Oleh : Syarifah Aini (Ibu rumah tangga, tinggal di Magelang)
Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Agama menggagas Program Santri untuk Perdamaian Dunia. Program ini merupakan salah satu ajang untuk menegaskan kembali peranan Indonesia dalam merawat perdamaian dunia.
Sebanyak 10 orang santri dari berbagai daerah di Indonesia diberangkatkan pada Senin (25/11/2019) ke Beijing, Tiongkok selama 5 hari. Mereka akan memperkenalkan lembaga pendidikan Islam Indonesia yang toleran, moderat, dan inklusif.
Para santri akan mengunjungi beberapa institusi pemerintah dan swasta di Beijing untuk berinteraksi langsung mengenai kemajuan Tiongkok di berbagai bidang, dengan tetap mempertahankan kultur ketimuran.
Selain itu, Program Santri untuk Perdamaian Dunia ini juga dimaksudkan untuk menjawab stigma dan mispersepsi masyarakat internasional mengenai pendidikan Islam yang sering diasosiasikan menjadi lahan subur bagi kelompok radikal (Liputan6. com, Senin 25/11/2019).
Ada beberapa hal yang perlu kita cermati dibalik terjadinya kerjasama dengan Pemerintahan Cina tersebut.
Pertama, mengapa para santri yang dibidik untuk menyampaikan pesan perdamaian. Pada saat kondisi di negara tersebut membantai warganya sendiri, yang berada di Uighur-Xinjiang, hanya karena mereka memeluk Islam. Dan pembantaian tersebut masih berlangsung hingga saat ini. Lantas apakah benar Cina memiliki niat baik terhadap santri di Indonesia? atau sebaliknya, punya misi yang ingin disampaikan, karena santri sebagai simbol atau gambaran Muslim di Indonesia?. Apa yang dilakukan oleh Pemerintahan Cina kepada Muslim Uighur, seolah-olah memberikan gambaran kepada kita, bahwa mereka tidak akan pernah ridlo kepada Ummat Islam untuk hidup dan berkembang di negara mereka. Sehingga kedatangan para santri dari Indonesia dengan membawa misi perdamaian, hanyalah pencitraan saja agar mereka dikenal sebagai negara yang toleran kepada Ummat Islam. Padahal Muslim Uighur yang mereka tahan di kamp-kamp mereka, dipaksa untuk berbahasa Mandarin, bahkan dipaksa juga untuk meninggalkan keyakinan iman mereka.
Kedua, dalam kunjungannya, para santri diminta untuk mengenalkan pendidikan Islam Indonesia yang toleran, moderat, dan inklusif. Hal ini juga selaras dengan sistem pendidikan di negara Cina sendiri. Karena Muslim moderat menurut mereka, adalah dengan ciri-ciri Muslim yang percaya pada demokrasi, toleransi, pendekatan politik tanpa kekerasan, semua agama dianggap sama, anti syariah, dll. Jadi moderat dalam pemikiran mereka adalah identik dengan liberal, maka para santri harus waspada dengan ide-ide atau pemikiran seperti ini.
Ketiga, tentang isu radikalisme dan terorisme yang katanya sudah masuk ke pesantren-pesantren di Indonesia, ada misi yang sengaja dikonstruksi oleh kekuatan Kapitalisme media massa, agar ada cap dan sikap negatif masyarakat terhadap pondok pesantren dan bagian dari proxy war yang digunakan negara lain untuk menguasai Indonesia. Sehingga para santri harus kritis juga. Mengingat pondok pesantren adalah lembaga pendidikan khas Indonesia yang mengajarkan Islam Rahmatan lil ‘Alamin, jauh dari bahasa kekerasan. Dan secara empiris terbukti mampu mendidik Ummat dengan akhlaqul karimah di berbagai pelosok negri.
Oleh karena itu, program ini syarat dengan kepentingan politik, yaitu ingin merubah sistem pendidikan khas yang ada di pesantren, dengan mengusung ide sekuler yang ada di Cina. Sehingga secepatnya menghiasi sistem pendidikan para santri di pondok-pondok pesantren yang ada di Indonesia. Para santri diharapkan menjadi santri yang memiliki pemikiran yang liberal, anti radikalisme, dan terorisme.
Sudah sepantasnya kita sebagai muslim yang peduli dunia pendidikan pesantren dan generasi menolak dengan tegas pengiriman duta santri ke Tiongkok.