Muttafaq ‘alayhi).  Jadi, suami yang baik tidak akan memaksakan kehendaknya ketika isterinya tidak siap atau ada udzur sekalipun mendapat pelayanan isteri merupakan haknya. Sebaliknya, isteri sholihah akan berupaya melayani suami dengan sebaik-baiknya karena hal tersebut merupakan kewajiban dari Allah yang harus ditunaikan dengan sungguh-sungguh.  Manakala kewajiban ini terlaksana maka pahala dari keridloan Nya sudah menanti.  Hadis berikut bisa dijadikan motivasi setiap isteri untuk melayani suami dengan sebaik-baiknya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jikna dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251).

Terkait hubungan seksual, dalam pandangan Islam merupakan hak suami dan isteri.  Keduanya berhak untuk merasakan kenikmatan. Bukan hanya suami yang mendapatkannya. Hal ini dijelaskan Baginda Nabi saw dalam sabdanya: “Jika seseorang di antara kalian menggauli istrinya maka hendaknya ia bershodaqah kepadanya. Jika ia telah menunaikan kebutuhannya maka hendaklah jangan terburu-buru sampai istrinya menunaikan kebutuhannya (HR Abu Ya’la, lihat majmauzzawaid 4/295). 

Pergaulan yang baik diantara suami-isteri akan menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang yang akan menjadi perekat hubungan keduanya serta akan melahirkan kesakinahan. Semua kewajiban akan dilakukan dengan penuh kerelaan dan tanpa paksaan dengan niat semata mendapatkan nilai ibadah di sisi Allah SWT. Sekalipun suami harus mempergauli isteri dengan ma’ruf, tidak bisa dikatakan bahwa dia telah memperkosa isterinya ketika hubungan tersebut didasari keterpaksaan. Apalagi jika perbuatan tersebut digolongkan pelanggaran yang berkonsekuensi sanksi hukum pidana.  Pelayanan isteri merupakan hak suami yang diberikan Allah. Tidak mungkin tuntutan untuk memperoleh haknya dikategorikan perbuatan pidana.

Ibu… yang dirahmati Allah, kita patut mewaspadai andai RUU ini disahkan akan muncul beberapa masalah yang membahayakan kehidupan rumah tangga muslim, diantaranya: Seorang isteri bisa memperkarakan suami di depan pengadilan dengan tuduhan perkosaan, padahal faktanya isteri enggan melayani suami; Isteri bisa menggugat cerai suami dengan alasan telah terjadi KDRT, sementara faktanya justru isterilah yang melakukan pembangkangan (nusyuz pada suami).  Ini jelas bertentangan dengan syariah Islam yang menetapkan ketaatan mutlak isteri atas suaminya selama bukan dalam kemaksiatan. Jika kondisi ini dibiarkan terus terjadi maka akan berujung pada hancurnya bangunan keluarga muslim dan meningkatnya jumlah kasus gugat cerai. Kita pun harus  berempati pada para suami di masa sekarang, alangkah beratnya hidup mereka dalam dominasi sistem sekularis-kapitalis-liberal. Tiap waktu terus disuguhi tampilan pornografi dan pornoaksi yang akan merangsang libido seksualnya.  Pulang ke rumah untuk memenuhi tuntutan naluri tersebut kepada isterinya yang telah dihalalkan Allah justru mendapatkan penolakan dan terancam sanksi pidana jika tetap menuntut haknya. Di sisi lain alternatif solusi berupa kehalalan poligami justru terus diserang dengan target pencabutan kebolehannya. Gejolak seksual yang terus muncul dan tidak mendapatkan pemenuhan akan melahirkan kegalauan yang boleh jadi akan mendorongnya melakukan seks bebas atau perzinahan.

Ibu… yang dirahmati Allah, sebenarnya lahirnya RUU anti kekerasan terhadap perempuan yang salah satunya mengatur marital rape bukanlah dilandasi karena keinginan untuk memuliakan kaum perempuan. Aturan yang shahih akan memudahkan para perempuan menunaikan kewajibannya sebagai isteri, yakni menunaikan hak-hak suami dengan sebaik-baiknya. Bukan sebaliknya, memfasilitasinya untuk berbuat pembangkangan terhadap aturan agamanya.  Lalu apa sebenarnya rencana dibalik pengguliran UU ini? Kampanye Anti Kekerasan terhadap Perempuan bukan asli bentukan di negeri ini. Tuntutan tersebut merupakan aksi global yang digulirkan Sekjen PBB melalui gerakan End Violence against Women /EVAW (Akhiri Kekerasan Terhadap Perempuan).  Sebelumnya, melalui Resolusi Majelis Umum PBB 50/166  tahun 1996, PBB membentuk  Trust Fund to EVAW yang mendanai 339 program inisiatif di 127 wilayah sebesar USD 78 juta. Dan jika ditelisik secara seksama aksi ini akan berujung pada pelemahan bahkan hilangnya keterikatan pada syariah Islam terkait hokum-hukum keluarga.  Karenanya tidak bisa kita biarkan.  Harus dilawan dan dibongkar rencana busuk di baliknya.  Semoga Allah melindungi kita semua dari makar yang dibuat musuh-musuh Islam dan kitapun diberi kemampuan serta keistiqomahan untuk memperjuangkan tegaknya syariah Islam secara kaffah.  Pada saat itu akan ada institusi Khilafah yang akan melindungi umat dari rencana jahat apapun.  Wallahu A’lam bishshawwab