Membantah Tuduhan Khilafah tak Berhujah

Oleh : Kholishoh Dzikri

Ketua Gerakan Suluh Kebangsaan yang juga menjabat sebagai menkopolhukam, Mahfud MD menyatakan dalam berbagai kesempatan bahwa Islam sebenarnya tidak mengenal khilafah sebagai sistem bernegara. “Dalam Islam itu ada ajaran tentang khilafah, tetapi tidak ada ajaran tentang sistem khilafah. Bedakan ajaran dan sistem,” tutur Mahfud md dalam acara jelajah nusantara di Cirebon pada pebruari 2019. Pernyataan serupa juga disampaikan pada 27 oktober 2019 pada acara Kahmi, Mahfud MD menjamin tidak ada sistem negara khilafah dalam Islam.

Pernyataan tokoh tersebut sangat bertolak belakang dengan berbagai nash yang telah menjelaskan bahwa Islam mengajarkan tentang khilafah dan sistem khilafah.

Mari kita lihat nash-nash Al-Qur’an, Hadist, Ijma’ sahabat,  dan Qiyas serta qaul (pernyataan) ulama’ mu’tabar juga peninggalan histori tentang adanya ajaran khilafah dan sistem khilafah bahkan kewajiban dan urgensinya.

  1. Dalil Alquran

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

Allah SWT berfirman: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah…” [QS al-Baqarah : 30].

Imam al-Qurthubi, ahli tafsir, menjelaskan, “Ayat ini merupakan hukum asal tentang wajibnya mengangkat khalifah.” Bahkan, Beliau menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) ini di kalangan umat dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli tentang syariah) dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” [Lihat, Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz I/264].

Selain ayat tersebut masih banyak ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang kewajiban mengangkat seorang khalifah, diantaranya adalah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(QS. An-Nisa’ ; 59).

Mengenai ayat ini Imam At-Thabari dalam tafsir Ath-Thabari (VII/497) meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa ulil amri adalah para amir (pemimpin) kaum muslimin yang wajib ditaati.

Kemudian QS. Al-Maidah ayat 48 dan 49 yang memerintahkan kepada RasulNya agar memutuskan perkara berdasarkan syariat yang diturunkan Allah swt. Tidak ada dalil yang menunjukkan ada takhsis bahwa ayat ini khusus untuk Nabi Muhammad saw karena itu khitab ayat ini berlaku untuk seluruh kaum muslimin agar menegakkan hukum sesuai syariat Islam yang diturunkan Allah swt hingga hari kiamat.

Maksud menegakkan hukum dan kekuasaan tidak lain adalah menegakkan imamah (kepemimpinan) karena hukum Islam tidak bisa dilaksanakan secara sempurna selain melalui imamah (kekuasaan). Dengan demikian seluruh ayat yang memerintahkan untuk memutuskan perkara sesuai syariat Islam menunjukkan wajibnya mengangkat seorang imam yang berwenang melaksanakan hal tersebut.

Demikian juga seluruh ayat tentang hudud dan jinayat yang pelaksanaannya mengharuskan adanya seorang imam. Ayat tentang perintah amar ma’ruf nahi mungkar serta ayat-ayat lain demikian juga mengharuskan adanya seorang imam (pemimpin) yang akan menegakkan perintah dan larangan dalam ayat-ayat tersebut. Dengan demikian sangat lah jelas bahwa keharusan menegakkan imamah dan daulah di tengah masyarakat merupakan kebutuhan dan keniscayaan dalam pelaksanaan syariat Islam secara keseluruhan. [Lihat, Ad-Dumaji, Al–Imâmah al–‘Uzhma ‘inda Ahl as–Sunnah wa al–Jamâ’ah, hal. 56].

  1. Dalil as-Sunnah

Banyak hadist Nabi Muhammad SAW yang menegaskan baik secara terang-terangan maupun qiyasan tentang kewajiban menegakkan khilafah dan sistem khilafah. Di antaranya sabda Rasulullah SAW:

“Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.” [HR Muslim].

Berdasarkan hadits di atas, menurut Syeikh ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib [Lihat, Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hal. 61/ind].

Nabi juga mengisyaratkan, bahwa sepeninggal baginda SAW harus ada yang menjaga agama ini, dan mengurus urusan dunia, dialah khulafa’, jamak dari khalifah [pengganti Nabi, karena tidak ada Nabi setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW]. Nabi SAW bersabda:

“Bani Israil dahulu telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi [Bani Israil] wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.” [HR Muslim].

Selain sunah qauliyah (hadist), juga ada sekian banyak sunah fi’liyah yang menjadi dasar kewajiban menegakkan khilafah karena contoh berupa perilaku Nabi Muhammad SAW secara langsung.

Rasulullah SAW mendirikan pemerintahan Islam pertama di Madinah, Beliau sendiri menjadi Imam (kepala negara) yang pertama di negara Madinah. Abdul Qadir Audah rahimahullah menjelaskan “Rasulullah SAW membentuk kaum muslimin sebagai satu kesatuan politik, membentuk satu daulah (negara) dengan mempersatukan seluruh kaum muslimin di mana Beliau sendiri yang menjadi pemimpin dan imam tertinggi (kepala negara). Rasulullah SAW memiliki tugas yakni sebagai penyampai wahyu dari Allah SWT, ini adalah tugas kenabian. Dan Rasulullah SAW menegakkan perintah Allah dan mengerahkan kebijakan daulah sesuai syariat Islam. Ketika Rasulullah SAW wafat tugas yang pertma telah usia namun tugas yang kedua tetap dilanjutkan oleh pengganti Beliau karena pelaksanaan syariat berlaku sepanjang zaman hingga kiamat datang. Intinya perbuatan Nabi SAW sebagai peletak dasar sistem kenegaraan khilafah dan Beliau pemegang kendali daulah Islamiyah yang pertama menjadi landasan syar’i bahwa menegakkan kembali Khilafah Islamiyah adalah kewajiban yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.

  1. Dalil Ijma’ Sahabat

Perlu ditegaskan, kedudukan Ijma’ Sahabat sebagai dalil syariah setelah Alquran dan as-Sunnah sangatlah kuat, bahkan merupakan dalil yang qath’i (pasti). Para ulama ushul menyatakan, bahwa menolak ijma’ sahabat bisa menyebabkan seseorang murtad dari Islam. Dalam hal ini, Imam as-Sarkhashi menegaskan:

“Siapa saja yang mengingkari kedudukan Ijma’ sebagai hujjah yang secara pasti menghasilkan ilmu berarti benar-benar telah membatalkan fondasi agama ini…Karena itu orang yang mengingkari Ijma’ sama saja dengan berupaya menghancurkan pondasi agama ini.” [Lihat, Ash-Sarkhasi, Ushûl as-Sarkhasi, Juz I/296].

Karena itu, Ijma’ Sahabat yang menetapkan kewajiban menegakkan khilafah tidak boleh diabaikan, atau dicampakkan seakan tidak berharga, karena bukan Alquran atau as-Sunnah. Padahal, Ijma’ Sahabat hakikatnya mengungkap dalil yang tak terungkap [Lihat, as-Syaukani, Irsyadu al-Fuhul, hal. 120 dan 124].

Berkaitan dengan itu Imam al-Haitami menegaskan:

“Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam (khalifah) sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban mengangkat pemimpin pengganti Nabi SAW dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.” [Lihat, Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7].

Lebih dari itu, menurut Syeikh ad-Dumaji, kewajiban menegakkan Khilafah juga didasarkan pada kaidah syariah:

“Selama suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”

Sudah diketahui, bahwa banyak kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan oleh orang-perorang, seperti kewajiban melaksanakan hudûd (seperti hukuman rajam atau cambuk atas pezina, hukuman potong tangan atas pencuri), kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Pelaksanaan semua kewajiban ini membutuhkan kekuasaan (sulthah) Islam. Kekuasaan itu tiada lain adalah khilafah. Alhasil, kaidah syariah di atas juga merupakan dasar atas kewajiban menegakkan khilafah [Lihat, Syeikh ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm 71/ind].

  1. Kesepakatan Ulama Aswaja

Berdasarkan dalil-dalil di atas dan masih banyak dalil lainnya, seluruh ulama Ahlussunah wal Jama’ah, khususnya imam empat mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hanbali), sepakat, bahwa adanya khilafah, dan menegakkannya ketika tidak ada, hukumnya wajib. Syeikh Abdurrahman al-Jaziri menuturkan,

“Para imam mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib…” [Lihat, Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, Juz V/416].

Hal senada ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal.” [Ibn Hajar, Fath al-Bâri, Juz XII/205].

Pendapat para ulama terdahulu di atas juga diamini oleh para ulama muta’akhirîn [Lihat, Imam Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99; Dr. Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124; al-‘Allamah al-Qadhi Syeikh Taqiyyuddin an-Nabhani (Pendiri Hizbut Tahrir), Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, 2/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm].

Ulama Nusantara, Syeikh Sulaiman Rasyid, dalam kitab fikih yang terbilang sederhana namun sangat terkenal berjudul Fiqih Islam, juga mencantumkan bab tentang kewajiban menegakkan khilafah. Bahkan bab tentang khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air.

Bukti Historis Khilafah

Bukti tak terbantahkan tentang adanya khilafah dalam sejarah kehidupan umat Islam telah diabadikan dalam kitab-kitab tarikh yang ditulis oleh para ulama terdahulu hingga ulama mutakhir. Sebut saja, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, karya at-Thabari, al-Kamil fi at-Tarikh, karya Ibn Atsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibn Katsir, Tarikh Ibn Khaldun, karya Ibn Khaldun, Tarikh al-Khulafa’, karya Imam as-Suyuthi, at-Tarikh al-Islami, Mahmud Syakir.

Dalam rentang sejarah, selama 14 abad, tidak pernah umat Islam di seluruh dunia tidak mempunyai seorang khalifah, dan khilafah, kecuali setelah runtuhnya Khilafah pada 3 Maret 1924 M.

Dalam sepanjang sejarah khilafah, tidak ada satu pun hukum yang diterapkan, kecuali hukum Islam. Dalam seluruh aspek kehidupan, baik sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, sanksi hukum dan politik luar negeri, semuanya merupakan sistem Islam.

Penerapan syariah kaffah dalam sistem pemerintahan khilafah yang dipimpin seorang khalifah telah terbukti menjadi negara adi daya dunia sepanjang hampir 13 abad lamanya yang menjadikan negara-negara kafir Barat menjadi negara kelas dua yang seringkali menghiba bantuan kepada negara khilafah untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Demikian sebagian nash-nash syar’I dan bukti riil sejarah kekhilafahan pada masa kejayaan islam telah membantah pernyataan Mahfud MD di atas.

Kafir Barat melalui antek-anteknya dari kalangan penguasa maupun tokoh masyarakat yang mau dibayar murah (hina) terus mengobarkan perang pemikiran dan kebijakan untuk menjauhkan benak umat dan keyakinannya dari pemahaman khilafah sebagai ajaran Islam yang agung. Mereka tidak menginginkan negara khilafah ini tegak kembali sebab apabila khilafah tegak kembali niscaya kafir Barat akan kembali menjadi bangsa yang hina sebagaimana mereka menghinakan umat Islam hari ini. Mereka akan terus berusaha menghadang tegaknya khilafah melalui lisan dan kebijakan serta program yang mereka buat. Diantara kebijakan tersebut antara lain menghapus materi khilafah dari kurikulum madrasah, melarang mengajarkan khilafah, mempersekusi ulama yang gigih memperjuangkan tegaknya khilafah, memecat ASN yang menyebarkan paham khilafah dan terlibat dalam organisasi yang memperjuangkan tegaknya khilafah, dan masih banyak lagi atas tuduhan radikalisme dan program deradikalisasi.

Radikalisme dan deradikalisasi adalah proyek besar mereka yang akan terus digulirkan untuk menghadang arus besar perjuangan penegakan kembali Khilafah Islamiyah ‘ala minhajinnubuwah.

WaAllahu A’lam bi shawab