Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيْرٍ جَائِرٍ
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalimatau pemimpin yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Menyampaikan koreksi kepada penguasa merupakan salah satu bentuk dari amar ma’ruf nahi munkar. Apalagi bila penguasa merupakan penguasa yang zalim, tidak mau berhukum dengan hukum Allah, menindas kaum muslimin, mengkriminalisasi dakwah dan memusuhi para ulama.
Menasehati penguasa seperti ini memiliki resiko besar. Boleh jadi penguasa akan melakukan persekusi, menangkap, atau bahkan membunuhnya. Karena itulah, melakukan koreksi terhadap penguasa zalim Rasulullah sebut sebagai jihad, bahkan jihad yang paling utama.
Dalam riwayat yang lain dari Jabir r.a, Nabi SAW mengabarkan bahwa, “Pemuka para syuhada ialah Hamzah bin Abdul Muthtalib dan seorang lelaki yang menghadap kepada penguasa yang zalim, ia menyerunya (kepada yang ma’ruf) dan melarangnya (dari yang munkar), lantas penguasa itu membunuhnya’.” (HR. Al-Hakim)
Kezaliman yang dilakukan penguasa sangat berbeda dengan kemunkaran yang dilakukan perorangan atau kelompok. Kezaliman penguasa memiliki dampak lebih luas, semua rakyat yang ada di bawah kekuasaannya terkena dampak kezaliman tersebut, beda halnya dengan kemunkaran perorangan. Sebagai contoh, ketika penguasa melakukan korupsi, maka rakyat yang seharusnya berhak mendapat manfaat dari dana yang dikorupsi akan menjadi korban. Atau ketika penguasa menetapkan UU yang membolehkan zina asal suka sama suka, maka zina akan merajalela di masyarakat.
Sebagian umat Islam ada yang mengharamkan mengkritik penguasa di hadapan umum. Mereka berdalil hadits Iyadh bin Ghanam, bahwa Nabi SAW berkata
Barangsiapa hendak menasehati penguasa akan suatu perkara, janganlah dia menampakkan perkara itu secara terang-terangan, tapi peganglah tangan penguasa itu dan pergilah berduaan dengannya. Jika dia menerima nasehatnya, itu baik, kalau tidak, orang itu telah menunaikan kewajibannya pada penguasa itu.(HR Ahmad,Al Musnad, Juz III no. 15369).
Namun hadits ini dhaif sehingga tidak boleh dijadikan hujjah, karena dua alasan : (1) sanadnya terputus (inqitha), dan (2) ada periwayat hadits yang lemah, yaitu Muhammad bin Ismail bin Iyasy (M. Abdullah Al Masari,Muhasabah Al Hukkam, hlm. 41-43)
Para ulama salaf banyak memberikan teladan bagaimana mereka menasehati penguasa di depan umum. Imam Hasan Al Basri di antaranya. Suatu ketika Hajjaj, gubernur Irak saat itu, membangun istana yg megah dikota Wasith. Ketika pembangunan selesai diundanglah orang-orang untuk melihat dan mendoakannya. Hasan al Bashri tiba di tempat itu dan melihat begitu banyak manusia mengelilingi istana yang megah dan indah dengan halaman yang luas, lalu beliau berdiri dan berkhutbah. Diantara yang beliau sampaikan adalah, “Kita mengetahui apa yang dibangun oleh manusia yang paling kejam dan kita dapati Fir’aun membangun istana yang lebih besar dan lebih megah dari ini. Namun kemudian Allah membinasakan Fir’aun beserta apa yang dibangunnya. Andai saja Hajjaj sadar bahwa penghuni langit telah membencinya dan penduduk bumi telah memperdayakannya.”
Beliau terus mengkritik dan mengecam hingga beberapa orang mengkhawatirkan keselamatannya dan memintanya berhenti, “Cukup wahai Abu Sa’id, cukup….”. Namun Hasan al Bashri berkata, ” Wahai saudaraku, Allah telah mengambil sumpah dari ulama agar menyampaikan kebenaran kepada manusia dan tidak boleh menyembunyikannya.”
Amar ma’ruf nahi munkar wajib hukumnya ditegakkan sampai datangnya hari kiamat. Allah mengancam pengabaian amar ma’ruf nahi munkar dengan firman-Nya :
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَّا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim di antara kalian (QS. AlAnfaal :25).
Ayat ini dijelaskan oleh hadits dari Abu Bakr radhiallahu’anhu. Beliau berkata: “Sungguh, kami pernah mendengar Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Sesungguhnya jika manusia melihat seseorang melakukan kezhaliman, kemudian mereka tidak mencegah orang itu, maka Allah akan meratakan adzab kepada mereka semua. (HR Abu Dâwud, at-Tirmidzi dan dishahîhkan oleh al-Albâni).
Azab Allah terhadap pengabaian amar ma’ruf nahi munkar ini akan dijatuhkan pada semua orang dari kaum tersebut, bahkan orang-orang yang sholeh di antara mereka, dan jika mereka berdoa mohon dihindarkan dari azab, doa mereka tidak dikabulkan.
عَنْ حُذَيْقَةَ بْنِ اْليَمَانِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِاْلمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوْنَ عَنِ اْلمُنْكَرِ اَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللهُ اَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ قَالَ اَبُوْ عِيْسَى هَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ
“Dari Huzaifah bin al-Yaman, dari Nabi SAW ia bersabda: “Demi Zat yang diriku ada dalam genggaman kekuasan-Nya, sungguh hendaklah kalian memerintahkan yang ma’ruf dan melarang kemungkaran atau sungguh Allah mempercepat kiriman siksaan terhadap kalian kemudian kalian memohon kepada-Nya, maka tidak diijabah bagi kalian”. Abu Isa berkata, hadis itu hasan. (HR. Tirmizi). Dengan demikian, melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar terhadap penguasa wajib untuk ada yang melakukannya. Maka, jika dalam demo mahasiswa kemarin, ada mahasiswa yang meninggal sebagai korban, sedang ia meniatkan aksinya sebagai bentuk amar ma’ruf nahi munkar di hadapan penguasa, in sya Allah pahala afdhalu jihad akan menyambutnya.