Menolak Khilafah = Menolak Ajaran Islam

Oleh : Najmah Saiidah

Beberapa tahun belakangan ini, kata khilafah kembali mencuri perhatian masyarakat Indonesia. Biidznillaah … umat Islam menjadi tidak asing lagi dengan istilah khilafah. Semakin banyak yang bertanya dan semakin banyak yang mengenal khilafah, seiring itu pula semakin banyak penjelasan tentang khilafah dan menjadi kesempatan baik bagi para pengemban dakwah yang ikhlas untuk mendakwahkan pemahaman yang benar tentang khilafah Islamiyyah ke tengah-tengah masyarakat. Tujuannya satu — mencerdaskan umat bahwa khilafah adalah ajaran Islam, khilafah adalah sistem pemerintahan yang diperintahkan Allah, wajib ditegakkan di muka bumi ini.

Namun, orang-orang yang tidak menghendaki tegaknya sistem Islam, terus berupaya mengaburkan pandangan umat Islam tentang khilafah. Memunculkan keraguan terhadap ajaran Islam. Salah satunya hasil keputusan resmi Komisi Bahtsul Masail Al-Diniyah  dalam Munas Alim Ulama NU 2014, yang kemudian diangkat kembali tanggal 20 Juni 2019  :  Al-Khilafah al-rasyidah adalah model yang sangat sesuai dengan eranya; yakni ketika kehidupan manusia belum berada di bawah naungan negara-negara bangsa (nation states). Pada saat umat manusia bernaung di bawah negara-negara bangsa maka sistem khilafah bagi umat Islam sedunia kehilangan relevansinya.   Bahkan membangkitkan kembali ide khilafah pada masa kita sekarang ini adalah sebuah utopia. (https://islam.nu.or.id/post/read/55557/ khilafah-dalam-pandangan-nu, 20 Juni 2019). Sebagian lainnya berpendapat bahwa Islam tidak menentukan sistem Pemerintahan tertentu, bahkan ada yang lancang berpendapat jika khilafah hanya rekaan para shahabat saja.

Secara Istilah dan Syar’iy, Khilafah adalah Ajaran Islam

Imam al-Mawardi, dalam kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah menyatakan, “Imamah/Khilafah dibuat untuk menggantikan kenabian dalam menjaga agama dan mengurus dunia.” [al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah, hal. 3]. Sedangkan Ibn Khaldun  menyatakan, “Menggantikan pemilik syariah [Nabi saw.] dalam menjaga agama, dan mengurus dunia dengannya.” [Ibn Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, hal. 98]Dr. Mahmud al-Khalidi, dalam disertasinya di Universitas al-Azhar, Mesir, menyatakan, “Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.” [Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 226]. Definisi ini adalah definisi yang sama, yang digunakan oleh al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, dalam kitabnya, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam. [an-Nabhani, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, hal. 34]

Karena merupakan istilah Islam, Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya. Menegakkan Khilafah adalah wajib menurut syariah Islam. Bahkan Khilafah merupakan “tâj al-furûd (mahkota kewajiban)”. Pasalnya, tanpa Khilafah—sebagaimana saat ini—sebagian besar syariah Islam di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, pemerintahan, politik, politik luar negeri, hukum/peradilan, dsb terabaikan. Bahkan, Nabi saw menambahkan dengan predikat,Khilafah ’ala Minhaj Nubuwwah [Khilafah yang mengikuti metode kenabian], yang berarti Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam yang dijalankan oleh para sahabat itu merupakan copy paste dari Nabi saw. Mereka tinggal melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh Nabi saw.  Bahkan, Nabi saw. memerintahkan agar umatnya tidak hanya memegang teguh sunnahnya, tetapi juga sunah para Khulafa’ Rasyidin. Nabi saw. bersabda: “Kalian wajib berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidin yang mendapat petunjuk setelaku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham.” [Hr. Abu Dawud dan at-Tirmidzi].

Terlebih lagi, kewajiban mendirikan khilafah di muka bumi ini sangat rinci dalil-dalinya secara syar’iy, di antaranya :

1. Dalil al-Quran.

Dalil al-Quran lainnya antara lain QS an-Nisa` (4) ayat 59; QS al-Maidah (5) ayat 48; dll (Lihat: Ad-Dumaji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49).  Selain itu Allah SWT berfirman:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً…

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi khalifah…” (TQS al-Baqarah [2]: 30).

Saat menafsirkan ayat di atas, Imam al-Qurthubi menyatakan bahwa wajib atas kaum Muslim untuk mengangkat seorang imam atau khalifah. Ia lalu menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) tersebut di kalangan umat dan para imam mazhab; kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli terhadap syariah, red.) dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264).

2. Dalil as-Sunnah.

Kata khilâfah banyak dinyatakan dalam hadits,  “Sesungguhnya (urusan) agama kalian berawal dengan kenabian dan rahmat, lalu akan ada Khilafah dan rahmat” (HR al-Bazzar).  Kata khilâfah dalam hadis ini memiliki pengertian: sistem pemerintahan, pewaris pemerintahan kenabian. Ini dikuatkan oleh sabdanya : “Dulu Bani Israel dipimpin dan diurus oleh para nabi. Jika para nabi itu telah wafat, mereka digantikan oleh nabi yang baru. Sungguh setelah aku tidak ada lagi seorang nabi, tetapi akan ada para khalifah yang banyak” (HR al-Bukhari dan Muslim). 

Pernyataan Rasul saw., “Sungguh setelah aku tidak ada lagi seorang nabi,” mengisyaratkan bahwa tugas dan jabatan kenabian tidak akan ada yang menggantikan beliau. Khalifah hanya menggantikan beliau dalam tugas dan jabatan politik, yaitu memimpin dan mengurusi umat.  Dari kedua hadis di atas dapat kita pahami bahwa bentuk pemerintahan yang diwariskan Nabi saw. adalah Khilafah.

مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.” (HR Muslim).

إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الآخِرَ مِنْهُمَا

“Jika dibaiat dua orang khalifah maka perangilah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim)

Berdasarkan hadis di atas, menurut Syaikh ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib (Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49

3. Dalil Ijmak Sahabat.

Sungguh para Sahabat ra telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Menurut Imam ath-Thabari dalam Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, generasi awal Islam yang hidup pada kurun terbaik telah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap urusan Kekhilafahan. Para Sahabat besar seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, selalu memberikan amanah mengangkat khalifah baru bila khalifah sebelumnya mangkat atau karena ada sebab-sebab syar‘iy lainnya. Ini menunjukkan bahwa menegakkan Khilafah adalah wajib.

Lebih dari itu, menurut Syaikh ad-Dumaji, kewajiban menegakkan Khilafah juga didasarkan pada kaidah syara :  مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ  (Selama suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib pula hukumnya).  Sudah diketahui bahwa banyak kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan oleh orang-perorang, seperti kewajiban melaksanakan hudûd (rajam atau cambuk atas pezina, potong tangan atas pencuri), kewajiban jihad  dan sebagainya. Pelaksanaan semua kewajiban ini membutuhkan kekuasaan (sulthah) Islam. Kekuasaan itu tiada lain adalah Khilafah. Alhasil, kaidah syariah di atas juga merupakan dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah (Lihat: Syaikh ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49).

        Telah sangat jelas,  baik secara istilah dan      dalil-dalil syara’, bahwa khilafah adalah ajaran Islam.   Khilafah adalah  sistem pemerintahan,  penerus negara Islam yang dicontohkan Rasulullah SAW,  yang diterapkan oleh para shahabat Rasulullah dan generasi berikutnya.  Menolak dan mengingkari khilafah sama saja dengan menolak dan mengingkari  ajaran Islam!  (Wallahu a’lam bishshawwab)