Oleh : Wardah Abeedah
“….dan janganlah Engkau kuasakan atas kami orang-orang yang tidak takut kepadaMu dan tidak menyayangi kami.” (HR. Al-Tirmidzi)
Doa di atas adalah cuplikan dari redaksi doa yang cukup panjang yang diajarkan Rasulullah ﷺ. Bahkan manusia paling mulia ini tidak pernah bangkit dari majelisnya sehingga beliau memanjatkan doa di atas untuk sahabat.
Islam memanglah memiliki paket tuntunan lengkap dalam berbagai aspek kehidupan. Allah azza wa jalla, melalui utusanNya telah banyak memberikan gambaran sosok pemimpin ideal. Diantaranya sebagaimana disebutkan dalam doa diatas; takut kepada Allah dan menyayangi rakyat.
Para khalifah sepeninggal beliau memperhatikan kedua sifat yang disebutkan oleh lisan mulia Sang Nabi. Dan diantara ciri pemimpin yang takut kepada Allah adalah jujur dan amanah. Begitupula Amirul Mukminin, Umar bin Khattab. Di awal kepemimpinannya beliau menyampaikan pada rakyatnya,
“Wahai rakyatku siapa saja di antara kalian yang melihat kekhilafan dariku, maka segera luruskan.” Saat itu juga berdirilah seseorang berkomentar, “Jika kami melihat kebengkokan(kesalahan) darimu, maka akan kami luruskan dengan pedang kami.” Umar pun berkomentar, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan pada umat ini orang yang meluruskan kesalahan Umar dengan pedangnya.”(al-Riyâdh al-Nadhrah, 2/381).
Kemudian kekuasaan Umar benar-benar berjalan lurus di atas wahyu. Hingga suatu hari, atas banyaknya keluhan para lelaki soal mahalnya mahar perempuan, beliau menetapkan batasan mahar bagi para wanita. Seorang wanita menyampaikan kritiknya di depan umum dengan argumentasi kuat. Si Muslimah menolak kebijakan tersebut dengan membacakan surat An-nisa’ ayat 20 dan memperingatkan Umar untuk tidak membatasi apa yang dimubahkan oleh Allah dan rasulNya. Umar, pemimpin besar abad itu menjawab kritik rakyatnya dengan berkata, “Wanita ini benar dan Umar salah.” Dia mewujudkan pernyataannya di awal kepemimpinannya. Bahwa dia meminta diluruskan ketika ia khilaf dalam kepemimpinannya.
Namun, kedua sifat ini sulit kita temui pada pemimpin negeri-negeri muslim hari ini. Termasuk di nusantara kita yang menerapkan sistem politik demokrasi. Sifat amanah dan jujur sulit ditemui. Terlabih jika hal itu menyangkut pemenuhan janji politik. Janji kesejahteraan, keadilan, lapangan pekerjaan, pemerintahan bersih dari korupsi, hingga terwujudnya pendidikan dan kesehatan gratis hanyalah retorika pemanis kampanye. Meningkatnya angka golput baik itu dalam pilpres atau pilkada merupakan bukti minimnya kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin. Sebagian besar rakyat tidak lagi memandang penting pemilu karena dianggap tidak lebih dari sekedar rutinitas lima tahunan yang tak memberikan dampak langsung terhadap perbaikan kehidupan mereka. Rakyat mulai sadar dan merasa hanya dibutuhkan suaranya saat pemilu, selanjutnya diabaikan ketika kekuasaan telah tercapai.
Diantara sifat menonjol dari pemimpin yang lahir dari sistem ala Yunani ini adalah banyak berjanji dan meningkarinya. Oleh karenanya, fenomena ingkar janji politik tak hanya terjadi di Indonesia. Di beberapa negara lain yang menerapkan system demokrasi hal serupa terjadi. Penelitian yang dilakukan oleh Susan C. Stokes (2001), seorang guru besar Ilmu Politik Universitas Chicago terhadap 44 kasus pemilihan presiden di 15 Negara Amerika Latin selama kurun waktu 1982-1995 menunjukkan adanya kecenderungan pengingkaran yang cukup tinggi atas janji-janji kampanye. Ada gejala bahwa para politisi memang berusaha mengambil hati para pemilih ketika berkampanye, tetapi segera setelah mereka terpilih mereka menentukan kebijakan semau mereka tanpa mempedulikan preferensi para pemilihnya.
Jika kita tilik dengan jeli, bisa kita temukan setidaknya tiga sebab demokrasi melahirkan pemimpin ingkar janji.
Pertama, sistem politik demokrasi adalah bagian dari ideologi kapitalisme. Dimana kekuasaan selalu berpihak pada pemilik modal. Penguasa sejati dalam ideologi ini adalah para kapitalis atau pemilik modal. Fungsi penguasa hanyalah dibatasi sebagai regulator. Sedangkan fungsi melayani atau mengurus rakyat seperti pemenuhan kesehatan, pendidikan, pemenuhan fasilitas umum seperti pembangunan infrastruktur dijalankan oleh korporasi dengan asas untung rugi. Hal ini memandulkan peran pemimpin yang dipilih oleh rakya, sehingga mereka sulit mewujudkan visinya dan merealisasikan janji-janjinya.
Ini jelas bertentangan dengan Islam yang mengamanahkan tugas mengurusi rakyat (ra’in) bagi pemimpin kaum muslimin. Rasulullah ﷺ bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Khalifah adalah orang yang bertanggungjawab di dunia dan akhirat untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya dan mensejahterakan mereka. Ia melakukannya dengan cara menjalankan pemerinathan sesuai syariat Allah yang melahirkan kebaikan. Kepemimpinannya dijalankan sebagai bentuk ibadah kepada Allah dan amanah yang akan dimintai pertangggungjawaban serta dibalas di yaumil akhir kelak. Ia dibai’at oleh rakyat atas nama Allah. Sejak awal kepemimpinannya, ia sadar bahwa kekuasan adalah pemberian (amanah) dari Allah, dan ia sedang ‘berakad’ dengan Allah, bukan dengan pemilik modal yang membiayai kampanyenya. Maka sifat amanah menjadi wajib dalam kepemimpinannya. Haram hukumnya ingkar janji dan berkhianat.
Kedua, demokrasi dengan prinsip suara rakyat adalah suara tuhan, tak memiliki syarat yang shahih terkait diangkatnya seseorang menjadi pemimpin. Secara umum, selama ia adalah warga negara dan ada partai bentukan rakyat yang mengusungnya, ia boleh menjadi pemimpin. Ulama yang takut pada Allah bisa bersaing dalam pemilu dengan kafir yang tak mengimani Allah. Politisi handal bisa bersaing dengan artis minim kapabilitas. Terlebih masa kampanye pemilu cukup lama. Maka sejak awal penetapan bakal calon, spanduk dengan foto terbaik yang bertuliskan kelebihan dan visi tak jujur kerapkali ditemui. Karena seringnya calon pemimpin tak memiliki prestsi atau karya di tengah masyarakat, mereka butuh menuliskan banyak janji manis dalam kampanyenya. Sudah bukan rahasia umum,jika sebagian besar yang maju menjadi calom pemimpin adalah mereka yang punya uang, meski tak punya kemampuan dan pengalaman,
Ini tentu saja berbeda dengan Islam. Meski Islam membolehkan uslub pemilu sebelum dibai’atnya calon pemimpin menjadi khalifah, namun ulama bersepakat masa kekosongan khalifah hanya boleh ada maksimal tiga hari. Walhasil, “kampanye” yang diadakan hanyalah dalam waktu singkat tersebut. Maka umat akan benar-benar memilih pemimpin yang selama ini jelas mereka kenal keutamaan-keutamaannya.
Prinsip suara rakyat suara tuhan juga meniscayakan pemilihan langsung (pemilu). Mahalnya biaya pemilu dan tak sepadannya gaji pemimpin dibanding ‘modal’ yang dikeluarkan turut andil melahirkan penguasa serakah. Ia akan menempatkan kepentingan pribadi dan partai pengusungnya di atas kepentigan rakyat. Muncullah istilah presiden petugas patai, misalnya. Apalagi jika modal itu ia dapat dari pemilik modal. Maka kontrak politik akan mengharuskannya menjalankan politik balas budi. Yakni, ia akan bekerja bukan unutk rakyat, namun untuk membalas budi investornya.
Memiliki pemimpin yang adil dan amanah adalah rahmat besar bagi umat. Sebaliknya memiliki peimpin pembohong dan khianat adalah adzab bagi rakyata. Pantas jika Rasulullah ﷺ mengabadikan buruknya ancaman bagi pemimpin pendusta dalam haditsnya “Ada tiga golongan yang tidak dilihat Allah SWT di hari kiamat, mereka tidak dirahmati, tidak diampuni dosanya, dan bagi mereka azab teramat pedih. Pemimpin yang pendusta, tua bangka yang berzina, dan orang miskin yang sombong.” (HR Abu Daud).
Rusaknya pemimpin tentu menjadi salah satu sumber bencana sebuah negara. Pemimpin rusak lagi pendusta diproduksi masal oleh sistem politik yang rusak. Maka untuk mensolusi problem ini, satu-satunya pilihan adalah membuang system politik demokrasi beserta ideologinya. Lalu menggantinya dengan sistem politik khilafah yang berlandaskan wahyu dari Allah dan menerapkan hukum Allah. Allahu a’lam bisshawab.