BPJS Naik Dua Kali Lipat, Mana Tanggung Jawab Negara terhadap Hak Kesehatan Rakyatnya ?

Oleh : Wardah Abeedah

Sudahlah jatuh, tertimpa tangga pula. Kondisi ini cocok untuk menggambarkan kondisi kaum muslimin saat ini. Betapa tidak, berita buruk soal kenaikan fasilitas layanan umum susul-menyusul disampaikan pemerintah. Kenaikan premi BPJS dua kali lipat, diikuti kenaikan tarif tol dan listrik (cnbc, 31 Oktober 2019). BPJS yang diharapkan mampu menjadi solusi bagi pelayanan kesehatan terbaik di negeri ini, lagi-lagi mengecewakan rakyat.

Kenaikan dua kali lipat iuran premi BPJS akan resmi berlaku per Januari 2020 mendatang. Kenaikan tersebut ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) 75/2019 tentang Perubahan atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan diteken Presiden Jokowi akhir Oktober lalu. Tak ayal kebijakan ini menuai protes rakyat. Padahal berbagai sanksi dan denda baru saja ditetapkan bagi siapa saja yang mangkrak membayar premi BPJS, termasuk berhadapan dengan debt collector.

Rakyat mungkin menangis menghadapi pelbagai persoalan hidup yang semakin pelik. Namun berbagai krisis multidimensi yang dialami rakyat di Indoneisa harusnya membangkitkan semangat juang untuk mensolusi berbagai problem secara paripurna. Jika pemerintah dengan sistem hidup kapitalisme yang diterapkannya terbukti gagal mengurusi layanan kesehatan rakyat, maka tak bijak menolak mereka yang menyuarakan alternatif solusi dari ideologi Islam. Terlebih, Indonesia didiami mayoritas muslim dunia. Sebagai muslim, merupakan kewajiban kita untuk menjadikan tsaqafah Islam sebagai rujukan dan standar dalam menghukumi dan mensolusi berbagai problematika kehidupan.” Membawa-bawa Islam” dalam mensolusi persoalan rakyat bukan tindakan kekerasan dan kejahatan radikalisme. Melainkan sebuah kewajiban dan konsekuensi keimanan.

Islam adalah agama sekaligus ideologi sempurna yang mengatur berbagai urusan manusia. Dalam kasus kenaikan BPJS bagaimanakah pandangan Islam terhadap kenaikan iuran premi BPJS ini? Apakah Islam memiliki konsep atau pemikiran yang mampu menjawab kebutuhan rakyat terhadap pelayanan kesehatan terbaik dan gratis?

 

Analisis Perpsektif Islam Politik

Jika kita mencermati fakta dan dikaitkan dengan pemikiran Islam politik, problem mendasar dari carut-marut pelayanan kesehatan ada dua ; Liberalisasi dan komersialisasi layanan kesehatan dan lepas tangan pemerintah terhadap pelayanan rakyat.

Liberalisasi dan komersialiasi pelayanan kesehatan dilakukan dengan menyerahkan layanan kesehatan pada swasta atau semi swasta. Pengorganisasian sistem jaminan kesehatan dan pengelolaan dananya diserahkan kepada lembaga tersebut. Akibatnya, urusan kesehatan rakyat dijadikan lahan bisnis dan korupsi oleh lembaga semacam BPJS. Mengumpulkan dana dari rakyat, dan kemudian nanti mereka bisa investasikan guna menggali keuntungan. Pemenuhan pelayanan kesehatan bukan dilihat dari paradigma pelayanan terhadap rakyat, tapi untung dan rugi jadi patokan. Oleh karena itu, kenaikan premi BPJS dua kali lipat dianggap sebagai win-win solution atas besarnya defisit yang membelit BPJS Kesehatan. Kenaikan premi yang dianggap mencekik rakyat ini, menjadi konsekwensi ketika kita mengadopsi sistem hidup yang berlandaskan ideologi kapitalis sekuler. UU JKN dan UU BPJS juga merupakan implementasi dari ratifikasi WHA (World Health Assembly) ke 58 tahun 2005, yang diadakan PBB.

Hal ini tentu bertentangan dengan konsep Islam. Islam memandang kesehatan merupakan kebutuhan pokok publik, sejajar dengan kebutuhan sandang, pangan, papan,pendidikan, dan keamanan. Rasulullah ﷺ bersabda,

Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya“. (HR. Bukhari).

Pemenuhan kebutuhan pokok ini merupakan kewajiban penguasa. Haram hukumnya mengkomersialisasikan. Terlebih, komersialisasi kesehatan terbukti menyengsarakan atau menjadi mudharat terhadap rakyat. Fakta banyaknya rakyat  yang menjadi korban akibat BPJS terlambat membayar klaim kepada rumah sakit, dll kerap menghiasi lini pemberitaan media. Padahal Rasulullah ﷺ bersabda

, ا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

“Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.” [Malik dalam Al-Muwattha’]

Dalam paradigma Islam, salah satu fungsi negara adalah sebagai ra’in (pemelihara). Negara bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya terhadap pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan publik gratis dan berkualitas terbaik. Haram hukumnya mengebri fungsi ini sebatas regulator dan fasilitator semata. Apalagi jika itu demi memuluskan agenda hegemoni dan bisnis korporasi. Rasulullah ﷺ menegaskan,

Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).

Pemerintah bertanggungjawab penuh terhadap pelayanan kesehatan mulai preventif hingga kuratif. Mulai dari edukasi hidup sehat bagi rakyat; pembiayaan kesehatan; penyediaan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan; penyediaan dan penyelenggaraan pendidikan SDM kesehatan; penyediaan peralatan kedokteran, obat-obatan dan teknologi terkini; sarana pra sarana lainnya yang penting bagi terselenggaranya pelayanan kesehatan terbaik, seperti listrik, transportasi dan air bersih; dan tata kelola keseluruhannya.

 

Sunnah Nabi dan Jejak Khilafah dalam Pelayanan Kesehatan

Rasulullah ﷺ ketika menjadi kepala negara di Madinah, telah meneladankan profil pemerintahan terbaik dalam pemenuhan kebutuhan rakyat, termasuk kesehatan. Kinerja hebat kepala negara pertama daulah Islam ini menjadi As-Sunnah yang wajib diikuti oleh para khalifah sesudahnya. Upaya preventif seperti mewujudkan pola emosi yang sehat, pola makan yang sehat, pola aktivitas yang sehat, kebersihan, lingkungan yang sehat, perilaku seks yang sehat serta epidemi yang terkarantina dan tercegah dengan baik tak lain adalah buah ketaatan pada syariah terkait makanan dan pola hidup lainnya. Keberhasilan Rasulullah ﷺ. Terekam dalam catatan sejarah, saat dokter yang dikirim Kaisar Romawi selama setahun berpraktik di Madinah kesulitan menemukan orang yang sakit.

Terkait pembiayaan layanan kesehatan, Islam mewajibkan hal itu ditanggung pemerintah sepenuhnya melalui mekanisme yang diatur syariah Islam dalam Baitul Maal. Haram hukumnya menyerahkan pembiayaan kepada rakyat,baik muslim ataupun non muslim, apapun ras dan sukunya. Pengeluaran untuk pembiayaan kesehatan telah ditetapkan Allah azza wa jalla sebagai salah satu pos pengeluaran pada Baitul Maal, dengan pengeluaran yang bersifat mutlak. Artinya, jika pos layanan kesehatan tidak mencukupi dan atau tidak tersedia, padahal ada kebutuhan pengeluaran pelayanan kesehatan (seperti pembiayaan pembangunan rumah sakit), maka nagara boleh menarik pajak yang bersifat sementara. Pajak hanya ditarik kepada laki-laki yang kaya dan bersifat temporal. Sumber pembiayaan layanan kesehatan salah satunya berasal dari barang tambang yang jumlahnya berlimpah. Baik itu tambang batu bara, gas bumi. minyak bumi, hingga tambang emas dan berbagai logam mulia lainnya, yang jumlahnya berlimpah.

Pelayanan kesehatan gratis berkualitas ala Islam pernah dipraktekkan oleh Rasulullah ﷺ dan para khalifah di masa kejayaan khilafah Islamiyah dahulu. Rasulullah ﷺ menggratiskan pelayanan bagi sepuluh orang yang datang dari Urainah ke Madinah dan menderita sakit limpa. Khalifah Umar bin al-Khaththab mengalokasikan anggaran dari Baitul Mal untuk mengatasi wabah penyakit Lepra di Syam. Di Kairo, Khalifah al-Mansyur  mendirikan rumah sakit pada tahun 1248 M. RUmah sakit ini memiliki kapasitas 8000 tempat tidur, dilengkapi dengan masjid untuk pasien dan chapel untuk pasien Kristen. Setiap hari sekitar 4000 pasien dari berbagai ras dan agama dilayani dengan baik sarnpai pasien benar-benar sembuh. Selain itu, para pasien juga diberi pakaian dan uang saku yang cukup selama perawatan. Hal ini berlangsung selama 7 abad. Sekarang rumah sakit ini digunakan untuk opthalmology dan diberi nama Qolawun.

Selain itu, sejarah mencatat pada masa khilafah pertama berdiri Rumah Sakit an-Nur pada masa Khalifah Bani Umayyah, al-Walid, tahun 706 M. Berdiri pula rumah bersalin terbesar di Syam pada masa Nidzamul Muluk, Bimaristan yang sangat popular hingga kini pada masa Khalifah Harun Arrasyid, dan banyak fasilitas kesehatan berkualitas lainnya. Ternyata Negera Khilafah yang diopinikan berbahaya, memiliki banyak catatan gemilang dalam sejaran dunia.

Tentunya untuk kembali merasakan layanan kesehatan gratis dan berkualitas bisa kita laksanakan jika sistem kehidupan kita berlandaskan akidah Islam sebagaimana masa khilafah pertama dulu. Sehingga karena mentaati Allah, pemerintah akan memposisikan diri sebagai ra’in yang bertugas melayani rakyat. Negara mengelola keuangan negara dengan Baitul Maal yang bertumpu pada sistem ekonomi Islam. Serta menyiapkan SDM ahli kesehatan yang hebat dan taat, serta mendidik rakyat untuk melakukan upaya preventif menjaga kesehatan karena ibadah dengan sistem pendidikan Islam.

Semua ini mustahil terwujud dalam pemerintahan yang mengadopsi pemikiran dan system hidup kapitalis sekuler. Sebagaimana fakta karut-marut layanan kesehatan kini, terjadi bukan karena diterapkannya khilafah. Sumber petaka dan mudharat ini adalah pemikiran dan system hidup kapitalis sekuler yang diterapkan system politik demokrasi di negeri ini. Sangat aneh jika pemerintah sibuk memerangi ajaran khilafah dan pejuangnya sedangkan monster berbahaya yang sesungguhnya sedang mereka terapkan. Sebagai muslim yang mengimani Allah dan sifat Al-Mudabbirnya, kita wajib memperjuangkan tegaknya institusi khilafah yang akan menerapkan system pemerinahan, system ekonomi, system pendidikan dan seluruh sistem kehidupan Islam yang sempurna. Hingga terwujud layanan kesehatan terbaik bagi rakyat, serta terwujud keberkahan dalam setiap aspek kehidupan kita. Wallahu a’lam bisshawab.