Oleh : Nabilah Asy-Syafi’i
MUQADIMAH
Bagi sebagian perempuan, menjadi istri penguasa, pejabat atau pengusaha adalah
hal yang membanggakan dan tentunya menaikkan prestise ditengah-tengah
masyarakat. Status sosialnya juga naik, ia akan dipanggil dengan sebutan
jabatan suaminya, semisal: ibu negara, ibu gubernur, ibu mentri, hingga ibu RW
/ RT.
Bagi Istri pejabat bukan hanya status ” yang terhormat ” yang
tersemat, namun fasilitas yang serba wah dan kemudahan- kemudahan administrasi
akan mudah didapat , hingga akhirnya mengubah gaya hidup dan pergaulan yang
sudah lama melekat, menjadi gaya hidup dan pergaulan yang dianggapnya lebih
hebat bermartabat. Tak aneh memang, karena arus hedonisme dalam sistem
kapitalisme telah mengakar kuat.
Maka, tak jarang kita jumpai, para istri pejabat semacam ini, mengangkat citra
dirinya dengan gelimangan perhiasan dunia, pelesir ke manca negara dengan
membooking pesawat atau jet pribadi. Bahkan pergaulannya adalah pergaulan
sosialita , bukan pergaulan rakyat biasa yang katanya ‘ diurusinya’.
Tak mengherankan, jika sosok istri yg semacam ini tega memanfaatkan jabatan dan
kekuasaan suaminya sebagai ajang menumpuk materi dengan menghalalkan segala
cara. Praktek korupsi, kolusi, gratifikasi, ribawi, menggadaikan SK jabatan,
adalah hal yang lumrah terjadi. Inilah gambaran sebagian perempuan yang ada
(mungkin) di negeri tercinta ini.
Sebagai bahan renungan dan perbandingan, sehingga kita bisa mengajari diri
sendiri juga yang lain, agar mampu untuk mengendalikan dunia dalam rangka
tunduk kepada Allah SWT, maka akan kita saksikan sepenggal kisah dari perempuan
hebat, anak seorang khalifah dan istri seorang khalifah, dia adalah Fatimah
binti Abdul Malik .
MENGENAL SOSOK FATIMAH BINTI ABDUL MALIK
Dia adalah Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan Al Umawiyyah Al Quraisyiah. Dua
belas orang pria yang menjadi mahramnya adalah Khalifah, ayahnya, kakeknya,
saudaranya, keponakannya bahkan suaminya adalah khalifah, yakni Umar bin Abdul
Aziz.
Dari lahir hingga tumbuh dewasa Fatimah dikelilingi oleh kemuliaan dan
kenikmatan dunia. Perhiasan permata yang tiada duanya, baju mewah dari kain
sutra, istana nan indah dan megah. Ayah, ibu, saudara-saudara, dan orang-orang
yang ada disekitar menyayanginya dengan cinta kasih sepenuh hati. Pengasuhan
dan pendidikan
yang terbaik diperolehnya. Sungguh kehidupan yang tampak sempurna. Seorang putri
yang sangat cantik nan
bagus akhlak juga
ilmunya.
Kebahagian hidup Fatimah semakin sempurna, tatkala seorang lelaki sholih, kaya,
berilmu, tampan juga dari keluarga yang terhormat mempersunting dirinya. Lelaki
itu bernama Umar bin Abdul Aziz. Pesta pernikahan pun digelar dengan mewah,
lampu – lampu gantung dengan minyak yang beraroma harum menghiasi. Menambah
semarak suasana.
Dalam kehidupan rumah tangga ini kebahagian Fatimah semakin bertambah, dengan
lahirnya dua putra mereka yakni Ishaq dan Ya’kub. Umar bin Abdul Aziz, seorang
suami yang sangat baik, mendidik istri untuk senantiasa dalam ketaatan kepada
Allah SWT. Ia
juga suka memanjakan istrinya,
memenuhi semuakeinginannya
dan menyayanginya
dengan tulus. Sungguh kehidupan rumah tangga yang harmonis dan romantis.
KEHIDUPANNYA BERUBAH SAAT SANG SUAMI MENJADI KHALIFAH
Kehidupan dunia ini amatlah singkat. Segala kemewahan, dan kenikmatan pun
tidak abadi. Fatimah binti Abdul Malik yang terbiasa hidup mewah dan serba
mudah, kini memilih untuk meninggalkan semua kemewahan dunia. Ini terjadi saat
suaminya, Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai khalifah menggantikan Sulaiman
bin Abdul Malik, yang dilantik pada hari jumat, bulan Shafar 99 H di kota
Damaskus.
Usai dibaiat sebagai khalifah, Umar bin Abdul Aziz memfokuskan tenaga, fikiran
dan seluruh sisa hidupnya untuk mengurus urusan kaum muslimin dan menegakkan
semua aturan sesuai dengan aturan Allah SWT dan Rasulullah SAW. Umar bin Abdul
Aziz memilih untuk menjadi sosok yang sederhana, zuhud dan tampil sebagai salah
satu pemimpin umat Islam yang terbaik.
Umar bin Abdul Aziz
pun menolak seluruh fasilitas istana yang diperuntukkan bagi seorang kepala
negara. Istana
yang dilengkapi dengan perabot yang serba lux, gelas- gelas kristal, ranjang
yang bagus, kasur yang empuk, bantal – bantal sandaran yang tersusun rapi,
permadani yang yang luas dan lembut. Ia memilih tinggal di rumah sempit yang
dibangun dari tanah liat yang ada disebelah masjid.
Fatimah merasa suaminya terlihat lebih tua tiga tahun dibandingkan tiga hari
yang lalu tatkala ia berangkat ke kota Damaskus.Kini raut muka suaminya tampak
letih, tubuhnya yang kokoh gemetaran, karena menanggung beban yang teramat
berat.
Tatkala sampai dirumah, Umar bin Abdul Aziz memberi pilihan kepada istrinya,
Fatimah untuk memilih masa depannya sendiri, karena Umar merasa mendapat
tanggung jawab besar, yang membuatnya tidak bisa lagi menjaga dan memenuhi
keinginan istrinya yang cantik jelita ini.
Dengan suara lembut Umar bin Abdul Aziz memberi pilihan kepada Fatimah,
“Fatimah, isteriku…! bukankah engkau telah tahu apa yang menimpaku? Beban yang
teramat berat dipikulkan kepundakku, menjadi nakhoda bahtera yang ditumpangi
oleh umat Muhammad Shallallahu ‘alahi Wassalam. Tugas ini sungguh menyita
waktuku hingga hakku terhadapmu akan terabaikan”.
Disinilah terlihat bahwa sosok Fatimah adalah perempuan yang berhias diri
dengan akal sehat dan keimanan yang kuat. Ia memilih untuk bersama suami, setia
mendampingi, dan turut memikul tanggung jawab.
Lembar sejarah mencatat tentang sosok Fatimah binti Abdul Malik, adalah perempuan
sholihah yang hebat dengan jiwa ikhlas dan sabar. Pendukung pertama gerakan
perubahan yang dilakukan oleh suaminya yakni gerakan kesederhanan para pemimpin
dalam kehidupan.
Fatimah juga menunjukkan sebagai istri yang berbakti. Demi keridhaan sang suami
yang tercinta, ia rela meninggalkan kemewahan hidup yang selama ini
dinikmatinya. Semua dilakukan dengan penuh kesadaran, keikhlasan atas pondasi
keimanan yang kuat dengan semata mengharapkan keridhaan dan surganya Allah.
Tanda keridhaan yang pertama adalah berpindah dari istana ke rumah yang sempit
yang dibangun dari tanah liat. Di rumahnya yang baru, Fatimah hidup dengan
penuh kesederhanaan, menjahit sendiri pakaian yang dikenakan, memasak makanan
yang disantap, semuanya serba sederhana tanpa ada kemewahan, semua sama dengan rakyat
biasa. Bahkan Fatimah pun membantu suaminya memperbaiki rumah jika diperlukan.Padahal
status mereka adalah kepala negara dan ibu negara.
Suatu hari Umar bertanya kepada Fatimah, ” Darimana perhiasan ini sampai
ke tanganmu? “Dari ayahku ” jawab Fatimah. ( saat memberikan perhiasan tersebut, ayahFatimah adalah khalifah).
Maka Umar bin Abdul Aziz meminta Fatimah untuk menyerahkan perhiasan tersebut
ke baitul maal. Maka Fatimah pun mematuhi perintah suaminya, diserahkan semua
perhiasannya ke baitul maal kaum muslimin dengan ikhlas.
SAAT SUAMI YANG DICINTAI TELAH TIADA.
Allah telah menetapkan ajal masing-masing orang. Termasuk khalifah Umar bin
Abdul Aziz. Beliau wafat pada tahun 101 H. Ketika kekhilafahan dipegang oleh
Yazid bin Abdul Malik, saudaranya Fatimah, ia (Yazid) mengatakan, “jika engkau menginginkan maka
akan saya kembali semua perhiasannya atau harganya “. Maka jawab Fatimah,
” Saya tidak menginginkannya. Saya menyerahkan perhiasan tersebut ke
baitul maal dengan ikhlas di masa hidupnya, maka ketika dia telah wafat,
sungguh demi Allah, saya tidak akan mengambilnya kembali. Aku mematuhi suami
ketika dia masih hidup maupun telah tiada”.
KHATIMAH
Demikianlah lembar sejarah mengabadikan Fatimah binti Abdul Malik , sosok
perempuan sholihah, ikhlas, sabar dan menjadi pendamping terbaik bagi suami
yang menjalankan tugas dan kewajiban sebagai khalifah/kepala negara. Sungguh
sosok pribadi yang patut untuk dijadikan cermin oleh para perempuan saat ini,
terutamamereka yang bersuamikanpejabatnegara, pemimpinmasyarakat,
panutanumat. (NAS)