Oleh: Emilda Tanjung
MuslimahNews.com, FOKUS — Laporan yang dirilis ADB dan International Food Policy Research Institute (IFPRI) bertajuk ‘Policies to Support Investment Requirements of Indonesia’s Food and Agriculture Development During 2020-2045′ menyebutkan 22 juta orang Indonesia masih menderita kelaparan kronis. Ironisnya, kelaparan ini justru menimpa buruh tani karena mendapat upah rendah dan produktivitas yang juga rendah (CNN Indonesia).
Data Kementerian Pertanian juga menyatakan terdapat 88 daerah kabupaten kota yang berada pada kondisi rawan pangan (Kompas), di antaranya karena akses yang rendah terhadap pangan.
Sedang hasil riset Global Hunger Index (GHI) yang dikeluarkan oleh Concern Worldwide dan Welthungerhilfe baru-baru ini melaporkan meskipun sedikit membaik, namun indeks kelaparan Indonesia berada dalam kategori serius dengan skor 20,1 (Warta Ekonomi).
Hal ini menunjukkan ketahanan pangan di Indonesia masih bermasalah dengan banyaknya rakyat yang jauh dari jaminan pemenuhan pangan. Bahkan keadaan riilnya bisa jadi jauh lebih buruk daripada yang diungkap data.
Di tengah kondisi yang memprihatinkan ini, Bulog justru berencana akan membuang 20 ribu ton beras yang sudah tersimpan lebih dari setahun. Beras yang tersimpan sejak 2017 tersebut sudah mengalami penurunan mutu, rusak, dan tidak layak dikonsumsi. Akibatnya diduga menimbulkan kerugian mencapai Rp160 miliar (CNN Indonesia).
Bulog menyatakan menumpuknya beras tersebut karena berubahnya skema bantuan pangan untuk rakyat miskin dari Rastra menjadi Bantuan Pangan Nontunai (BPNt). Sementara BPNt memiliki skema terbuka dan Bulog akan bersaing dengan beras merk lain dari nonbulog.
Penyebab lain tertumpuknya beras ini adalah karena kebijakan impor pemerintah yang tanpa perhitungan. Pada saat produksi dalam negeri surplus, pemerintah tetap memaksakan impor.
Inilah gambaran buruknya pengelolaan negara dalam mengurusi hajat pangan rakyat. Stok pangan yang berlimpah tidak memberikan manfaat bagi rakyat karena sejumlah aturan yang kacau.
Bahkan Bulog pun telah mati fungsi sebagai pelayan rakyat dan lebih mengedepankan keuntungan daripada menjamin pemenuhan pangan rakyat. Ditambah pula kendali importir (mafia) beras dengan dikeluarkannya kebijakan impor yang sejatinya tidak dibutuhkan.
Buruknya regulasi, dimatikannya fungsi Bulog serta kendali korporasi dalam kebijakan negara menunjukkan bahwa akar persoalannya bukanlah tataran manajemen semata. Namun semua persoalan ini lahir dari paradigma dan konsep kebijakan yang batil yaitu konsep demokrasi neoliberal yang dijalankan oleh rezim pemerintah saat ini.
Rezim Neoliberal Gagal Menjamin Pemenuhan Pangan Publik
Praktik politik demokrasi yang dijalankan rezim termasuk dalam pengelolaan pangan memfasilitasi lahirnya regulasi yang minus pengurusan hajat rakyat. Bahkan model desentralisasi kekuasaan ala demokrasi menciptakan ego sektoral dan regulasi yang saling menegasikan antar lembaga negara.
Seperti tidak sejalannya regulasi yang dibuat kementerian perdagangan dengan kementerian pertanian serta Bulog tentang pengadaan beras untuk ketahanan pangan. Begitu pula ‘bagi-bagi’ proyek BNPt antara Kemensos dan Bulog.
Alih-alih mengoptimalkan pelayanan dan pengurusan hajat rakyat, masing-masingnya malah berebut keuntungan dari proyek kebijakan.
Begitu pula praktik oligarki kekuasaan yang niscaya ada dalam pemerintahan demokrasi. Dalam aspek pangan dimainkan oleh pengusaha (termasuk importir dan distributor besar) yang ikut mengendalikan arah kebijakan pangan sesuai kepentingan mereka.
Buahnya terjadi impor beras yang ugal-ugalan padahal tidak dibutuhkan dan akhirnya berujung pemusnahan. Selain menghabiskan anggaran negara, impor juga makin menggadaikan kedaulatan bangsa serta mematikan usaha petani kecil. Yang untung hanyalah para pemburu rente alias mafia impor.
Di sisi lain, neoliberal telah mematikan fungsi pelayanan Bulog. Dalam paradigma Neolib, Bulog yang sejatinya perpanjangan tangan negara telah berubah menjadi lembaga bisnis.
Dengan konsep Reinventing Government, Neoliberal mengarahkan wajah pemerintahan pada enterpreneurial state, yaitu negara yang menjalankan roda pemerintahan seperti perusahaan menjalankan bisnis.
Bahkan lembaga-lembaga pemerintahan digiring menjadi bagian dari pelaku pasar alias pengusaha. Sehingga pemerintah akan mengarahkan perannya untuk memutar aset yang dimiliki dengan menyediakan layanan bagi masyarakat untuk mendapatkan keuntungan finansial.
Demikian pula yang terjadi pada Bulog hari ini yang berorientasi untung. Alih-alih melayani rakyat dengan membagikan beras kepada secara gratis, justru layanan Bulog semakin dikomersilkan. Ditambah Bulog saat ini menanggung utang yang sangat besar.
Terlihat jelas kegagalan rezim ini dalam mengurusi hajat pangan rakyat serta gagal mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan karena demokrasi neolib. Sampai kapanpun, peliknya problematik pangan tidak akan selesai jika masih percaya pada konsep ini. Bahkan kondisi yang lebih buruk akan mengancam apabila tidak dicari solusi yang tuntas dan shahih.
Pemenuhan Pangan Publik Terjamin dalam Islam
Islam memiliki paradigma yang berbeda dengan demokrasi neoliberal dalam mewujudkan pemenuhan pangan rakyat. Dalam Islam, pemenuhan hajat pangan publik dijamin sepenuhnya oleh negara. Sebab negara berfungsi sebagai raa’in (pelayan) dan junnah (pelindung).
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggungjawab terhadap rakyatnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Dalam hadis lainnya Rasulullah menegaskan, “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang dibelakangnya dan berlindung kepadanya….” (HR Muslim). Jaminan pemenuhan ini pun diarahkan sampai individu per individu rakyat bukan komunal.
Berdasarkan paradigma ini, pemerintah (Khalifah) bertanggung jawab penuh untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan. Wujudnya, negaralah yang menentukan arah politik pangan dan menjalankannya dalam bentuk kebijakan praktis sesuai dengan tuntunan syariah. Sehingga tidak akan terjadi pengendalian kebijakan negara oleh pihak lain termasuk korporasi bahkan pihak asing seperti WTO.
Begitu pula seluruh lembaga pemerintahan wajib menjalankan fungsi negara sebagai raa’in dan junnah tanpa terkecuali. Karenanya terlarang bagi lembaga negara termasuk Bulog membisniskan layanan yang diberikannya kepada rakyat.
Sedangkan pembiayaan dalam melayani hajat rakyat diambil dari baitulmal Khilafah di mana pos pendapatan dan pengeluarannya telah ditetapkan oleh Syariah Islam. Sementara kebijakan-kebijakan yang kontraproduktif antarlembaga negara tidak akan mungkin lahir dalam sistem politik Islam. Sebab sistem kekhilafahan menganut sentralisasi kekuasaan dan desentralisasi administrasi.
Semua kebijakan berada dalam tanggung jawab khalifah, sehingga tidak ada peluang munculnya aturan yang tumpang tindih antarlembaga negara dan merugikan rakyat.
Karena itu, kehadiran sistem kehidupan Islam yakni Khilafah adalah kebutuhan yang mendesak bagi bangsa ini dan dunia. Sistem demokrasi neoliberal telah nyata gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat bahkan ancaman krisis pangan yang lebih buruk menanti di depan mata.
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (Terjemah QS Al A’raf: 96). Wallaahu a’lam bi ash shawab. [MNews]