Oleh :Wardah Abeedah
Indonesia darurat radikalisme. Begitulah narasi yang semakin kuat digaungkan oleh banyak pihak, termasuk rezim Jokowi Jilid II. Kabinet Indonesia Maju yang baru terbentuk pun sejak awal lantang menyuarakan perang terhadap radikalisme.
Dalam rangka perang terhadap radikalisme, dimunculkanlah narasi Islam Moderat. Islam Moderat yang kemudian dikenal dengan istilah Islam Indonesia, Islam Nusantara, ataupun Islam Rahmatan lil Alamin ini menjadi alternative sekaligus tandingan Islam Radikal.Polarisasi semakin menguat seiring massifnya program deradikalisasi.Jika anda tak mengambil Islam Moderat, maka anda radikal. Begitu pula sebaliknya. Umat Islam hanya diberi dua pilihan ;menjadi radikal, atau moderat. Sedikit ambigu memang, mengingat Islam Moderat ini selalu diklaim wasathiyah, pertengahan.
Menanggapi hal ini, kaum muslimin terpecah menjadi beberapa kubu yang berbeda pendapat. Hal ini disebabkan terminology radikal dan moderat memang tak memiliki sandaran nash syariah. Terminologi ini bukan berasal dari Islam, baik dilihat dari segi musthalah, atau pun hukum. Kaum muslimin dalam merespon narasi Islam Radikal vs Islam Moderat, terbelah menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, membabi buta membela bahkan memperjuangkan Islam moderat serta memerangi siapapun yang disebut radikal. Kelompok kedua bersikap defensif apologetic. Atas nama membela diri (Islam), mereka terjebak mengkompromikan ide Islam moderat dengan Islam yang sebenarnya. Kelompok ketiga, menolak faham Islam moderat dan menjelaskan bahaya dan hakikat politis kepentingan di dalamnya.Narasi Islam moderat versus Islam radikal dianggap membelah umat, sekaligus berbahaya bagi aqidah Islam. Diantara narasi-narasi Islam moderat yang berbahaya bagi akidah adalah sebagai berikut ;
Pertama, penghapusan istilah kafir bagi non muslim WNI. Salah satu penggagasnya adalah ormas Islam terbesar di Indonesia dalam Musyawarah Nasionalnya.
Penghapusan istilah kafir ini bagian dari upaya kaum muslim moderat ‘mendakwahkan’ faham pluralisme agama, yang menganggap semua agama sama. Padahal istilah kafir adalah istilah yang dibuat oleh Allah dan sudah final dalam kitab suci Alquran. Makna dari istilah ini juga sudah ma’lumanminaddiin bid dharurah, sudahqath’iy tanpa pernah dipermasalahkan sepanjang sejarah kaum muslimin.
Penghapusan istilah kafir juga menyerang konsep akidah Islam. Dalam pembahasan akidah atau tauhid, kata kafir menjadi pembeda yang jelas dan terang antara mereka yang mengimani bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai rasulNya, dengan mereka yang mengingkarinya. (Lihat an-Nisa’ [4]: 136)
Kedua, narasi semua agama sama (pluralis meteologi).
Kaum muslim moderat selalu mengklaim bahwa semua agama sama.Siapa pun dilarang mengklaim pamahamannya paling benar. Demi pluralisme, tokoh Islam moderat dan ulama moderat memfatwakan bolehnya merayakan natal bersama, bahkan mencontohkan dengan berkhotbah di gereja, buka bersama di gereja, dll. Pemahaman dan praktik seperti di atas jelas batil dilihat dari kacamata Islam. Allah Azzawa Jalla berfirman:
إِنَّالدِّينَعِندَاللَّهِالْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah ialah Islam” [Ali Imran 19]
وَمَنيَبْتَغِغَيْرَالْإِسْلَامِدِينًافَلَنيُقْبَلَمِنْهُوَهُوَفِيالْآخِرَةِمِنَالْخَاسِرِينَ
“Dan barang siapa mencari agama selain agama Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” [Ali ‘Imran: 85]
Bukankah menyamakan agama yang memerintahkan menyembah Rabb semesta yang maha kuasa dengan agama yang membolehkan penyembahan sapi adalah penghinaan bagi Allah? MahaSuci Allah dariapa yang mereka katakan.
Ketiga, narasi mengindonesiakan Islam, bukan mengislamkan Indonesia.
Pernyataan ini acap kali kita dengar dari lisan-lisan tokoh Islam moderat. Dari dua kalimat tersebut, bisa kita tarik pemahaman bahwa Islam harus disesuaikan dengan Indonesia. Ini jelas berbahaya karena Islam dating untuk seluruh manusia, dimanapun dan bangsa apapun [Saba’ 28]. Islam agama sempurna dan sesuai untuk siapapun mahluk Allah. Statement ini seakan mengaggap Islam belum sempurna hingga harus disesuaikan dengan Indonesia. Apakah kita meragukan satu-satunya agama yang diridhai Allah, Rabb semesta alam?
Keempat, menolak hokum syariah.
Robert Spencer – analis Islam terkemuka di AS – menyebut kriteria seseorang yang dianggap sebagai muslim moderat antara lain: menolak pemberlakuan hukum Islam kepada non muslim; meninggalkan keinginan untuk menggantikan konstitusi dengan hukum Islam; menolak supremasi Islam atas agama lain; menolak aturan bahwa seorang muslim yang beralih pada agama lain (murtad) harus dibunuh; mendorong kaum muslim untuk menghilangkan larangan nikah beda agama dan lain-lain. Definisi ini juga diamin itokoh-tokoh Islam moderat dunia. Sebut saja Tawfik Hamid, mantan anggota kelompok Islam Radikal dari Mesir, Jamaah al-Islamiyah.
Berislam tapi menolak hukum Islam atau sebagiannya jelas bertentangan dengan akidah Islam. Akidah Islam yang mewajibkan iman kepada Allah dengan segala sifatnya, memiliki konsekwensi mentaati dan berserah diri pada Allah (Annisa’ 65). Iman menuntut untuk taat tanpa tapi, tanpa pilih-pilih hukum. Baik itu perintah Allah terkait ibadah, muamalah seperti pelarangan riba dan penerapan system ekonomi Islam oleh negara, ataupun hokum terkait politik dan pemerintahan Islam (khilafah/imamah), wajib disambut dengan sami’nawaatha’na. Kami mendengar dan kami taat.
Selain narasi-narasi diatas, terdapat banyak narasi yang dipersoalkan ulama hanif karena diyakini mengobrak-abrik konsep akidah Islam. Hal ini amatlah berbahaya. Sebab akidah (keimanan) adalah pondasi Islam. Akidah adalah landasan bagi setiap mukmin untuk tunduk dan terikat berbagai hokum syara’ yang ditetapkan Allah. Kekuatan akidahlah yang menjadikan kaum muslimin mengorbankan energi, harta, bahkan nyawanya demi menerapkan Islam secarasempurnadalamkekuatanpolitik (negara) yang menyatukan seluruh kaum muslimin di dunia. Dan inilah yang ditakutkan Barat. Mereka sangat meyakini kekuatan umat Islam terdapat pada akidahnya. Kebangkitan Islam akan diperjuangkan umat Islam ketika akidah menghujam di akal dan hati mereka. Jika ini terjadi, dominasi dan penjajahan Barat di negeri muslim akan berakhir seketika. Barat tak lagi mampu bertahan tanpa menghisap sumber daya alam dan sumber daya manusia di negeri-negeri muslim yang kaya seperti Indonesia. Itulah mengapa mereka tak pernah berhenti berbuat makar seperti menggaungkan narasi Islam moderat melalui antek-anteknya.
Penetrasi Islam moderat ini tak akan berhenti bergaung hingga sumber suaranya (Barat) runtuh. Menghentikan Islam moderat haruslah dengan menghapus kekuatan politik Barat. Yakni menghadapi ideology Kapitalisme mereka dengan kekuatan ideologi Islam. Menerapkan ideologi Islam melalui negara khilafah Islamiyah atas manhaj nubuwwah.
Allahua’lam bisshawab.