Assalamu’alaikum wr wb.
Pada awal desember kemaren telah terjadi kehebohan di Kediri karena telah ditemukan soal Ujian Akhir Semester (UAS) di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kediri yang bermuatan khilafah pada mata pelajaran fiqh kelas XII. Kemudian Menteri Agama juga menegaskan bahwa pelajaran khilafah dan jihad telah dihapus dari kurikulum madrasah yang ditegaskan dalam Surat Edaran B-4339.4/DJ.I/Dt.I.I/PP.00/12/2019 yang ditandatangani Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Kemenag.
Yang ingin saya tanyakan mengapa pemerintah saat ini menghapus pelajaran tentang khilafah dan jihad bukankah keduanya ajaran Islam seperti halnya ajaran Islam yang lain seperti shalat, zakat, dsb ?
Terimakasih atas jawabannya.
Dari ibu Siti di Jombang, Jawa Timur.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullaahi wabarakaatuh. Ibu Siti yang dirahmati Allah.., kita memang dibuat miris oleh fakta yang terjadi akhir-akhir ini. Beberapa ajaran Islam “dihapus” oleh umat Islam sendiri, bahkan oleh kementrian agama yang semestinya menjadi garda terdepan dalam menjaga agama. Kemenag selayaknya memastikan rakyat menjalankan agamanya secara sempurna, bukan sebaliknya mereduksi hukum-hukumnya.
Setelah mendapatkan penolakan dari berbagai pihak, kemudian Menag merevisi kebijakannya sebagaimana dilaporkan media kumparan.com: Menteri Agama Fachrul Razi memastikan tidak ada penghapusan materi khilafah dan jihad dalam mata pelajaran agama Islam. Fachrul mengatakan yang dilakukan oleh Kementerian Agama adalah pemindahan materi khilafah dan jihad dari mata pelajaran fiqih ke sejarah.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi di negeri yang mayoritas penduduknya beraga Islam ini?
Pertama, fakta ini menunjukkan bahwa rezim sekarang menerapkan sekulerisme dalam bernegara. Agama Islam memang diakui sebagai agama terbesar, namun hanya sebatas keyakinan minus peran pengaturan. Jikapun ada aturan Islam yang diberlakukan hanya semata terkait ibadah ritual menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Sementara aktivitas lainnya seperti ekonomi, politik, budaya, pendidikan, dll dipisahkan dari pengaturan agama. Dalam aspek ini kekuasaan agama dimandulkan. Keberadaannya diakui, namun perannya dihilangkan.
Kedua, ada upaya mereduksi tuntutan penerapan jihad dan khilafah dari benak umat. Pemindahan pengajaran materi khilafah dan jihad menjadi salah satu bidang ajar sejarah tentu bukan tanpa sebab. Selama ini umat memahami bahwa belajar fiqh Islam identik dengan belajar hukum-hukum Islam mulai bab thoharoh yang membahas seputar bersuci, bab jihad yang mengupas hukum membela agama dengan perang di medan pertempuran, sampai bab khilafah yakni institusi Negara yang akan menjamin seluruh hukum-hukum Islam terlaksana secara kaffah. Ketika khilafah dan jihad diajarkan dalam mata pelajaran fiqh seperti halnya sholat, zakat, dan shaum maka akan difahami tuntutan hukumnya. Dalam pembahasannya akan disertakan dalil-dalilnya serta fakta –fakta penerapannya mulai masa Rasulullah saw, shahabat Khulafa arrosyidin juga para Khalifah setelahnya sehingga akan melahirkan keyakinan bahwa jihad dan khilafah bukan hanya normatif namun ajaran yang harus diterapkan dalam kehidupan nyata, seperti wajibnya menegakkan sholat dan keharusan menunaikan zakat.
Tidak sedikit dalil baik dalam Alquran maupun hadis Rasulullah saw yang membahas tentang kewajiban jihad, diantaranya adalah:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (At-Taubah[9]: 41). Bisa juga dilihat dalam al baqarah[2]:216).
Jihad bukan perkara kecil dalam ajaran Islam. Kedudukannya sangatlah tinggi seperti sabda Rasulullah saw:
… رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُوْدُهُ الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْـجِهَادُ فِـي سَبِيْلِ اللهِ.
“… Pokoknya perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad fii sabiilillaah.”. Shahih: HR. Ahmad (V/231, 236, 237, 245-246), at-Tirmidzi (no. 2616)
Disisi lain kewajiban jihad tidak bisa dipisahkan dengan kewajiban menegakkan khilafah. Keduanya ibarat satu paket yang senantiasa harus ada. Kewajiban jihad akan tertunaikan manakala khilafah sudah hadir di tengah-tengah umat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ، فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ وَعَدْلٍ فَإِنَّ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرًا، وَإِنْ أَمَرَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ وِزْرًا.
“Sesungguhnya imam itu adalah perisai, ia akan diperangi dari belakangnya”.
Dalam hadis tersebut Rasulullah saw menegaskan bahwa imam (khalifah) yang akan melindungi rakyat, dia pula yang memimpin dan memberikan komando untuk melakukan jihad. Tanpa khalifah, maka tidak ada seruan jihad melawan orang kafir, hilang pula perintah memberantas kemusyrikan dan kemaksiatan. Berikutnya izzah dan kehormatan muslim sebagai sebaik-baiknya umat pun tergadaikan. Demikian juga eksistensi Islam sebagai agama pengatur kehidupan yang diterapkan Negara hancur digantikan oleh ideologi kapitalis sekuler sebagaimana yang terjadi sekarang. Jadi, menempatkan jihad dan khilafah dalam pengajaran fiqih bisa memberikan pemahaman bahwa jihad dan khilafah adalah ajaran Islam yang harus diterapkan dalam kehidupan seperti Rasulullah saw telah mencontohkannya.
Berbeda halnya jika jihad dan khilafah dimasukan ke dalam pelajaran sejarah. Realitas menunjukkan bahwa masyarakat sekarang tidak menempatkan sejarah secara semestinya. Sejarah didudukan sebagai pengetahuan masa lalu yang tidak memiliki hubungan apa-apa dengan pengamalan masa kini. Kalaupun dikaitkan, tidak lebih dari sekedar mengambil pelajaran. Karenanya, belajar jihad dan khilafah dalam pelajaran sejarah tidak akan menghadirkan dorongan untuk melaksanakannya sekalipun dahulu keduanya pernah diberlakukan selama ratusan tahun dimulai oleh Baginda Rasulullah saw ketika membangun Negara di Madinah hingga khilafah terakhir di Turki yang runtuh pada tahun 1924 karena pengkhianatan Mustafa Kemal.
Mereka memandang sejarah khilafah sebagaimana menempatkan sejarah peradaban lainnya seperti kerajaan Romawi, kekaisaran Rusia, atau kerajaan Inggris. Berbeda dengan pandangan Islam, sejarah mempunyai makna yang sangat penting dalam penetapan ajaran Islam. Kita mengetahui ajaran Islam baik akidah, syari’ah maupun dakwah tidak terpisahkan dari sejarah Rasulullah saw baik berupa perkataan, perbuatan, dan diamnya beliau. Apa-apa yang ditinggalkan Rasulullah saw sampai kepada kita lewat hadis-hadis yang tertera dalam siroh. Karenanya, memindahkan pembahasan jihad dan khilafah ke dalam pelajaran sejarah bisa menyebabkan pelemahan kekuatannya sebagian bagian syari’ah Islam yang wajib dilaksanakan. Umatpun tidak merasa berdosa ketika keduanya tidak diterapkan.
Ibu Siti yang dirahmati Allah..,
Berikutnya yang ketiga, kebijakan penghapusan materi jihad dan khilafah dari pengajaran yang kemudian direvisi dengan pemindahannya dari pembahasan fiqih menjadi pelajaran sejarah bisa dibaca sebagai wujud kepanikan rezim menghadapi ghirah umat yang kian menggelora untuk menerapkan syari’ah kaffah. Kesadaran umat untuk mengembalikan kehidupan ke dalam sistem Islam dalam institusi khilafah kian nampak seiring dengan kegagalan rezim dalam memberikan kesejahteran dan kezhalimannya dalam menunaikan tanggung jawabnya sebagai pengurus umat. Kesadaran hakiki telah membuka pandangan umat bahwa sejatinya penyebab segala penderitaan dan krisis adalah sistem kapitalis sekuler yang telah diterapkan rezim saat ini. Kesadaran inilah yang ditakutkan rezim. Kekhawatiran wajah buruknya terbuka jelas di mata umat mengharuskan rezim membuat topeng untuk menutupinya. Di sisi lain khilafah dan jihad dianggap ancaman yang akan meruntuhkan hegemoninya.
Ibu Siti yang dirahmati Allah.., rezim sekarang punya dua PR, yakni menyembunyi kegagalannya dan menghalau “kembalinya khilafah”. Ternyata rezim memainkan senjata bermata dua yang ditargetkan bisa menyembunyikan keburukannya sekaligus menyerang khilafah. Supaya umat tidak fokus pada kegagalan rezim, maka mereka membuat opini adanya ancaman radikalisme. Umat digiring dengan hoaks bahwa khilafah radikal, penuh dengan kekerasan dan konflik, mengancam kebhinekaan, dan kedustaan lainnya. Harapannya khilafah dijauhi umat bahkan dimusuhi. Supaya ‘demonisasi’–menggambarkan Khilafah dengan wajah buruk–sukses sesuai target, maka harus dibarengi dengan upaya menjauhkan umat dari pemahaman yang shahih terkait jihad dan khilafah.
Banyaknya dalil yang menjelaskan jihad dan khilafah membuat mereka tidak bisa membantah bahwa keduanya adalah ajaran Islam. Karenanya, yang bisa mereka lakukan sekarang adalah memalingkan pemahaman umat sesuai dengan makna versi mereka melalui berbagai penyesatan. Salah satunya dengan menempatkan jihad dan khilafah sebagai bagian dari sejarah masa lalu umat Islam. Implikasinya, perlu pemaknaan ulang yang sesuai dengan konteks kekinian. Maka lahirlah istilah jihad kontemporer, juga klaim bahwa republik, kerajaan, dan khilafah tidak ada beda sama-sama sebuah istilah yang menunjukkan bentuk Negara, semuanya bisa dipilih. Jelas ini merupakan penyesatan yang membahayakan dan akan menghadang perjuangan khilafah dan syari’ah kaffah. Karenanya harus ada upaya untuk membongkar makar mereka. Mesti dijelaskan pada umat bahwa rezim sekarang anti Islam, mereka melawan ajaran Islam, mereka tidak berpihak pada kebenaran Islam namun mengabdi pada ideologi kapitalisme sekulerisme yang telah diembannya.
Ibu Siti yang dirahmati Allah.., demikianlah jawaban dari pertanyaan ibu. Semoga Allah SWT melindungi umat Islam dari tipu daya dan makar orang kafir serta antek-anteknya. Semoga kita dikuatkan Allah untuk istiqomah dalam perjuangan menyebarkan risalah Nya sehingga diterapkan syari’ah secara kaffah, aamiin. Wallahu A’lam.