Cut Nyak Dien, Pahlawan Muslimah Dari Serambi Makkah, Yang Tak Kenal Menyerah

Oleh: Nabila Asy Syafi’i

MUQADIMAH

Waktu terus berlalu, generasi telah berganti, namun lembar sejarah kepahlawanan tak lekang dimakan waktu. Dikisahkan dari masa ke masa agar generasi berikutnya bisa mengambil contoh ruh perjuangan dan pengorbanan. Memiliki jiwa merdeka, ketulusan dan keikhlasan untuk berjuang hanya karena Allah SWT. Sangat membenci kezaliman dan penindasan oleh kafir-kafir penjajah, dialah Cut Nyak Dien, seorang perempuan shalihah dari daerah yang berjuluk Serambi Makkah yakni Aceh.

MENGENAL SOSOK HEBAT CUT NYAK DIEN

Cut Nyak Dhien  lahir pada tahun 1848 dari keluarga bangsawan.  Garis keturunan ayahnya, adalah keturunan langsung dari Sultan Aceh. Cut Nyak Dien tumbuh dalam keluarga yang taat beragama. Ia mendapat pendidikan agama  dari orang tua serta guru agamanya. Meski Cut Nyak Dien menikah di usia yang muda, namun kematangan berfikir dan bersikap layaknya orang dewasa.  Ini tidak lepas dari pendidikan agama dan juga pengasuhan dari kedua orang tua dan guru agamanya.  Ia menikah dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga .

Pada  26 Maret 1873, Belanda menembakkan meriam ke daratan Aceh. Yang berarti Belanda menyalakan genderang  perang ke Aceh. Maka pemimpin  dan rakyat Aceh berjibaku untuk mempertahankan dan  mengusir serdadu-serdadu kafir Belanda yang berani menodai ketentraman kota Aceh. Pada peperangan tersebut, Aceh dipimpin oleh Panglima dan Sultan Machmud Syah sedangkan Belanda dipimpin oleh Johan Harmen Rudolf Kohler. Belanda yang mendarat di pantai Ceureumen pada 8 April 1873 berhasil menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakar masjid tersebut.

Saat itu, Cut Nyak Dien menunjukkan kegigihannya  melawan kafir-kafir penjajah Belanda , bersama suaminya Teuku Cek Ibrahim Lamnga.  Cut Nyak Dien turun langsung bertempur melawan Belanda yang memiliki persenjataan lengkap. Namun hal itu tidak membuatnya gentar. Sebaliknya, semangat juang dan perlawanan Cut Nyak Dien  semakin bergelora . Dengan lantang ia berteriak, “Lihatlah kalian (Orang-orang Aceh)! Tempat ibadah kita dirusak! Mereka telah merusak nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita dijadikan budak Belanda?” Dengan tegas Cut Nyak Dien  membangkitkan semangat pejuang untuk terus melawan penjajah yang berusaha menguasai Aceh.

Meski Peperangan ini dimenangkan  oleh Kesultanan Aceh dan Kohler tewas tertembak pada April 1873. Namun tempat tinggal Cut Nyak Dien berhasil diduduki Belanda di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten pada tahun 1873.  Di tahun 1874 , keraton Sultan jatuh ke tangan Belanda . Cut Nyak Dien dan bayinya, bersama ibu-ibu lainnya mengungsi.  Perjuangan belum selesai. Suami Cut Nyak  Dien  berangkat ke medan pertempuran untuk merebut daerah tempat tinggalnya. Takdir Allah menetapkan bahwa pada 29 Juni 1878, Ibrahim Lamnga gugur dalam pertempuran di Gle Tarum.

Mengetahui suaminya telah gugur dalam pertempuran di Gle Tarum, darah kepahlawan dan perlawanan Cut Nyak Dien kian berkobar. Keyakinannya pada agama, konsep jihad yang telah mendarah daging, kesetiaan kepada suami, semakin memperkokoh semangatnya, dan ia bersumpah untuk berada di garis depan melawan kafir-kafir penjajah Belanda. Cut Nyak Dien pun terjun dalam medan pertempuran lagi.

TERUS BERJUANG TANPA KENAL LELAH

Dua tahun setelah meninggalnya Teuku Ibrahim Lamnga, Cut Nyak Dien dipersunting oleh Teuku Umar. Sebelumnya Cut Nyak Dien mengajukan syarat, agar Teuku Umar membolehkan  Cut Nyak Dien ikut serta di medan perang.  Teuku Umar pun membolehkan Cut Nyak Dien menyertainya dalam pertempuran.   Maka keduanya menikah pada tahun 1880. Keduanya dikaruniai anak perempuan yang diberi nama Cut Gambang. Bersama Teuku Umar, sepasang suami istri pejuang ini kembali melanjutkan perjuangan mereka.

Teuku Umar berhasil mempelajari taktik dan  siasat untuk mengalahkan kafir Belanda dengan cara menyusup dan berpura – pura menyerah kapada Belanda, setelah Belanda mempercayai Teuku Umar. KemudianTeuku Umar dan Cut Nyak Dien  membuat rencana serangan palsu ke basis Aceh. Maka Teuku Umar dan Cut Nyak Dien kemudian pergi membawa semua pasukan beserta perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda dan tidak pernah kembali lagi. Belanda panik dan melakukan operasi besar-besaran mencari Teuku Umar dan Cut Nyak Dien. Sementara itu para pejuang yang sudah dilengkapi dengan senjata yang lebih modern mulai menyerang Belanda dan berhasil menewaskan Jendral Jobus Ludovicius Hubertus Pel yang menggantikan Van Sweten.

Cut Nyak Dien dan Teuku Umar terus melakukan perlawanan.  Belanda merasa kewalahan dan harus mengganti beberapa kali para jenderalnya. Untuk memadamkan gelora perlawanan rakyat Aceh yang dipimpin oleh Teuku Umar dan Cut Nyak Dien, Belanda mengirimkan unit pasukan  khusus Marechaussee yang lebih kejam dan ganas. Karena pasukan yang sangat sadis dan kejam ini, sebagian  pejuang Aceh tidak ikut melakukan perlawanan karena   merasa ngeri. Namun Cut Nyak Dien dan suaminya tetap dengan teguh bertempur di garis depan.

Di sepanjang masa, para pengkhianat perjuangan selalu ada.  Mereka adalah orang-orang yang menjual akhirat dengan secuil kenikmatan dunia, tidak tahan lagi dengan kerasnya perjuangan. Mereka pun ada di masa perjuangan Teuku Umar dan Cut Nyak Dien.  Belanda menyewa orang Aceh yang bisa dibeli untuk memata-matai pasukan Teuku Umar dan Cut Nyak Dien. Akhirnya  karena mata-mata ini, rencana Teuku Umar untuk menyerang kafir Belanda yang di Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899 diketahui. Teuku Umar pun gugur  tertembak peluru kafir Belanda.

Melihat ayahnya yang gugur, Cut Gambang menangis sedih, Namun segera Cut Nyak Dien menenangkan dan menghibur, “ Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid.” Ungkapan keteguhan seorang ibu  pejuang yang tangguh, yang kuat keimanannya kepada Allah SWT.

Kini Cut Nyak Dien tanpa suami, melanjutkan perjuangan untuk mengusir kafir-kafir penjajah Belanda dari tanah Serambi Makkah. Selama 6 tahun Cut Nyak Dien memimpin perang gerilya di pedalaman Maulaboh.  Meski usia tak lagi muda, juga medan pertempuran yang sangat berat, namun Cut Nyak Dien tak tergoyahkan semangat pendiriannya, untuk terus melakukan perlawanan tanpa henti kepada kafir penjajah Belanda,  hingga ia menang atau syahid

Usia yang mulai menua dan kesehatan yang tak lagi prima, dengan mata yang sudah mulai rabun menjadikan Pang Loat  Ali, tangan kanan dan orang kepercayaan Cut Nyak Dien, merasa iba dan menawarkan untuk menyerah kepada Belanda. Namun hal itu ditolak oleh Cut Nyak Dien dan membuat Cut Nyak Dien marah kepadanya.

Pang Loat Ali memberi tahu persembunyian Cut Nyak Dien kepada Belanda, maka  dengan mudah Letnan Van Vuuren menyergap Cut Nyak Dien . Dalam kondisi rabun, Cut Nyak Dien masih  berusaha melawan pasukan Belanda. Namun karena kalah jumlah dan sudah semakin lemah, pasukan Belanda berhasil menangkapnya. Cut Nyak Dien  begitu marah dengan perbuatan Pang Laot Ali yang membuatnya tertangkap.

Untuk menghentikan  perlawanan rakyat Aceh dan untuk memutuskan interaksi Cut Nyak Dien dengan para  pejuang maka Cut Nyak Dien diasingkan oleh kafir penjajah Belanda  ke Sumedang, JKawa barat hingga akhir hayatnya.

KHATIMAH

Ketika ruh jihad Islam telah mendarah daging, maka seseorang hanya takut kepada Allah SWT. Jiwanya merdeka dari menghamba pada manusia. Dari kisah kepahlawanan Cut Nyak Dien kita bisa mengambil ibrah, betapa kekuatan ruhiyah menjadi faktor penting untuk kuat dan bertahan dalam perjuangan. Kecintaan kepada agama Islam dan keyakinan kuat pada ajaran Allah SWT, menang melawan kafir-kafir penjajah Belanda atau mati syahid telah menjadikan  Cut Nyak Dien muslimah  istimewa yang istiqomah untuk terus berjuang melawan kezaliman penjajah.  Hal ini harusnya menjadi pelajaran bagi generasi sekarang untuk berjuang lepas dari segala bentuk penjajahan saat ini sekalipun berbeda dengan penjajahan di masa Cut Nyak Dien.  Esensi penjajahan itu masih ada hingga saat ini, yaitu dipaksanya umat Islam untuk tunduk pada aturan aturan kapitalis sekuler buatan manusia, dipaksa menghamba pada manusia dan mengabaikan aturan aturan Allah. Oleh karena itu agar lepas dari penjajahan,  jalan satu- satunya adalah berjuang menerapkan aturan aturan Allah secara kaffah sesuai petunjuk dan jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Muhammad SAW.