Oleh : Kholishoh Dzikri
Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan hadits dari jalur Abu Hurairah ra, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa Sallam, bersabda:
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدْلٌ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ ، وَإِنْ يَأْمُرُ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ [رواه البخاري ومسلم]
“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Makna Hadist
Hadits di atas menggunakan lafadz, al-Imâm, bukan lafadz al-Amîr. Nabi Shallalllahu ‘alaihi wa Sallam memilih dan menggunakan lafadz ini bukan tanpa maksud.
Dengan menelaah berbagai hadits yang membahas bab al-khilâfah dan al-imâmah, tampak sekali, bahwa Nabi Muhammad shallalllahu ‘alaihi wa Sallam , para sahabat ra, dan para tabiin yang meriwayatkannya tidak membedakan antara lafadz khalîfah dan imâm. Dengan kata lain, lafadz, imâm di sini mempunyai konotasi khalîfah. Karena kedua lafadz ini konotasinya sama sehingga ketika digunakan lafadz imâm, maka yang dimaksud adalah khalîfah.
Setelah ‘Umar bin al-Khatthab ra, diangkat menjadi khalifah, menggantikan Abu Bakar As-Shiddiq, para sahabat menambahkan lafadz, Amîru al-Mukminîn. Karena itu, para ulama’ kemudian menggunakannya, dan menjadikan ketiga lafadz yaitu Imâm, khalîfah dan amîru al-mukminîn tersebut sebagai sinonim, dengan konotasi yang sama. Imam an-Nawawi menjelaskan:
“Untuk seorang imam [kepala negara], boleh disebut dengan menggunakan istilah: Khalîfah, Imâm dan Amîru al-Mukminîn.”.
Penjelasan yang sama, diberikan oleh Ibn Khaldun. Beliau menegaskan:
“Ketika kami jelaskan hakikat jabatan ini, dan bahwa jabatan ini merupakan substitusi [pengganti] dari pemilik syariah dalam menjaga agama dan mengurus dunia dengan agama, maka disebut khilâfah dan imâmah. Orang yang menjalankannya disebut Khalîfah dan Imâm.”
Berangkat dari sini, Al-‘Allamah Najîb al-Muthî’i, dalam Takmilah al-Majmû’, karya Imam an-Nawawi, menegaskan:
“Imâmah, Khilâfah dan Imaratu al-Mu’minîn itu adalah sinonim [kata yang berbeda, dengan konotasi yang sama].”
Imam Abu Zahrah, juga menjelaskan hal yang sama, bahwa imâmah dan khilâfah, begitu juga imâm dan khalîfah itu sama:
“Semua mazhab politik berkisar tentang khilâfah, yaitu imâmah kubrâ. Ia disebut khilâfah, karena yang mengurus dan menjadi penguasa tertinggi bagi kaum Muslim itu menggantikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama dalam mengurus urusan mereka. Ia juga disebut imâmah, karena khalîfah biasa dipanggil dengan sebutan imâm. Karena mentaatinya hukumnya wajib, karena masyarakat berjalan di belakangnya, sebagaimana orang yang berada di belakang orang yang menjadi imam shalat mereka.”
Karena itu, jelas, bahwa yang dimaksud dengan imâm di dalam hadits Bukhari dan Muslim di atas, tak lain adalah khalîfah.
Mengapa hanya imâm/khalîfah yang disebut sebagai junnah [perisai] ?. Karena dialah satu-satunya yang bertanggungjawab sebagai perisai, sebagaimana dijelaskan dalam hadits lain:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ».
“Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Menjadi junnah [perisai] bagi umat Islam, khususnya, dan rakyat umumnya, meniscayakan imâm harus kuat, berani dan terdepan. Bukan orang yang pengecut dan lemah. Kekuatan ini bukan hanya pada pribadinya, tetapi pada institusi negaranya. Kekuatan ini dibangun karena pondasi pribadi dan negaranya sama, yaitu aqidah Islam. Inilah yang ada pada diri Nabi shalla-llahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifah setelahnya.
Sebagai contoh perlindungan negara kepada seorang muslimah yang dinodai kehormatannya oleh orang Yahudi Bani Qainuqa’ di Madinah, Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallam sebagai kepala negara melindunginya, menyatakan perang kepada Yahudi Bani Qainua’, dan mereka pun diusir dari Madinah.
Ini tidak hanya dilakukan oleh Nabi, tetapi juga para Khalifah setelahnya. Harun ar-Rasyid, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, telah menyumbat mulut jalang Nakfur, Raja Romawi, dan memaksanya berlutut kepada khilafah.
Al-Mu’tashim di era Khilafah ‘Abbasiyyah, memenuhi jeritan wanita Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi, melumat habis Amuriah, yang mengakibatkan 9000 tentara Romawi terbunuh, dan 9000 lainnya menjadi tawanan.
Demikian juga dengan Sultan ‘Abdul Hamid di era Khilafah ‘Utsmaniyyah, semuanya melakukan hal yang sama. Karena mereka adalah junnah [perisai] Umat Islam. Khilafah dan khalifahnya sangat ditakuti oleh kaum Kafir, karena kekuatan aqidahnya. Karena aqidah Islam inilah, mereka siap menang dan mati syahid. Mereka berperang bukan karena materi, tetapi karena dorongan iman. Karena iman inilah, rasa takut di dalam hati mereka sirna.
Musuh-musuh mereka pun ketakutan luar biasa, ketika berhadapan dengan pasukan kaum Muslim. Kata Raja Romawi, “Lebih baik ditelan bumi ketimbang berhadapan dengan mereka.” Sampai terpatri di benak musuh-musuh mereka, bahwa kaum Muslim tak bisa dikalahkan. Inilah generasi umat Islam yang luar biasa. Generasi ini hanya ada dalam sistem Khilafah.
Bagaimana dengan penguasa hari ini, apakah mereka pantas menempati posisi sebagai perisai (junnah) ?
Ketika muslim Uighur dibantai di Tiongkok, umat muslim dibunuh dan diusir dari negerinya dan para wanitanya diperkosa, semua penguasa negeri-negeri muslim diam tak bersuara. Ketika wilayah palestina semakin menyempit karena dicaplok Yahudi Isreal laknatullah, penguasa negeri-negeri muslim justru duduk manis berdampinga dalam berbagai perundingan damai dengan Yahudi. Dan masih sangat banyak lagi penderitaan umat muslim namun penguasa negeri-negeri muslim terkunci mulutnya tak ada pembelaan kepada saudaranya. Bahkan ikut-ikutan menghalangi mereka memasuki wilayah negaranya.
Belum lagi perampokan sumber daya alam (SDA) di negeri-negeri muslim, penguasa dengan penuh ketundukan menyerahkan kepada asing atas nama investasi, mengkayakan mereka dan memelaratkan rakyatnya sendiri jauh dari sikap sebagai raain (pelayan) bagi rakyatnya.
Pembelaan penguasa kepada agama Islam juga hampir-hampir tidak ada. Ketika al-Qur’an, dan NabiNYA dinista, justru negara dan penguasanya membela penistanya. Ketika orang non-Muslim menyerang masjid, membunuh mereka, bukannya mereka dilindungi dan dibela, justru penyerangnya malah diundang ke istana, giliran umat Muslim yang sedang menunaikan kewajiban dakwah menyerukan tegaknya syariah kaffah justru diperkusi, ulamanya ditangkapi dan ajaran Islam dituduh radikalisme.
Sungguh keberadaan penguasa hari ini sangat jauh dari tuntunan hadist tersebut yakni sebagai junnah umat Islam.
Karena itu hanya Khalifah, Imam, Amiru Al- Mukminin yang akan mampu menjadi pelindung yang menjaga agama, kehormatan, darah dan harta umat Islam. Khalifah, Imam, Amiru Al-Mukminin akan menjaga kesatuan, persatuan dan keutuhan setiap jengkal wilayah kaum muslimin. Khalifah, Imam, Amiru Al-Mukminin hanya akan terwujud apabila pondasi sistem pemerintahannya dibangun berlandaskan aqidah Islam. Oleh karena itu, hadist tersebut juga menegaskan bahwa keberadaan sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah yang akan dipimpin oleh khalifah, amir, atau amiru al-mukminin adalah kebutuhan mendesak umat hari ini agar mereka terlayani keperluannya dan terlindungi jiwa dan raganya (KD)