Konsultasi Hukum Perempuan jadi Anggota DPR

Assalaamu’alaikum wr wb.  Pengasuh rubrik konsultasi Suara Mubalighah yang saya hormati, mencermati kondisi masyarakat paska dilantiknya Puan Maharani sepertinya ada kebanggaan ketika perempuan jadi ketua DPR, dianggap pecah telur.  Yang ingin saya tanyakan apakah dengan jadi ketua DPR dan banyaknya perempuan di DPR akan menyelesaikan masalah perempuan? Dan bagaimana pandangan Islam terkait masalah ini?. Terima kasih saya ucapkan atas jawabannya.  Wassalam. ibu Yuzi Serang.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Ibu Yuzi yang dirahmati Allah…, berikut jawaban dari pertanyaan Ibu:

Kebanggaan terhadap  naiknya Puan sebagai ketua DPR atau karena banyaknya kaum perempuan yang berhasil menjadi anggota DPR bisa difahami sebagai berikut:

Pertama, sikap mereka didasari pemikiran gender yang menuntut perempuan memiliki peran sama dengan laki-laki dalam semua bidang kehidupan, termasuk dalam kiprahnya di ranah politik.  Sementara definisi politik yang difahami saat ini hanya sebatas politik praktis yang ditunjukkan dengan keterlibatan seseorang dalam jabatan kekuasaan atau menjadi anggota lembaga legislatif (DPR).  Pemaknaan politik seperti ini tidak lepas dari sistem demokrasi yang sedang mendominasi dewasa ini dimana kedaulatan ada di tangan rakyat.  Dan rakyat yang dimaksud adalah wakil-wakil mereka yang duduk di DPR, sehingga segala sesuatu ditentukan oleh suara mayoritas mereka.  Dengan pemikiran berbasis gender ini wajar saja jika kemudian naiknya Puan sebagai ketua DPR dianggap sebagai kemenangan kaum perempuan dan menjadi bukti bahwa perempuan pun bisa menduduki jabatan yang selama ini didominasi laki-laki.

Kedua, sarat dengan asumsi bahwa banyak permasalahan yang dihadapi perempuan seperti kasus kekerasan dan pelecehan yang menimpa mereka baik di ranah publik, di tempat kerja, maupun di lingkungan rumah tanggga; atau adanya diskriminasi terhadap perempuan dalam peluang dan kesempatan kerja juga jumlah upah yang lebih rendah dari laki-laki disebabkan aturan yang berlaku sekarang  dianggap tidak berpihak kepada perempuan.  Padahal aturan tersebut digodog dan disahkan di DPR yang penetapannya lebih sering ditentukan oleh suara terbanyak.  Karenanya mereka berpendapat bahwa penyelesaian masalah-masalah perempuan harus dimulai dengan memperbanyak jumlah mereka yang duduk dalam kekuasaan maupun lembaga legislatif.  Berbagai upaya terus dilakukan untuk meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen, salah satunya dengan lahirnya UU No. 10 Tahun 2008  yang mewajibkan parpol menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat. Syarat tersebut harus dipenuhi parpol agar dapat ikut serta dalam Pemilu. Peraturan lainnya terkait keterwakilan perempuan tertuang dalam UU No. 10 Tahun 2008 Pasal ayat 2 yang mengatur tentang penerapan zipper system, yakni setiap 3 bakal calon legislatif, terdapat minimal satu bacaleg perempuan.
Kehadiran perempuan di ranah politik praktis yang dibuktikan dengan keterwakilan perempuan di parlemen menjadi syarat mutlak bagi terciptanya kultur pengambilan kebijakan publik yang ramah dan sensitif pada kepentingan perempuan.  Kebijakan untuk mendongkrak  keterlibatan perempuan dalam kekuasan dan legislasi  bukan murni produk negeri ini.  Sebelumnya sudah diinisiasi dan dikentalkan oleh PBB  pada tahun 1995, perinciannya tercantum dalam Beijing Platform for Action (BPfA ) tahun 1995. Dengan demikian kebijakan ini bisa difahami bukan karena meningkatnya kesadaran politik perempuan namun lebih disebabkan demi memenuhi pesanan lembaga internasional.

Apakah masalah perempuan dan anak akan selesai ketika banyak perempuan menjadi anggota DPR? Bahkan menjadi ketuanya?

Ibu Yuzi yang dirahmati Allah…, selesainya suatu masalah ditentukan oleh benar tidaknya aturan yang digunakan serta keamanahan pihak yang melaksanakan aturan tersebut. Banyaknya masalah yang membelit perempuan  bukan karena sedikitnya anggota DPR dari kalangan perempuan namun disebabkan sistem aturan yang salah.  Demokrasi kapitalistik merupakan biang segala krisis dan penderitaan, termasuk permasalahan yang menimpa perempuan.  Siapapun berada dalam sistem ini akan mengedepankan kepentingan materi, pun demikian dalam membuat UU.  Negeri ini telah memiliki banyak penguasa perempuan, mulai dari ketua RT, Gubernur, sampai presiden pernah dijabat perempuan.  Namun persoalan perempuan tak kunjung reda.  Salah satunya masalah kemiskinan yang memunculkan eksploitasi perempuan di bidang ekonomi.  Perempuan dipaksa memikul beban nafkah yang bukan tanggung jawabnya.  Mereka bekerja meninggalkan rumah dan kewajiban utamanya sebagai isteri dan ibu pendididik anak-anaknya, bahkan tidak sedikit yang harus pergi jauh keluar negeri menjadi TKW sehingga harus mengabaikan tugas mulia yang diberikan Penciptanya.  Dampak berikutnya adalah hak-hak anak tidak terpenuhi secara optimal, baik hak pengasuhan, pendidikan dan perlindungan.  Maraknya kasus kekerasan anak, tawuran, serta berbagai masalah sosial yang melibatkan anak baik sebagai korban maupun yang menjadi pelaku bisa menjadi buktinya. Di sisi lain UU investasi dan penanaman modal asing yang disahkan DPR kian melenggangkan para kapitalis rakus menguasai kekayaan alam yang sejatinya untuk mensejahterakan rakyat justru menjadi jalan penjajahan gaya baru.  Jadi, semata memperbanyak perempuan menjadi anggota DPR atau mengejar kursi ketuanya tidak akan merubah keadaan perempuan dan nasib anak selama aturan demokrasi kapitalis yang menjadi acuan.  Keberadaan kaum perempuan di DPR tidak akan memberikan perbaikan karena mereka pun tetap harus mengikuti aturan main yang sudah disepakati.  Mereka pun sama saja akan dikelilingi tawaran kolusi dan korupsi.  Dalam sistem ini UU lebih berpihak kepada pemilik modal  dan kepentingan mereka sekalipun harus mengorbankan kehidupan rakyatnya termasuk perempuan dan anak-anak  bisa menjadi sasaran kerakusannya.

Lalu bagaimana pandangan Islam?

Islam memandang permasalahan yang muncul di tengah masyarakat dianggap sebagai permasalahan kehidupan manusia yang harus diselesaikan oleh pihak yang  berwenang dan bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Negaralah yang diserahi kewajiban ini dengan penerapan syariah Islam secara kaffah sebagaimana sabda Rasulullah saw:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ».

“Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” [Hr. Bukhari dan Muslim]

Penerapan syariat Islam kaffah oleh Negara akan memastikan semua permasalahan umat baik laki laki maupun perempuan bisa diselesaikan dengan penyelesaian yang tuntas, karena syariat Islam berasal dr Allah SWT Sang Khaliq. Terkait dengan peran perempuan, Islam memiliki aturan yang berbeda dengan demokrasi.  Dalam Islam, laki-laki dan perempuan memiliki hak politik yang sama untuk memilih dan dipilih menjadi wakil umat, menjadi anggota Majelis Umat (MU).  Penting difahami bahwa MU berbeda dengan realitas DPR sekarang.  Fungsi MU sebagai wakil umat adalah untuk menyampaikan aspirasi  serta muhasabah lil hukam, mengontrol jalannya pemerintahan apakah sesuai dengan tuntunan syariah atau tidak. MU tidak membuat Undang Undang (UU) karena dalam Islam kedaulatan ada di tangan syara, Allah SWT lah pembuat UU, bukan rakyat atau wakilnya seperti  dalam sistem demokrasi sekarang.  Keberadaan perempuan menjadi wakil umat bukan untuk membuat UU karena dalam Islam sudah jelas bahwa untuk mengatur kemaslahatan rakyat adalah dengan diterapkannya syariah Islam. Saat itulah kesejahteraan akan diraih, umat manusia akan hidup dengan limpahan rahmat dan terbebas dari krisis dan penderitaan. 

Ibu Yuzi yang dirahmati Allah…, jadi jelas sekali bahwa satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah perempuan bahkan mengeluarkan seluruh manusia dari penderitaan kehidupan adalah dengan melaksanakan aturan Allah SWT–Dzat Pencipta manusia dan seluruh makhluk yang Maha Tahu dan Maha Adil–, yakni melalui penerapan syariah Islam secara kaffah dalam institusi Khilafah. Mengambil solusi Islam bukanlah tergantung pilihan namun merupakan kewajiban, dan peran politik yang harus dimainkan perempuan adalah dengan terlibat aktif dalam upaya pencerdasan umat terkait kewajiban tersebut. Bukan dengan beramai-ramainya perempuan menjadi anggota DPR. Wallaahu A’lam[]