Oleh: Dr. Rini Syafri (Doktor Biomedik, Pengamat Kebijakan Publik)
Setahun berlalu, tidak ada yang tersisa dari kebijakan rezim neolib kecuali kesengsaraan rakyat yang semakin dalam. Agenda hegemoni Sustainable Development Goals (SDGs) yang diandalkan pemerintah justru semakin menyengsarakan masyarakat.
Pemenuhan berbagai hajat hidup dasar semakin dirasakan sulit. Baik pangan, air bersih, sandang, maupun perumahan dan pemukiman. Demikian juga pelayanan kesehatan, pendidikan, hingga energi dan transportasi. Disebabkan harganya yang terus melangit, ketersediaan, maupun masalah kualitas.
Kesehatan.
Meski pelayanan kesehatannya diskriminatif bahkan mengancam nyawa jutaan orang, rezim berkuasa tetap meneruskan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Alih-alih membubarkan, rezim bergeming terhadap jeritan dan penderitaan rakyat. Defisit akut yang berdampak luas dan serius terhadap kesehatan dan nyawa publik justru disikapi pemerintah dengan keputusan kenaikan premi hingga seratus persen yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2020.
Pada sisi lain, Pemerintah tidak saja memaksa setiap orang sebagai peserta asuransi kesehatan BPJS Kesehatan, tetapi juga membuat korporasi keuangan kapitalis itu semakin semena-mena terhadap harta dan hak pelayanan kesehatan masyarakat. Baik berupa ketentuan pembayaran premi yang memberatkan hingga sanksi dan penggeberan tagihan.
Sementara, jaminan akses publik terhadap pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan semakin minus dengan akan diberlakukan pembatasan pada pelayanan dasar saja.
Pemerintah dengan besar mulut berkata tentang kebaikannya yang membayarkan premi kelas tiga bagi rakyat miskin, namun tetap saja tidak mengurangi kelalaian dan kezaliman rezim sistem politik demokrasi yang luar biasa.
Di samping menegaskan korporasi BPJS Kesehatan hanyalah alat pemalak sistemis rezim neolib terhadap harta hasil tetesan keringat rakyat dengan kedok jaminan kesehatan.
Pendidikan.
Beban penderitaan publik semakin berat untuk memperoleh hak pendidikan dasar dan menengah. Tidak saja oleh beban biaya pungutan resmi komite sekolah dan dampak kebijakan otonomi daerah, namun juga deraan kekisruhan kebijakan zonasi PPDB di tengah ancaman keselamatan dan nyawa di ruang kelas akibat minim dan buruknya kualitas infrastruktur pendidikan.
Tidak saja berbiaya mahal, pendidikan vokasi SMK berbasis industrialisasi juga berujung pada pembengkakan angka pengangguran terdidik. Di sisi lain, rendahnya gaji guru honorer yang jumlahnya ribuan orang tidak saja menyengsarakan namun juga mencerminkan betapa buruknya penghargaan rezim neolib terhadap guru.
Upaya publik memperoleh hak pendidikan tinggi pun demikian. Tidak sedikit orang tua mengeluhkan beban berat biaya pendidikan tinggi Uang Kuliah Tunggal (UKT) karena tidak sebanding dengan penghasilan dan gajinya. Beratnya beban UKT juga diungkapkan mahasiswa dengan demo yang berlangsung di sejumlah universitas.
Bersamaan dengan itu, rezim berkuasa cuci tangan atas kezalimannya dengan program Beasiswa Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi (Bidik Misi). Tidak saja prasyarat dan prosesnya yang sulit, namun juga sarat muatan penistaan hak publik atas pendidikan tinggi.
Kondisi ini diperparah oleh berlanjutnya tujuan pendidikan sekuler dan kurikulumnya, dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Puncaknya berwujud agenda pendidikan tinggi kelas dunia (World Class university/WCU).
Penguasaan saintek bagi kepentingan industrialisasi dan hegemoni menjadi aspek utama namun minus penanaman tsaqafah Islam yang sangat penting bagi tujuan sejati pendidikan.
Parahnya lagi, para lulusan harus bersaing dengan agenda Revolusi Industri 4.0 berupa otomatisasi, digitalisasi, dan robotisasi. Ujungnya, perbudakan modern pun di depan mata.
Air bersih.
Program hibah air minum perkotaan dan pedesaan dan berbagai program lainnnya hanyalah mengukuhkan komersialisasi air bersih. Harganya semakin membuat rakyat sulit dan menjerit.
Selama tahun ini Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di berbagai daerah menaikkan harga hingga 45 persen. Krisis air bersih di negeri ini diperparah oleh kekeringan yang kian meluas dengan durasi yang semakin lama.
Sementara tanpa air bersih yang memadai sangat berbahaya bagi kesehatan bahkan keselamatan jiwa masyarakat. Di sisi lain, kekeringan berdampak puso dan gagal panen hingga ribuan hektar. Mirisnya, ini terjadi di tengah potensi sumber daya air berlimpah dan teknologi air dan air bersih begitu maju.
Pangan.
Perolehan pangan yang mudah lagi memadai secara kualitas dan kuantitas bagi puluhan juta rakyat di negeri ini tetap saja sulit. Bahkan dirasakan kian sulit seiring harga sembako yang terus melangit.
Berbagai program pangan pemerintah, baik yang ditujukan pada masyarakat seperti program Bantuan Pangan Nontunai, Harga Eceran Tertinggi, Toko Tani, maupun yang ditujukan pada petani seperti smart farming, dan asuransi petani, terbukti tidak mampu mengatasi dampak berbahaya dominasi korporasi, kartel, dan mafia pangan yang semakin menguat.
Diperparah oleh matinya fungsi Bulog yang semestinya. Akibatnya, jutaan jiwa menderita kelaparan dan jutaan anak menderita stunting. Ironis karena ini terjadi di tengah potensi sumber daya alam pertanian berlimpah, teknologi pertanian begitu maju, juga para petani dan ahli pertanian yang tidak kurang.
Perumahan.
Kendati begitu dibutuhkan, namun harga rumah begitu mahal. Diperkirakan dua puluh delapan kali nilai gaji rata-rata masyarakat, sehingga sangat sulit dijangkau oleh rakyat kebanyakan.
Hingga saat ini terdapat jutaan keluarga hidup di tempat tidak layak huni. Program sejuta rumah tidak pernah mencapai target dan mengatasi dominasi korporasi perumahan dan pemukiman. Sementara, potensi sumber daya alam untuk perumahan dan teknologinya berlimpah lagi begitu maju.
Pembangunan kota mandiri dan smart city pun makin menonjolkan kesenjangan sosial, meminggirkan rakyat pribumi dan menganakemaskan kaum elite kapitalis bahkan asing.
Energi.
Dampak liberalisasi energi semakin dalam, berbagai program pemerintah di bidang energi justru mengukuhkan dominasi korporasi. Hasilnya, harga listrik dan BBM semakin dirasakan masyarakat luas menyengsarakan dan memelaratkan. Bahkan di sejumlah daerah berkali-kali terjadi kelangkaan. Ini ironis karena terjadi di tengah-tengah sumber daya energi migas berlimpah.
Pada aspek lain, program energi baru terbarukan biofuel sawit yang terus diaruskan pemerintah tidak saja meningkatkan beban biaya, tapi juga berdampak serius terhadap kerusakan lingkungan.
Tahun ini kembali terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut yang hebat. Berdampak serius terhadap kerusakan lingkungan bahkan kesehatan dan keselamatan jiwa jutaan orang. Sungguh kelalaian dan kezaliman luar biasa rezim demokrasi.
Transportasi.
Tak kalah menyengsarakan adalah kebijakan pemerintah pada transportasi publik. Berbagai kebijakan pemerintah justru mengekalkan liberalisasi hajat hidup yang satu ini. Hasilnya, tidak saja mahal, risiko kecelakaan juga begitu tinggi baik di darat, laut, maupun udara.
Ratusan nyawa melayang sia-sia. Semua ini menegaskan kegagalan pemerintah menjamin pemenuhan kebutuhan publik terhadap transportasi publik murah, aman, dan nyaman. Di samping menegaskan kelalaian dan kezaliman rezim berkuasa.
Komplikasi Kelalaian
Inilah buah pahit komplikasi kelalaian rezim demokrasi dan kerusakan mendasar sistem kehidupan sekularisme. Sungguh Allah Subhanahu wata’ala telah mengingatkan,
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (QS Ar Ruum [30]:41).
Jadi, jelaslah solusinya hanyalah dengan kembali pada pangkuan syariat kafah, yakni Khilafah. Allahu a’lam. [MNews]