Deradikalisasi, Kambing Hitam atas Kegagalan Negara Korporasi

  • Opini

Oleh: Pratma Julia Sunjandari

Bukan rahasia lagi jika janji kampanye Jokowi gagal dipenuhi. Jangankan para kritikus, sebagai institusi resmi negara, Bappenas turut mengungkapkan jika pemerintahan Jokowi-JK gagal mencapai target ekonomi yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Mulai dari pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan, indeks pembangunan manusia (IPM), hingga tingkat pengangguran.

Deretan Kegagalan Target Ekonomi

Pemerintah terlalu percaya diri, dengan mematok pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2019. Nyatanya, pertumbuhan ekonomi domestik per semester I 2019 meleset jauh di kisaran 5,06 persen. Tingkat kemiskinan yang diproyeksi turun menjadi 7 persen, diprediksi mentok di kisaran 9,2 persen pada akhir tahun ini.

Gini ratio ditargetkan mencapai 0,36, namun per Maret 2019 baru mencapai 0,382. IPM pun yang diperkirakan mencapai 76,3, hasilnya hanya mencapai 72 pada akhir tahun ini.[1] Angka pengangguran yang diklaim turun persentasenya (dari 5,34 persen menjadi 5.28 persen ternyata jumlahnya naik mencapai 7,05 juta orang dibandingkan Agustus 2018 yang sebesar 7 juta orang.

Sekalipun memang ekonomi global lesu–sehingga Asian Development Bank (ADB) memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada level 5,2 persen di 2019[3]–, faktor domestik lebih dominan sebagai penyebab target ekonomi tidak tercapai.

Peneliti INDEF, Bhima Yudhistira mengatakan Indonesia masih belum bisa lepas dari ketergantungan ekspor komoditas. Investasi asing yang diharapkan berduyun-duyun datang melalui implementasi 16 paket kebijakan ekonomi, ternyata tidak memberikan dampak positif.  Kinerja ekonomi nasional memang menyedihkan.

Maklum saja, hingga saat ini, lebih dari 50 persen perekonomian Indonesia masih disumbang oleh konsumsi rumah tangga.[5] Sedangkan pemerintah, masih saja tidak prudent dalam mengelola anggaran. Belanja pemerintah terus dipacu untuk proyek infrastruktur, belanja pegawai, selebrasi dan seremoni, hingga fasilitas pejabat. Seperti menteri-menteri baru Jokowi mendapatkan mobil dinas baru yang menghabiskan APBN hingga Rp 152 miliar.

Bagi pemerintahan kapitalistik yang mengandalkan utang sebagai salah satu sumber penerimaan, defisit anggaran itu biasa. Defisit APBN 2019 ditargetkan sebesar 1,87 persen dan diprediksi bakal melebar. Karena belanja negara ditargetkan Rp2.461,1 triliun sementara target penerimaan pajak hanya ditargetkan Rp1.786,4 triliun.

Tak Serius Membangun Negeri

Dengan jumlah pengangguran, kemiskinan dan gini ratio tinggi, semestinya pemerintah menggencarkan pembangunan manufaktur yang menyerap banyak tenaga kerja. Bukan malah terbenam dalam proyek-proyek mercusuar pembangunan infrastruktur dan instalasi Revolusi Industri 4.0 yang lebih mengandalkan Artificial Intelligence (AI) dan robot. Atau mengandalkan investasi asing padat modal demi pembangunan pabrik (manufaktur).

Keseriusan pemerintah dalam membangun industri memang mengecewakan. Sampai-sampai mantan Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengatakan Indonesia mengalami gejala deindustrialisasi dini.. Ekonom Senior INDEF M. Nawir Messi menilai deindustrialisasi Indonesia lebih cepat dari sejumlah negara ASEAN.

Bambang berpendapat, Indonesia menderita kompleksitas ekonomi yang rendah. Semakin rendah angkanya, sektor manufaktur makin tidak punya nilai tambah sehingga ekspor komoditas gampang terpengaruh harga internasional.

Masa-masa sulit di sektor manufaktur Indonesia terus berlanjut pada bulan Oktober. Laporan IHS Markit mencatat, keseluruhan permintaan untuk barang produksi Indonesia makin melemah. Parahnya, industri yang tumbuh hampir 10 persen hanyalah industri makanan.

Staf Khusus Menteri Perindustrian Zakir S. Machmud mengakui bahwa masalah industri manufaktur di Indonesia ini antara lain karena kurangnya koordinasi antarkementerian/lembaga. Bahkan, bahan mentahnya dijual ke luar, sehingga industri dalam negeri tidak kebagian atau harganya menjadi mahal.

Bisa dimengerti jika pemerintah tidak serius menggarap produksi, karena lebih suka menempuh jalan instan: impor. BPS mencatat impor Indonesia naik pada bulan Oktober 2019 sebesar USD14,77 miliar atau naik 3,57 persen (month-over-month) dari bulan sebelumnya.

Kenaikan ini disebabkan nilai impor migas sebesar USD1,76 miliar dan kenaikan impor nonmigas menjadi USD13,02 miliar. Tidak hanya impor mesin/pesawat mekanik dan mesin peralatan listrik,[14] cangkul dan garam pun diimpor.

Buktinya, jika pemerintah mengklaim pengangguran turun, sesungguhnya yang bertumbuh hanyalah sektor informal. Sebut saja, transportasi online yang saat ini menyerap tenaga kerja hingga 11 juta lebih selama lima tahun.

Kedaulatan Tergadai, Rasa Aman Makin Mahal

Tidak hanya keok di mata rakyat, rezim Jokowi juga makin menguatkan posisinya sebagai perpanjangan tangan kepentingan asing. Jika rakyat sendiri tak mendapatkan jaminan pekerjaan formal, tidak demikian halnya tenaga kerja asing (TKA). Jumlah TKA pada 2019 diperkirakan naik 20 persen dari total TKA tahun lalu. Bertambah 95.335 TKA akibat diterbitkannya Keputusan Menteri Ketenagakerjaan RI No.228/2019.

Kenaikan TKA terjadi seiring masuknya investor dan pekerjaan konstruksi yang dibiayai utang luar negeri. Yang mengecewakan, pekerjaan dalam Kepmenaker itu merupakan pekerjaan teknis yang tidak ada unsur alih teknologinya.

 ‘Harga’ yang dibayar Jokowi cukup sepadan, hingga dia dinobatkan sebagai tokoh Asia paling berpengaruh tahun 2019 oleh Straits Times, media asal Singapura. Bisa jadi dia respected abroad, karena memberi keuntungan bagi asing sekalipun mayoritas rakyat tak sedikit pun menaruh respek.

Begitulah karakter negara pengekor. Mental inlander yang dibentuk berabad-abad oleh penjajah Belanda, Portugis, Inggris, dan Jepang membentuk karakter bangsa yang rela menghamba pada kepentingan majikannya.

Bahkan peringatan “70 tahun penjajahan AS” di Indonesia makin diperkuat melalui forum bisnis yang digelar American Indonesian Chamber of Commerce/AICC (25/9/19) di New York. Cameron Hume, mantan Dubes AS untuk Indonesia menilai peluang investasi dan perdagangan di era digital di Indonesia sangat dinamis.

Tony Wenas, Presiden Direktur Freeport yang hadir dalam forum itu menyatakan Freeport akan investasi lagi untuk penambangan bawah tanah sekitar USD15 miliar sampai tahun 2041, selain membangun smelter senilai 3 miliar dolar.

Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Panjaitan menjanjikan peluang bisnis di periode kedua Jokowi. Karena AS telah menyediakan dana investasi dalam Bill Act Fund sebesar USD 60 miliar untuk pembangunan infrastruktur.[18]

Konflik yang terjadi di Wamena menjadi potret kegagalan pemerintah RI mengatasi masalah laten Papua. Indonesia tidak pernah mampu mengusir cengkeraman kekuatan asing. Asing jelas mengincar Papua karena nilai ‘jual’-nya, berupa Derad SDA dan geostrategisnya.

Australia memang secara transparan mendukung separatisme Papua. Menlu Australia Marise Ann Payne menegaskan bahwa perwakilan mereka di Jakarta akan terus memonitor kondisi Papua. Inggris juga memberi suaka pada Benny Wenda –ketua Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

Tak ketinggalan Cina, yang bersaing secara ekonomi dengan Barat, disinyalir turut berambisi menanam pengaruh di kawasan Pasifik dengan menggelontorkan bantuan pada negara-negara Melanesia. Wajar jika negara-negara itu kerap suarakan kebangkitan Melanesia serta mendukung pembentukan negara-negara baru di kawasannya.

Gagal Ciptakan Rasa Aman dengan Deradikalisasi

Tidak hanya rakyat Papua-–baik pendatang ataupun orang Papua asli/OPA–yang tidak merasa aman. Jutaan kaum muslimin yang tersebar seantero Nusantara kembali merasakan “tajassus”, dimata-matai oleh negara.

Gara-gara rezim Jokowi-Ma’ruf telah menisbahkan dirinya sebagai pengawal agenda GWoT (Global War on Terrorism) yang dicanangkan AS, sehingga setiap gairah kaum muslimin untuk menjalankan syariat Islam dicurigai bakal menumbuhkan bibit terorisme, radikalisme dan ekstremisme.

Deradikalisasi menjadi kambing hitam atas kegagalan capaian ekonomi rezim. Secara lugas Rizal Ramli menyatakan bahwa isu radikalisme akan terus dimainkan dalam setahun pemerintahan Jokowi-Maruf demi menutupi performa ekonomi yang kembali memburuk di tahun ini.

Gerakan rezim untuk memburu ‘kaum radikal’ kian beringas dan random, macam gerakan ayam yang disembelih. Setelah periode lalu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan, di periode ini surat keterangan terdaftar (SKT) Front Pembela Islam (FPI) tidak segera dikeluarkan pemerintah karena turut mengusung Khilafah.

Kriminalisasi ustaz/aktivis dakwah tidak berhenti. Demonisasi ajaran Islam kian tak terkontrol, sampai-sampai Kemenag akan merevisi 155 buku Pendidikan Agama Islam SD, SMP, SMA. Khotbah dan dakwah di masjid dikontrol, juga mengharuskan majelis taklim terdaftar di Kemenag sesuai Peraturan Menteri Agama (PMA).

Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 Menteri dan Lembaga Negara terkait penanganan radikalisme di lingkungan ASN membuahkan situs aduanasn.id.

Sekalipun dikritik sebagai bentuk represif rezim, pemerintah bergeming tetap memata-matai ASN. Menteri BUMN Erick Thohir juga secara khusus menemui Menko Polhukam Mahfud MD untuk membahas langkah menangani radikalisme di BUMN.


Rezim memang telah tersesat. Alih-alih menyelamatkan kondisi ekonomi, mereka justru menempuh jalan yang kian menjerumuskan mereka dalam kebinasaan.

Barang siapa dikehendaki Allah untuk dibiarkan sesat, sedikit pun engkau tidak akan mampu menolak sesuatu pun dari Allah (untuk menolongnya).” (Al-Ma’idah: 41).

 “Sungguh, sebelum itu mereka memang sudah berusaha membuat kekacauan dan mengatur berbagai macam tipu daya bagimu (memutarbalikkan persoalan), hingga datanglah kebenaran (pertolongan Allah), dan menanglah urusan (agama) Allah, padahal mereka tidak menyukainya.” (At-Taubah 48).