Oleh : Najmah Saiidah
“Menjaga moderasi beragama, pada hakikatnya juga menjaga Indonesia,” tegas Menag, Rabu (Pidato Menag dalam pembukaan Dialog Nasional Keagamaan dan Kebangsaan, di Makassar 20/2/2019).
‘Dengan spirit Isra’ dan Mi`raj, mari kita hadirkan wajah agama yang moderat dan unggul dengan karakter wasathiyyah. Indonesia sebagai bangsa yang besar telah menunjukkan kepada dunia bahwa Islam dengan karakter wasathiyyah-nya dapat merawat kemajemukan yang ada…” (Kemenag.go.id)
Kata-kata yang nampaknya menyejukkan hati, bahwa moderasi Islam atau wasathiyyah seolah-olah menjadi jawaban atas permasalahan yang dihadapi umat Islam, akan menjadikan umat Islam menjadi umat yang tentram. Umat Islam akan tentram tentu saja jika Allah ridha yaitu jika umat Islam bisa menjalankan aturan Allah dan RasulNya secara sempurna…kaaffah. Lalu, apakah dengan moderasi Islam, umat akan bisa melaksanakan Islam secara kaaffah atau malah sebaliknya, menjauhkan dari Islam ?
Moderasi Islam, istilah baru ?
Moderasi Islam dikenal sebagai upaya menjadikan Islam yang pertengahan, yakni Islam yang lebih toleran, Islam yang tidak “kaku”. Dimana istilah moderasi Islam atau Islam moderat sendiri selalu di-lawan kata-kan dengan Islam radikal, Islam fundamental, atau ekstrimis yakni Islam yang “kaku” yang cenderung tak mau menerima perbedaan alias intoleran. Salah satu rumusan Lombok Massage: Moderasi Islam memanusiakan dan memuliakan manusia, terlepas dari perbedaan agama dan keyakinan, menanamkan prinsip musyawarah dan keadilan sosial bagi seluruh penduduk suatu negara, menegaskan persatuan Tanah Air dan menanamkan loyalitas terhadap negara. Kaum muslimin pada dasarnya tak pernah mengenal istilah-istilah itu.
Kata ‘moderat’ atau jalan tengah sendiri mulai dikenal luas pada masa abad pencerahan di Eropa. Sebagaimana diketahui konflik antara pihak gerejawan yang menginginkan dominasi agama dalam kehidupan rakyat dan kaum revolusioner yang berasal dari kelompok filosof yang menginginkan penghapusan peran agama dalam kehidupan menghasilkan sikap kompromi. Sikap ini kemudian dikenal dengan istilah sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan publik.
Amerika Serikat memang merancang pendekatan yang amat halus dalam pertarungan ideologi antara Islam dan Kapitalisme. Cheryl Benard –peneliti RAND Corporation– menyebutkan bahwa dunia Islam harus dilibatkan dalam pertarungan tersebut dengan menggunakan nilai-nilai (Islam) yang dimilikinya. AS harus menyiapkan mitra, sarana dan strategi demi memenangkan pertarungan. Lembaga kajian strategis Amerika Serikat, Rand Corporation dalam “Building Moderate Muslim Networks” menjelaskan karakter Islam moderat, yakni mendukung demokrasi, pengakuan terhadap HAM (termasuk kesetaraan jender dan kebebasan beragama), menghormati sumber hukum yang non sektarian, dan menentang terorisme. Dalam ukuran yang lebih detil, Robert Spencer – analis Islam terkemuka di AS – menyebut kriteria seseorang yang dianggap sebagai muslim moderat antara lain : menolak pemberlakuan hukum Islam kepada non muslim; meninggalkan keinginan untuk menggantikan konstitusi dengan hukum Islam; menolak supremasi Islam atas agama lain; menolak aturan bahwa seorang muslim yang beralih pada agama lain (murtad) harus dibunuh; dan lain-lain.
Karenanya wajar ketika kita kaitkan dengan fakta beberapa waktu lalu yang cukup menghebohkan, yaitu beredarnya trailer film “The Santri”, dimana di dalamnya ada adegan 2 orang perempuan muslimah berkerudung rapi masuk ke dalam gereja dimana di dalamnya terjadi acara peribadahan, kemudian menyerahkan tumpeng kepada pendeta atau salah satu berita bahwa Kemenag akan menghapus materi perang/jihad dalam materi ajar PAI, walaupun akhirnya diralat. Sesungguhnya jika kita mau jeli memandang, maka sesungguhnya ini adalah salah satu bentuk moderasi Islam, yang memperlihatkan sikap toleransi, padahal yang demikian tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Demikian halnya dengan jihad atau perang, karena menganggap jihad adalah kekerasan, sedangkan Islam humanis. Padahal Islam telah menjelaskan dengan sangat tegas, bahwa jihad merupakan bagian dari hukum Islam.
Dalam kitab Syakhshiyyah Islamiyyah jilid 2, Syekh Taqiyyuddin An-Nabhani menjelaskan dengan sangat rinci bahwa jihad memiliki makna syar’iy qital (peperangan). Banyak ayat-ayat al Qur’an yang memerintahkan untuk berjihad, seperti QS At-Taubah 12, 29, 123, An-Nisaa’ : 76 dsb yang menjelaskan bahwa Allah memerintahkan untuk berperang karena ada sifat kekufuran di dalamnya. Memulai jihad adalah fardhu kifayah, sedangkan jika musuh menyerang maka fardhu ‘ain untuk melawannya. Jihad adalah fardhu/wajib, sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Baqarah 216, QS At-Taubah : 29, bahkan ada celaan bagi orang yang tidak memenuhi panggilan jihad, sebagaimana firman Allah dalam QS At-Taubah: 39, yang artinya : “Jika kalian tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah akan mengazab kalian dengan adzab yang pedih”. Di dalam kitab ini pun dijelaskan pula bagaimana tatacara memulai jihad, tidak berarti harus memerangi musuh secara langsung, tetapi musuh harus diseru kepada Islam, untuk mau memeluk Islam, jika mereka menolak maka ditawari untuk dengan aturan khilafah dan mereka wajib membayar jizyah, baru jika akhirnya mereka menolak, maka baru diperangi. Islam memberi pahala yang berlipat ganda bagi orang yang berjihad, bahkan yang gugur di medan pertempuran, syahid akan mendapatkan tempat yg paling mulia di sisi Allah. Dengan jihad, justru kita mengajak mereka untuk hidup mulia di bawah naungan Islam, bukan seperti apa yang diopinikan musuh-musuh Islam bahwa jihad identik dengan penindasan.
Moderasi Islam, Liberalisasi Pemikiran Islam
Jadi sangat jelas sekali istilah Islam moderat ataupun Moderasi Islam ini muncul dari Barat, bukan dari Islam. Moderasi Islam, tak lebih adalah upaya ‘Liberalisasi pemikiran Islam’ yang diberi warna baru ke tengah-tengah umat, dalam rangka menjauhkan Syari’at Islam yang sempurna dari kehidupan kaum muslimin. Ide ini menyerukan untuk membangun Islam inklusif yang bersifat terbuka dan toleran terhadap ajaran agama lain dan budaya. Di samping itu, nampak jelas bahwa gagasan Islam Moderat ini mengabaikan sebagian dari ajaran Islam yang bersifat qath’i, baik dari sisi redaksi (dalâlah) maupun sumbernya (tsubût), seperti, kewajiban berhukum dengan hukum syariah (QS al-Maidah [5]: 48) dan kewajiban negara memerangi negara-negara kufur hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah (QS at-Taubah [9]: 29) dan sebagainya. Tujuannya tidak lain adalah meragu-ragukan dan menjauhkan umat Islam dari pemahaman Islam yang benar, agar nilai-nilai dan praktek Islam khususnya yang berhubungan dengan politik Islam dan berbagai hukum-hukum Islam lainnya dapat dieliminasi dari kaum muslim dan diganti dengan pemikiran dan budaya barat.
Dari sini, nampak nyata betapa bahayanya pemikiran Islam moderat, karena gagasan ini, pelan tapi pasti, tidak hanya mengebiri Islam yang sejatinya merupakan ideologi (mabda) — yakni agama yang memiliki pemikiran (fikrah) dan bagaimana cara mewujudkan pemikiran-pemikirannya (thariqah), menjadi sekadar kumpulan pemikiran (fikrah) saja sehingga Islam pun berubah menjadi sekedar agama ruhiyah, yang dihilangkan sisi politisnya sebagai solusi dalam seluruh aspek kehidupan. Lebih dari itu, ide Islam moderat ini telah berhasil memolarisasi umat Islam dalam berbagai faksi pemikiran hingga tataran keyakinan, yang menjadikan umat Islam terpecah belah dan semakin jauh dari Islam. Hal inilah yang akan terus menjadi penghalang perjuangan menegakkan sistem Islam dan justru melanggengkan kekufuran.
Khatimah
Telah sangat jelas bahwa ide moderasi Islam tidak berasal dari Islam, terlebih lagi bahayanya sangat nyata. Penyebaran paham ini akan memecah belah persatuan umat, memalingkan perjuangan kaum Muslimin dan menjauhkan penerapan Islam kaaffah, serta semakin melanggengkan penjajahan Barat. Alih-alih bisa membawa umat kepada ketentraman dan ridha Allah, justru yang terjadi adalah akan semakin menjauhkan umat dari Allah, tak pelak lagi akan membawa manusia pada kehinaan. Oleh sebab itu, umat Islam harus membendung moderasi Islam atau ide Islam moderat dari akarnya dan membuangnya jauh-jauh.
Semua pihak, termasuk negara harus berperan aktif dan turut serta dalam melindungi umat dari setiap upaya yang ditujukan untuk menggerus, menistakan dan melenyapkan akidah Islam serta memberikan keleluasaan kepada umat untuk belajar dan melaksanakan hukum-hukum Islam secara sempurna. Semua ini hanya mungkin dilakukan jika syariah Islam diterapkan secara total dalam sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwah. Telah sangat jelas sesungguhnya bahwa Allah SWT memerintahkan kita untuk mengamalkan Islam secara kaaffah, ajaran Islam yang dicontohkan dan dibawa oleh Rasulullah Muhammad Saw, bukan Islam moderat. Baik menyangkut kehidupan pribadi, keluarga, maupun ketika bermasyarakat dan bernegara. Dengan kata lain, kita diminta untuk mengatur seluruh urusan kehidupan dengan Islam. Wallahu a’lam bishshawwab.
Wallahu a’lam bishshawwab.