KHALIFAH YANG DIRINDUKAN UMAT

Oleh : Najmah Saiidah

Islam adalah sistem kehidupan yang sempurna.  Di dalamnya terdapat aturan yang mengatur segala bentuk interaksi antar sesama manusia, seperti sistem politik,  sosial, ekonomi  dan sebagainya.  Aturan-aturan ini meniscayakan adanya negara yang akan melaksanakan dan menerapkan aturan-aturan tersebut kepada manusia. Islam telah menetapkan sistem yang khas bagi pemerintahan.

Dalam kitab muqoddimatud Dustuur, penerbit daarul Ummah, dijelaskan bahwa pemerintahan dalam Islam bersifat sentralisasi (terpusat), artinya yang memiliki otoritas menerapkan hukum hanya satu orang saja, tidak boleh lebih.  Dengan kata lain, pelaksanaan kekuasaan atau penerapan hukum syara’ hanya berada di tangan orang yang dibaiat  rakyat, yaitu seorang khalifah.  Karena terkait kepemimpinan,  maka syara’ mengharuskannya hanya satu, dan tidak boleh lebih dari satu. Islam tidak mengenal komando kolektif dan tidak mengenal kepemimpinan kolektif. Melainkan dalam Islam komando dan kepemimpinan itu bersifat individual (fardiyah) saja dan kepala (ar-ra`îs) atau pemimpin (al-amîr) itu wajib satu dan tidak boleh lebih dari satu. Dalil atas hal itu tampak jelas dalam nash hadits-hadits, di antaranya “Idza kuntum tsalatan fi fallatin, fal yu’ammiru ahadukum.” (Jika kalian bertiga di suatu tempat, hendaknya salah seorang di antara kalian menjadi pemimpinnya).  Jelaslah, bahwasetiap  urusan bersama yang melibatkan banyak orang, maka harus ada yang memimpin urusan tersebut. Meski urusan itu mubah. Apalagi, jika urusan tersebut wajib. Karena itu, adanya kepemimpinan dalam Islam yang mengurus urusan bersama hukumnya wajib.

Pemimpin Negara Islam adalah khalifah.  Khalifah, amirul mukminin, sultan atau imam, meskipun nama dan penyebutannya berbeda, tapi memiliki makna yang sama, yaitu pemimpin. Nama-nama tersebut dalam syariat dipakai sebagai sebutan untuk setiap orang yang mengurusi urusan manusia dalam pengaturan kekuasaan dan hukum.  Jabatan Khalifah tidak dibatasai periode tertentu. Selama Khalifah masih tetap menjaga syariah, menerapkan hukum-hukumnya, serta mampu melaksanakan berbagai urusan negara dan tanggung jawab kekhilafahan, maka ia tetap sah menjadi khalifah (Muqoddimatud dustuur, daarul Ummah).

Kriteria Khalifah

Berdasarkan dalil-dalil syara’, seorang khalifah harus memenuhi 7 syarat in’iqad (syarat legal), yaitu : (1)  laki-laki; (2) muslim; (3) merdeka; (4) baligh; (5) berakal; (6) adil, artinya bukan orang fasik; dan (7) mampu mengemban jabatan.  Jika salah satu dari ketujuh kriteria ini tidak ada, maka kepemimpinannya dinyatakan tidak sah.  Di luar itu dimungkinkan menjadi syarat afdhaliyyah (syarat keutamaan) jika memang didukung nash-nash sahih atau merupakan turunan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash sahih. Misalnya: keturunan Quraisy, Mujtahid, atau Ahli menggunakan senjata  (Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhomul Hukmi fil Islam). Jika Khalifah kehilangan satu dari tujuh syarat in‘iqâd maka secara syar‘i ia tidak boleh terus menduduki jabatan kekhilafahan. Pada kondisi ini ia harus dipecat. Pihak yang memiliki wewenang menetapkan pemecatannya hanya Mahkamah Mazhâlim.

Pemimpin dalam Islam haruslah seorang Muslim, karena Alquran dengan tegas melarang kaum Muslim memberi jalan kepada orang kafir untuk menguasai mereka (QS an-Nisa’ [04]: 141). “Memberi jalan untuk menguasai” saja tidak diperbolehkan, apalagi “menguasai atau memimpin” secara langsung.

Khalifah, haruslah laki-laki.  Dinyatakan oleh nash, “Lan yufliha qouman walau amrohum imroatan” Tidak akan beruntung/menang suatu kaum yang menyerahkan urusan kekuasaan/pemerintahan kepada perempuan” (HR. Bukhari dari Abi Bakrah). Adanya celaan dalam hadits ini, menunjukkan  larangan bagi kaum perempuan menjadi pemimpin negara. (Alkhilafah, Taqiyuddin An Nabhani)

Adapun baligh dan berakal, karena dengan tegas Nabi menyatakan bahwa keduanya merupakan syarat taklif. Sementara syarat taklif ini merupakan syarat sah dan tidaknya tasharruf (tindakan hukum), baik secara lisan (qauli) maupun verbal (fi’li). Jika tindakan hukumnya tidak sah, maka dia lebih tidak layak lagi untuk menjadi pemimpin negara. Karena dia tidak memiliki hak untuk melakukan tindakan hukum (tasharruf).Begitu juga dengan kriteria adil, karena keadilan ini dipersyaratkan kepada saksi, sebagaimana disebutkan dalam Alquran surat at-Thalaq  ayat 2. Sedangkan pemimpin negara lebih agung, lebih berat dan lebih dari sekadar saksi. Tentu, syarat ini lebih layak disematkan kepada pemimpin negara.

Merdeka dan mampu juga merupakan kriteria yang mutlak dipenuhi seorang pemimpin negara. Karena kemerdekaan ini akan menentukan status tindakan hukumnya. Orang yang menjadi budak, tidak bisa melakukan tindakan hukum secara independen. Begitu juga orang yang dipenjara, atau disandera, baik oleh negara asing, kroni, cukong maupun parpol pendukungnya, bisa dianggap tidak merdeka. Karena tindakan hukumnya tidak independen. Pemimpin seperti ini hanya boneka, mengekor dan mengikuti apa yang dikehendaki majikannya.

Biasanya pemimpin boneka adalah pemimpin lemah dan tidak berdaya, karena ia didikte oleh oranglain atau pihak lain, sebagaimana banyak pemimpin negara saat ini. Nabi menyebutnya dengan istilah Ruwaibidhah. Dia adalah, “ar-Rajulu at-tafih yar’a syu’una al-‘ammah” (orang bodoh yang mengurus urusan orang banyak). Boneka seperti ini tidak layak menjadi pemimpin, karena pemimpin meniscayakan leadership. Ibarat lokomotif, dialah yang menarik atau mendorong gerbong. Bukan ditarik atau didorong oleh gerbong. Bahkan, ini merupakan kriteria yang sangat penting. Ketika Abu Dzar meminta amanah kepemimpinan, Nabi menolak memberikannya kepada Abu Dzar, sambil memberi nasihat, 

يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيفٌ، وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا

“Abu Dzar, kamu ini lemah, sementara jabatan ini adalah amanah. Pada Hari Pembalasan amanah itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil amanah tersebut sesuai dengan haknya dan menunaikan kewajiban dalam kepemimpinannya.” (HR Muslim)

Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Afkar as-Siyasiyyah juga menyebutkan beberapa karakter seorang pemimpin yaitu:  Pertama, berkepribadian kuat. Orang lemah tidak pantas menjadi pemimpin, karena sebagaimana sabda Rasulullah, bahwa kepemimpinan adalah amanah yang harus dipikul oleh orang yang kuat.  Kedua, bertakwa. Sulaiman bin Buraidah, dari bapaknya, menuturkan, “Rasulullah saw., jika mengangkat seorang pemimpin pasukan atau suatu ekspedisi pasukan khusus, senantiasa mewasiatkan takwa kepada dirinya.” (HR Muslim).  Seorang pemimpin yang bertakwa akan selalu menyadari bahwa Allah SWT senantiasa memonitor dirinya dan dia akan selalu takut kepada-Nya. Dengan demikian dia akan menjauhkan diri dari sikap sewenang-wenang (zalim) kepada rakyat maupun abai terhadap urusan mereka. Ketiga, memiliki sifat welas kasih. Ini diwujudkan secara konkret dengan sikap lembut dan bijak yang tidak menyulitkan rakyatnya. Terkait ini Rasulullah saw. pernah berdoa: “Ya Allah, siapa saja yang diberi tanggung jawab memimpin urusan umatku dan menimbulkan kesulitan bagi mereka, maka persulitlah dia. Siapa saja yang memerintah umatku dengan sikap lembut (bersahabat) kepada mereka, maka lembutlah kepada dia.” (HR Muslim).Keempat, penuh perhatian kepada rakyatnya. Maqil bin Yasar menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang memimpin pemerintahan kaum Muslim, lalu dia tidak serius mengurus mereka, dan tidak memberikan nasihat yang tulus kepada mereka, maka dia tidak akan mencium harumnya aroma surga.” (HR Muslim).Kelima, istiqamah memerintah dengan syariah. Diriwayatkan bahwa Muadz bin Jabal, saat diutus menjadi wali/gubernur Yaman, ditanya oleh Rasulullah saw., “Dengan apa engkau memutuskan perkara?” Muadz menjawab, “Dengan Kitabullah.” Rasul saw. bertanya lagi, “Dengan apalagi jika engkau tidak mendapatinya (di dalam al-Quran)?” Muadz menjawab, “Dengan Sunnah Rasululllah.” Rasul saw. bertanya sekali lagi, “Dengan apalagi jika engkau tidak mendapatinya (di dalam al-Quran maupun as-Sunnah)?” Muadz menjawab, “Aku akan berijtihad.” Kemudian Rasulullah saw. berucap, “Segala pujian milik Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah ke jalan yang disukai Allah dan Rasul-Nya.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi).

Khatimah

Demikianlah sosok seorang khalifah, gambaran pemimpin umat yang hari ini tidak kita temukan.  Umat saat ini tentu merindukan hadirnya pemimpin yang sesuai syariah, seorang khalifah.  Di satu sisi  karena kesadaran keislaman  umat  semakin meningkat, di sisi lain  mereka juga sesungguhnya telah muak dengan sistem dan pemimpin sekular-kapitalis-liberal yang telah  terbukti gagal membawa rakyatnya kepada kebaikan dan kemuliaan sebagai manusia. Berbagai persoalan di tengah masyakat tidak kunjung selesai, justru semakin merajalela sedangkan para pemimpin justru ‘santai-santai’ saja, seolah tidak terjadi apa-apa. 

Sejatinya yang agenda umat Islam saat ini  adalah berjuang bersama  mewujudkan sistem Islam tehgak di muka bumi ini, sekaligus mewujudkan sosok khalifah, pemimpin kaum muslimin di muka bumi ini.  Para ulama dan umat Islam pada umumnya harus terus berupaya mencerdaskan umat,  sehingga bersatu padu … bersama-sama  memperjuangkan sistem kepemimpinan Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. saat membangun Daulah Islam di Madinah dan memunculkan sosok khalifah yang bisa membawa rakyatnya kepada kebaikan dunia akhirat.  Wallahu a’lam bishshawwab.