Bu yusi dari Serang – Banten
Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh. Ibu Ustadzah Pengasuh Rubrik Konsultasi, Untuk hidup sejahtera di negeri ini rasanya bagai mimpi di siang bolong padahal saat kampanye rezim memberikan janji kesejahteraan namun kenyataannya semua mahal, usaha kalah bersaing dengan produk impor, listrik, air, iuran bpjs terus merangkak naik. Kalau dicermati penguasa kita kok ingkar janji ya padahal rakyat sdh memberikan dukungan suara pada pemilu kemaren. Yang saya tanyakan mengapa pemimpin2 kita mudah lupa dan ingkar janji ya padahal mereka kan muslim harusnya tahu kalo ingkar janji itu dosa ?
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh. Ibu Yusi yang dirahmati Allah.., apa yang ibu sampaikan memang benar. Janji-janji indah ketika kampanye tidak ditunaikan manakala mereka sudah menempati posisi empuk dan jabatan enak. Itulah watak sebenarnya dari sekularisme dan neoliberalisme yang sekarang dianut rezim di negeri ini.
Sekularisme telah mencabut peran agama dalam kehidupan. Keimanan seseorang tidak lagi menjadi dasar dalam berbuat. Halal dan haram juga bukan menjadi standar untuk menentukan benar salah. Pertimbangan keuntungan materilah yang dominan menjadi acuan. Sebagai contoh, pada masa kampanye tidak sedikit yang materi orasinya menyinggung tentang nilai-nilai agama, ajaran agama dikutip karena dianggap akan memberi keuntungan berupa dukungan suara dari para pemilih yang masih menilai agama perkara yang urgen. Namun tatkala mereka sudah terpilih, ajaran agama itu tak pernah lagi disinggung. Bahkan fakta menunjukkan ada upaya menyingkirkan beberapa ajaran agama yang dirasa mengancam kepentingan mereka. Mereka pun tidak segan-segan menjajikan kehidupan lebih sejahtera dan kebijakan yang akan diambil akan pro kepentingan rakyat. Namun setelah mereka menjabat janji itu tak kunjung dipenuhi. Tak Nampak rasa bersalah di wajah mereka apalagi rasa penyesalan dan pengakuan dosa. Sekularisme telah menghilangkan sensitifitas mereka terhadap kemaksiatan. Mereka tidak takut terhadap adzab Allah yang akan dihadapinya kelak di yaumil akhir. Padahal Allah SWT sudah memberikan ancaman pada orang-orang yang mengingkari janji:
إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولً
“Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al Isra’ 34).
Sementara Rasulullah saw menyebutkan pengkhianat janji sebagai orang yang memiliki tanda munafik: آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاثٌ : إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ , وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ , وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Artinya: “Tanda orang munafik itu ada tiga: apabila berbicara ia dusta, apabila janji ia salahi, apabila diberi amanah ia khianat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ancaman terhadap mereka sungguh berat. Bahkan Allah akan menempatkannya di kerak neraka, naudzubillahi min dzalika. “Sungguh, orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka”. (TQS.An Nisaa:145)
Tidak hanya sekularisme yang telah berperan merusak bangsa ini. Sistem neoliberalisme juga merupakan biang keladi kerusakan yang terjadi. Berikut beberapa fakta yang bisa menguatkan kesimpulan bahwa bangsa ini sedang didominasi kebijakan neolib: Pertama, modal asing kian berkuasa dalam investasi. Bisa dilihat pada UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal Asing. Dalam UU PMA yang baru ini, modal asing tidak lagi dibatasi—bisa 100%. Hak guna usaha bisa 94 tahun dan, jika waktunya sudah habis, bisa diperpanjang 35 tahun lagi. Yang membuat kita miris pemerintah memberikan perlakuan sama kepada pemodal asing dengan pemodal domestik. Padahal para kapitalis asing jelas memiliki kekuatan dan peluang lebih, karenanya kehadiran mereka semakin mendominasi. Ketika hajat hidup dikuasai swasta apalagi asing, maka pertimbangannya bukan lagi kesejahteraan rakyat, namun mengedepankan keuntungan sebesar-besarnya sekalipun harus mengorbankan nasib rakyat (Contoh pencabutan subsidi BBM, kenaikan tariff Tol, dan kenaikan iuran BPJS).
Kedua, salah satu pilar anggaran negeri ini berasal dari hutang luar negeri yang tentu saja berbasis riba. Kebijakan ini semakin membuat bangsa ini terperosok pada jeratan para kapitalis yang membuat hilangnya kedaulatan Negara. Kebijakan yang semestinya diambil secara mandiri justru harus tunduk pada tuntutan dan tekanan para pemodal dan Negara pemberi hutang, walaupun pada akhirnya mengorbankan kepentingan rakyat.
Ketiga, privatisasi besar-besasan terhadap perusahaan negara. Privatisasi telah menyebabkan Negara kehilangan banyak kekayaan yang pada awalnya bisa menjadi sumber pemasukan yang potensial. Selain itu, pengalihan pengelolaan dari Negara kepada swasta telah memaksa rakyat memperoleh haknya secara tidak alami dan dengan biaya yang sangat mahal sesuai dengan harga yang ditetapkan perusahaan.
Keempat, menyerahkan layanan publik pada mekanisme pasar. Kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, air minum/bersih, penyediaan rumah, dan lain sebagainya menjadi barang langka, mahal, dan sulit diperoleh. Akibatnya banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan dan tidak mampu mencukupi kebutuhan asasinya sebagi manusia. Kelima, memberlakukan perdagangan bebas. Siapapun bebas masuk ke dalam pasar produksi dan konsumsi tanpa ada pengecualian dan tidak ada perbedaan aturan yang diterapkan. Akibatnya, para pengusaha kecil dalam negeri harus rela tersisih dan kalah oleh para pedagang asing yang lebih kuat (baik secara modal maupun dalam penguasaan teknis). Sebagai contoh terjadi di pasar buah dan sayur Indonesia: Malaysia menguasai 43 persen, Tiongkok menguasai 28 persen dan India 6 persen. Sedangkan produksi sayur dan buah lokal hanya menguasai 6 persen pangsa pasar saja. Padahal kita negeri agraris yang semestinya mampu swasembada.
Ibu Yusi yang dirahmati Allah.., Negeri ini memang sudah beberapa kali ganti rezim, namun sistem yang diterapkan sama saja yakni sekularis, kapitalis neoliberal. Karenanya perubahan rezim tidak memberikan perbaikan sama sekali bagi nasib rakyat. Alih-alih mensejahterakan yang terjadi justru semakin membuat rakyat terpuruk pada berbagai kesulitan hidup dan ancaman penderitaan. Kapitalisme neoliberal telah melahirkan pemimpin berkarakter korup, inkar janji dan tidak bertanggung jawab terhadap amanah yang ada di pundaknya sebagai pengayom rakyat. Kehadiran mereka hanya ada untuk mengamankan kepentingan para pemilik modal.
Akar persoalan negeri ini bukan semata terletak pada kelemahan orang, namun disebabkan kesalahan sistem kehidupan yang diterapkan. Karenanya diperlukan perubahan mendasar, yakni ganti sistem dengan Islam yang akan mensejahterakan kehidupan dunia dan menyelamatkan kehidupan akhirat. Ketika Islam tegak maka Negara akan hadir sebagai pelaksana syari’ah kaffah. Semua aturan Islam akan diterapkan dengan sempurna untuk meraih kesejahteraan hidup umat manusia. Pada saat itu akan hadir pemimpin berjiwa amanah, meri’ayah dan bertanggung jawab terhadap semua urusan rakyat, dan sudah pasti akan memenuhi janji yang sudah diakadkan. Janji yang sudah diikrarkan bukan hanya dipertanggungjawabkan pada rakyat yang sudah memilihnya, namun lebih penting dari itu terhadap Allah SWT yang sudah mempersaksikannya. Seperti firman Allah SWT: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (TQS. An Nahl:91).
Ibu Yusi yang dirahmati Allah…, kehadiran pemimpin sejati dalam sistem Islam bukan janji kosong tanpa bukti. Sejarah telah mencatat bahwa telah muncul di tengah-tengah umat para khalifah yang memimpin rakyatnya dengan penuh tanggung jawab. Seperti pidato Khalifah Abu Bakar di awal pelantikan beliau: “Saudara-saudara, hari ini kalian telah mempercayakan kepada saya sebagai pemimpin kalian meski saya bukanlah yang terbaik di antara kalian. jika saya bertindak benar, bantulah, tetapi jika saya bertindak salah luruskanlah. Kejujuran adalah kepercayaan dan kebohongan adalah penghianatan. Orang-orang yang lemah di antara kalian, akan menjadi kuat di mata saya. saya akan memberikan hak mereka, insya Allah. Orang-orang yang kuat di mata kalian, adalah lemah di mata saya, saya akan mengambil hak-hak mereka, insya Allah.” Sikap terpuji Syaidina Abu Bakar kemudian dilanjutkan oleh pemimpin setelah beliau yakni Khalifah Umar bin Khaththab. Tinta sejarah menuliskan bahwa beliau pernah memikul sekarung gandum sendiri untuk memenuhi kebutuhan keluarga janda miskin. Demikian juga cucu beliau, Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah mengikuti jejak mulia sang kakek. Beliau telah menerapkan kebijakan untuk membantu membayarkan mahar bagi siapapun yang berkeinginan menikah namun mempunyai kesulitan finansial. Menikah pada saat itu difasilitasi dan dimudahkan oleh negara. Berbeda dengan kondisi saat ini, Negara justru terkesan menyulitkan orang yang ingin menikah, salah satunya dengan kebijakan sertifikasi nikah dan peningkatan usia perkawinan.
Ibu Yusi…semoga Allah segera menyelamatkan negeri ini dan seluruh alam semesta dengan tegaknya sistem Islam secara kaffah. Dan semoga kita dimudahkan Allah untuk ikut serta memperjuangkannya, aamiin.
Wallahu a’lam.