Hidup Sejahtera dalam Naungan Khilafah

Oleh : Najmah Saiidah

Kurang lebih  14 abad yang lalu, telah berdiri sebuah negara yang menjadikan syariat Islam yang lahir dari wahyu Allah sebagai landasannya.  Sebuah negara yang mampu menyatukan seluruh umat Islam di seluruh penjuru dunia dalam satu ikatan, yaitu ikatan ukhuwwah Islamiyyah.  Itulah Negara Islam yang didirikan oleh Nabi Muhammad  SAW di Madinah al-Munawwarah.   Setelah Rasulullah SAW wafat, pemerintahan ini kemudian diteruskan oleh para penerus estafet kepemimpinan kepala negara tersebut. Dimulai dari masa Khulafaur Rasyidin, Umawiyah, Abbasiyah hingga berakhir pada masa Khilafah Turki Ustmani pada tanggal 3 maret 1924 silam.  Saat itu syariah Islam diterapkan secara kaaffah, baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.  Umat Islam merasakan bagaimana indahnya hidup dalam naungan aturan Islam, dalam naungan khilafah Islamiyyah.

Hanya saja sejak runtuhnya Khilafah Islamiyah pada tahun 1342 H (1924 M), umat Islam ibarat anak ayam yang kehilangan induknya. Tercerai berai, terpisah-pisah menjadi 59 negara, dipisahkan oleh batas-batas  negara.   Semua berjalan sendiri bahkan ada yang saling bermusuhan. Syariat Islam diabaikan, bahkan dicampakkan,  petunjuk hukum yang Allah turunkan tak lagi diamalkan secara kaffah, yang tersisa hanyalah aspek ritual semata. Diganti dengan hukum dan aturan buatan manusia, sistem  sekuler kapitalis yang  memisahkan agama dari kehidupan.  Akibatnya, kehidupan umat Islam pun terus terpuruk, serba sempit, jauh dari sejahtera, bahkan dikuasai oleh kezhaliman dan ketidakadilan.

Hal inipun dialami negeri kita, berbagai persoalan  terus bermunculan dalam seluruh aspek kehidupan; ekonomi, politik, sosial, budaya,  hankam dan sebagainya. Di bidang ekonomi misalnya, sekalipun pemerintah mengklaim ada perbaikan, realita justru bicara lain. Kemiskinan dan tingginya tingkat pengangguran,  stunting dan gizi buruk masih menjadi potret buram negeri ini.  Sangat miris ! Kekurangan makanan terjadi di negeri dengan kekayaan alam melimpah-ruah.  Di bidang sosial-budaya pun tak kalah buramnya. Berbagai konflik horizontal maupun vertikal terus terjadi. Kriminalitas kian merajalela tanpa ada satu kekuatan hukumpun yang bisa mencegah. Pergaulan bebas,  aborsi di kalangan remaja, pornografi-pornoaksi, perilaku seks menyimpang tumbuh subur tak terkendali.  Di lain pihak, para penguasa dan politisi  seolah tak berdaya menghadapi semua keadaan ini. Secara politik, mereka dikungkung ketidakberdayaan menghadapi tekanan asing yang memaksa mereka menjadi pengutangdan pengobral aset milik rakyat, menjadi komprador yang setia menjaga kepentingan  imperialis kapitalis, dan selalu siap melayani mereka sekalipun harus mengorbankan rakyatnya sendiri. Kepedulian mereka hanya menjadi bagian ‘ritual’ seremoni ‘pesta rakyat’ lima tahun sekali. Selebihnya, aktivitas politik mereka hanyalah saling berebut kekuasaan dan berupaya melanggengkannya dengan berbagai cara.

Apa yang terjadi?

Bahwa negeri Islam saat ini terhina, ditimpa kemiskinan, marak tindakan kriminal, bermoral rendah dan berpredikat buruk lainnya, jelas bukan merupakan hakekat citra diri umat Islam. Hakekat umat Islam adalah umat terbaik, khairu ummah. Terlebih sepanjang sejarah peradaban manusia, umat Islam terbukti mampu bangkit menjadi umat nomor satu dan menjadi pionir peradaban manusia. Selama belasan abad pula umat Islam berhasil memimpin dunia menuju ketinggian martabat kemanusiaan dengan menghapuskan budaya jahiliyah yang primitif semacam paganisme menuju cahaya hidayah dan kebahagiaan hakiki melalui dakwah ilal khoyr (ideologi Islam) dan penerapan aturan Sang Khalik al Mudabbir, Allah SWT. Hingga sepanjang masa itu, umat Islam dan seluruh manusia bisa merasakan hidup sejahtera dalam naungan Islam, dîn yang memang diturunkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh manusia.

Persoalannya adalah, hari ini umat Islam tidak lagi hidup dalam habitatnya yang asli. Mereka hidup dalam habitat atau sistem yang jauh dari nilai-nilai Ilahiyah. Sistem yang mengungkung umat Islam hari ini, bahkan mengungkung umat manusia secara keseluruhan adalah sistem kapitalis sekuler yang menolak tegas campur tangan agama dalam kehidupan (fashl ad-dîn ‘an al-hayâh). Artinya, sistem ini menolak hak prerogative Allah SWT sebagai pencipta manusia dan kehidupan untuk mengatur ciptaanNya. Dari paradigma berpikir inilah muncul pemikiran bahwa manusia lahir dalam keadaan bebas; bebas mengatur diri dan kehidupannya, bebas berperilaku, bebas berpendapat, bebas beragama dan bebas memiliki. Artinya bebas menciptakan aturan hidup bagi dirinya. Sistem buatan manusia,  sangat wajar jika sistem kapitalis sekuler mengandung banyak cacat dan kelemahan. Sudah saatnya kita campakkan sistem buatan manusia ini !!!

Kembali Kepada Fitrah

Berbeda dengan kapitalisme, Islam adalah sistem yang manusiawi, yakni sesuai dengan fitrah manusia secara keseluruhan. Karena Islam datang dari Allah SWT, Dzat yang telah menciptakan manusia, karenanya aturannya pun pasti sempurna dan bisa menjadi solusi bagi permasalahan manusia. Dengan menjadikan aturan Islam sebagai solusi atas dasar keimanan kepada Allah, dipastikan akan menghantarkan manusia kepada kebahagiaan dan kesejahteraan hakiki, lahir dan batin, dunia dan akhirat.  Allah berfirman :


كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali ‘Imran: 110).

Allah SWT telah menetapkan bahwa umat Islam adalah sebaik-baik umat di muka bumi ini, dimana ia mempunyai dua sifat utama, yaitu mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran, dan senantiasa beriman kepada Allah SWT.   Semua sifat itu telah dimiliki oleh kaum muslimin di masa nabi dan telah mendarah daging dalam diri mereka karena itu mereka menjadi kuat dan jaya. Dalam waktu singkat mereka telah dapat menjadikan seluruh tanah Arab tunduk dan patuh di bawah naungan Islam, hidup aman sejahtera dan tenteram di bawah panji-panji Islam.  Hal ini terjadi karena sistem Islam diterapkan secara kaaffah dalam naungan khilafah. Sistem dan bentuk pemerintahan yang diperintahkan oleh Allah SWT. Karenanya satu-satunya jalan untuk bisa membebaskan umat Islam bahkan umat manusia dari kegelapan menuju cahaya, dari kehinaan menuju kemuliaan adalah dengan ditegakkannya aturan Allah dan RasulNya di muka bumi ini dalam naungan khilafah.

Khilafah, Negara Ideal!

Negara Khilafah Islamiyah adalah negara berasaskan akidah Islam yang menerapkan hukum Islam di dalam negerinya dan mengemban dakwah Islam ke luar negeri. Akidah Islam menegaskan bahwa penerapan hukum Islam secara totalitas oleh Khilafah merupakan kunci yang akan  menghadirkan rahmat bagi semesta alam secara riil. Karenanya, ketika kerahmatan diartikan sebagai keadilan, maka hukum Islam akan datang membawa keadilan dan ketika kerahmatan itu bermakna kesejahteraan, maka hukum Islam juga datang memberikan kesejahteraan riil yang didambakan.  Sementara itu, kesejahteraan merupakan konsekuensi logis dari adanya keadilan ekonomi Islam yang dijalankan oleh negara Khilafah, yaitu ketika terpenuhinya semua kebutuhan pokok (primer) setiap individu masyarakat,disertai jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka (Taqiyuddin An-Nabhani dalam An-Nizhomul Iqtishadiy fil Islam).

Peradaban Islam  telah memberikan tinta emas dalam perjalanan kehidupan manusia dalam berbagai aspek. Kemajuan ilmu pengetahuan hingga kesejahteraan masyarakat  menjadi catatan gemilang ketika peradaban Islam tegak di muka bumi ini. Peradaban gemilang tersebut ada pada saat Islam dijadikan pedoman dalam segala lini kehidupan rakyat di dalam institusi Khilafah Islam.  Kegemilangan ini merupakan salah satu hikmah dan rahmat yang Allah SWT jaminkan ketika syariah-Nya diterapkan secara kâffah. Jejak  peradaban Islam hingga sekarang masih ada dan bahkan bisa ditemukan dalam banyak catatan sejarah yang ditulis oleh orang non-Muslim. Sebagai contoh Will Durant, seorang sejarahwan Barat, dalam bukunya, Story of Civilization, menyatakan, “Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka.”

Ada juga Mary McAleese, Presiden ke-8 Irlandia (1997-2011). Ia juga anggota Delegasi Gereja Katolik Episkopal untuk Forum Irlandia Baru pada 1984 sekaligus anggota delegasi Gereja Katolik ke North Commission on Contentious Parades pada 1996. Dalam pernyataan persnya terkait musibah kelaparan di Irlandia pada tahun 1847 (The Great Famine),  ia berkata, “Sultan Ottoman (Khilafah Utsmani)  mengirimkan tiga buah kapal, yang penuh dengan bahan makanan, melalui pelabuhan-pelabuhan Irlandia di Drogheda. Bangsa Irlandia tidak pernah melupakan inisiatif kemurahan hati ini. Selain itu, kita melihat simbol-simbol Turki pada seragam tim sepak bola kita.”

Bukti lainnya keagungan peradaban Islam adalah bagaimana perhatiannya terhadap seluruh masyarakat, baik Muslim ataupun non-Muslim. Seorang orientalis dan sejarawan Kristen, T.W. Arnold dalam bukunya, The Preaching of Islam: A History of Propagation Of The Muslim Faith, banyak membeberkan fakta-fakta kehidupan dalam negara Khilafah. Dia menyatakan, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Khilafah Turki Utsmani—selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa.”

Demikianlah, hanya khilafah yang mampu mengembalikan kemuliaan umat sekaligus meraih kesejahteraan dan kebahagiaan hakiki. Karena Islam, baik pada tataran konsep maupun praktek telah terbukti mampu menjadikan umat Islam sebagai umat terbaik, umat yang sejahtera, umat yang mulia. Saatnya  mencampakkan aturan-aturan hidup sekuler kapitalis dan kembali kepada aturan-aturan Islam. Wallahu a’lam bishshawwab.