Oleh: Chusnatul Jannah
Sejak rezim Jokowi berkuasa, Islamofobia makin menggejala dan tak terkendali. Bermula dari kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok hingga melahirkan kekuatan umat untuk melawan dalam arus gerakan 212.
Terbaru, muncul wacana penghapusan materi Khilafah, Jihad, dan perang dari kurikulum pendidikan agama. Hal ini bermula ketika ditemukan soal ujian terkait Khilafah di Kediri, Jawa Timur. Buru-buru Kemenag setempat menarik seluruh soal ujian yang mengandung materi Khilafah. Rencana penghapusan materi Khilafah dan Jihad pun mengemuka.
Keputusan reaksioner Kemenag itu mendapat penolakan dari berbagai kalangan umat. Tak mau jadi sasaran kritik, Kemenag pun melunak. Keputusan itu akan dipertimbangkan lagi dengan tanpa menghapus materi Khilafah dan jihad namun bahasannya dibatasi sesuai kehendak Kemenag.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR dari Fraksi Golkar Ace Hasan Syadzily mengatakan bahwa khilafah termasuk khazanah pemikiran politik yang pernah diterapkan dalam sejarah Islam. Karenanya, pemerintah tak boleh menghapus fakta tentang penerapan khilafah dalam sejarah Islam.
Sayangnya, apa yang disampaikan Ace Hasan Syadzily berbanding terbalik dengan sikap pejabat dan petinggi negeri ini. Di satu sisi mengakui Khilafah sebagai ajaran Islam, namun di sisi lain, menolak Khilafah sebagai solusi untuk permasalahan negeri ini.
Sikap seperti inilah yang disebut sekuler. Dalam satu hal menerima Islam, namun menolak Islam diterapkan. Lebih memilih demokrasi liberal sebagai sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.
Reaksi berlebihan terhadap materi Khilafah dan Jihad yang ada di kurikulum Madrasah adalah bentuk Islamofobia akut. Radikalisme telah menjadi trending topic yang harus ditangkal sedemikian rupa oleh pemerintah. Setelah tak laku dengan dagangan ‘terorisme’, Barat mencoba menggantinya dengan narasi berbeda namun intinya sama, yakni War on Radicalism.
Proyek deradikalisasi menjadi agenda utama di periode kedua Jokowi. Proyek ini bahkan menjelma menjadi masalah terpenting pemerintahan Jokowi di periode keduanya. Sentimen terhadap Islam masih terlihat nyata. Bahkan menyasar siapa saja yang tidak sependapat dengan program dan pandangan pemerintah.
Beberapa poin yang patut menjadi catatan merah bagaimana rezim ini memperlakukan Islam dan pemeluknya:
Pertama, narasi radikalisme.
Sejak pemerintahan Jokowi jilid dua dilantik, narasi ini selalu nyaring terdengar. Ke mana-mana narasi ini dibawa oleh para Menteri. Seolah negeri ini hanya memiliki satu masalah terbesar dan terbahaya, yaitu radikalisme.
Program deradikalisasi tetap menjadi agenda pertama dan utama dalam periode kedua Jokowi. Dulu di periode pertama sudah dilakukan. Hasil deradikalisasi periode pertama ialah pembubaran (Badan Hukum Perkumpulan) ormas HTI.
Berikutnya, survei Setara Institute yang menyebutkan 10 PTN terpapar radikal, istilah nasyid radikal, dan 200 ulama rekomendasi Kemenag. Semua itu bermuara pada proyek deradikalisasi.
Di periode dua, tak jauh beda, bahkan pemerintah lebih agresif. SKB 11 Menteri menjadi bukti kuatnya. Kesebelas Kementerian ini satu suara. Mulai dari pengawasan ASN melalui portal aduanasn[dot]id, klasifikasi kelompok ormas oleh Kemendagri, upaya mengebiri materi Khilafah dan jihad oleh Kemenag, dan pembersihan ASN yang terpapar radikal oleh Kemenpan-RB. Bahkan Wakil Presiden pun sampai hati mengatakan PAUD pun terpapar radikalisme.
Perlukah sejauh itu membuat narasi radikalisme hingga menyasar anak usia dini? Sementara, apa dan bagaimana radikalisme itu tak pernah memiliki definisi tetap dan final. Ambigu dan simpang siur.
Kedua, menjamurnya penistaan agama.
Dari awal, komitmen rezim Jokowi terhadap penegakan hukum kasus penistaan agama sangat lemah. Karena lemahnya hukum, berulang kali penistaan terhadap Islam itu terjadi. Dari candaan tak beradab kaum komika yang viral beberapa waktu lalu, kasus puisi Sukmawati dan ulahnya membandingkan Nabi saw. dengan Soekarno, hingga ceramah Muwafiq yang mengatakan masa kecil Nabi saw. rembesan.
Dari beberapa kasus penistaan agama yang muncul, hampir semuanya berakhir dengan permintaan maaf tanpa proses hukum yang tegas. Umat Islam diminta legowo menerima maaf para penista tersebut. Jika tak memberi maaf, siap-siap dicap intoleran. Hanya kasus Ahok yang berakhir di jeruji besi. Itu pun terjadi lantaran aksi berjilid-jilid umat hingga mencapai 10 juta umat Islam agar Ahok diadili.
Dari sinilah dapat ditarik kesimpulan bahwa selama rezim Jokowi berkuasa, penistaan terhadap Islam marak bak jamur di musim hujan. Terkesan ada pembiaran dan ketidaktegasan penguasa.
Ketiga, monsterisasi Islam, simbol, dan ajarannya.
Bendera tauhid diidentikkan dengan bendera teroris. Khilafah sebagai ajaran Islam dinarasikan mengancam Pancasila dan NKRI. Kriminalisasi terhadap ulama dan aktivis Islam kerap terjadi. Materi jihad dan khilafah disebut memicu paham radikal.
Ketiganya berpangkal dari gejala Islamofobia yang menjangkiti para penguasa negeri ini. Jurus mabok pun mereka pakai. Dengan narasi radikalisme, mereka melakukan segala daya dan upaya agar umat kian kabur dengan Islam. Tatkala umat menyerukan penerapan syariat dalam bernegara, tersematlah kata radikal untuk mereka.
Manakala umat bersikap moderat dan berpikiran sekuler dan liberal, mereka merangkulnya penuh mesra. Begitulah strategi Barat untuk menghancurkan Islam dari dalam. Yakni, memecah belah umat dengan narasi radikal.
Islamofobia adalah saat persatuan umat terbangun, mereka dicurigai dan nyinyiran tiada henti. Islamofobia adalah ketika umat mulai mencinta bendera Nabinya, malah dikata itu bendera ormas, ISIS, dan teroris.
Islamofobia adalah tatkala ada sekelompok umat menawarkan Islam sebagai solusi, malah dibungkam dengan pemberangusan hingga pembubaran.
Islamofobia adalah manakala materi Khilafah muncul di soal ujian madrasah, mereka menariknya dari peredaran bahkan ingin menghapusnya dari pelajaran sekolah.
Islamofobia adalah saat ukhuwah Islamiyah terjalin indah, mereka anggap umat Islam tak menghargai keberagaman dan perbedaan. Islamofobia adalah saat cadar dan celana cingkrang dianggap bibit radikal serta budaya arab. Itulah wajah Islamofobia akut yang tengah menggejala di negeri muslim terbesar ini.
Ketakutan terhadap Islam menunjukkan bahwa Islam adalah satu-satunya ideologi yang mampu mengancam eksistensi kapitalisme, liberalisme, dan sekularisme. Barat pun mengakui bahwa kekuatan Islam ada pada bangkitnya kesadaran dan kebutuhan umat terhadap sistem Islam.
Mereka melakukan bermacam cara untuk menghambat kebangkitan Islam. Kesadaran politik dan pemikiran umat terhadap Islam akan menghapus hegemoni kapitalisme berikut akidah turunannya.
Benarlah kata Rizal Ramli, radikalisme dimainkan hanya untuk menutupi kegagalan rezim neolib. Tak becus urus negara, mereka sibuk menjadikan radikalisme sebagai narasi.
Berharap perbaikan pada periode kedua rezim neolib bagai pungguk merindukan bulan. Hal yang mustahil diwujudkan. Mengapa? Sebab, sistem neoliberal inilah yang menjadi pangkal persoalan negeri ini. Pemikiran sekuler liberallah yang telah merusak pemahaman umat terhadap gambaran utuh syariat Islam mengatur kehidupan.
Keberkahan dan kebaikan akan tercipta jika dan hanya jika Islam diterapkan secara kaffah dalam naungan Khilafah, bukan kapitalisme ataupun demokrasi liberal.