Oleh: Ratu Erma Rachmayanti
Berkah bermakna bertambahnya kebaikan. Keberkahan merupakan anugerah Allah yang diberikan pada kehidupan individu, masyarakat, dan juga bangsa. Berupa kebaikan yang terus bertambah, stabil, dan memberikan kemajuan dalam skala luas. Syarat Allah memberikan keberkahan-Nya, jelas dalam firman-Nya di surah al-A’raf ayat 96 di atas, yaitu Iman dan Takwa.
Dalam surah Ath-Thalaq ayat 2-3, Allah berfirman bahwa Takwa dan Tawakal adalah jalan dicukupkannya rezeki yang tidak terduga.
“Siapa saja yang bertakwa pada Allah, akan Allah berikan padanya jalan keluar dan rezeki yang tidak terduga, dan siapa yang bertawakal pada Allah, maka Allah akan cukupi (kebutuhannya).”
Tidak ada keberkahan yang lebih besar dari datangnya rezeki pada manusia yang tak diduga dan disangka. Karena Allah Swt. mencukupi dan memenuhi apa yang diharapkan, mengenyahkan apa yang dikhawatirkan. Allah memberi kesempatan bagi setiap keinginan dan memberi jalan keluar dari segala kesempitan.
Sesungguhnya takwa dan tawakal adalah sebab keberkahan yang luas, kesehatan yang sempurna, kebaikan yang banyak dan bermacam-macam. Semuanya berkumpul di sekitar orang yang bertakwa dan bertawakal pada-Nya, yang hatinya dipenuhi takut dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya.
Keberkahan Allah akan diberi kepada mereka yang memohon ampun dan bertobat atas kesalahannya. Sebab dosa-dosa itu dapat menghalangi keberkahan. Karenanya, individu dan masyarakat yang berharap hidup berkah mestinya mereka berperilaku lurus dan benar, menjalankan semua ibadah dan aktivitasnya sesuai dengan syariat-Nya.
Dan tatkala ia lupa dan lalai, segera mohon ampun dan bertobat kepada-Nya. Baik dalam mencari rezeki, dalam mengurusi keluarga, dan juga bagi para pemimpin saat mengurusi rakyatnya, harus dilakukan dengan benar. Tidak korupsi, tidak zalim, tidak dengan cara yang Allah larang.
Pemimpin yang curiga apalagi represif terhadap rakyat, sementara dia baik dan ramah pada bangsa lain, akan mengundang murka Allah dan menghalangi keberkahan. Karena sebenarnya, kerusakan (fasad) yang besar itu diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan kehidupan suatu bangsa akibat kezaliman dan kebodohan pemimpinnya dari syariat Islam.
Pemimpin dalam Islam adalah perkara penting. Pemerintahan dalam Islam diposisikan sebagai mahkota segala kewajiban. Pelaksanaan hukum Allah dengan sempurna hanya bisa dijalankan oleh pemerintahan, bukan oleh individu-individu. Pemimpinlah yang ditugaskan Allah Swt. untuk menerapkan syariat-Nya dan mengatur kepentingan umat dengannya.
Mari kita lihat kehidupan kita hari ini, tatkala hukum Allah tidak diterapkan oleh Pemerintah dalam kehidupan publik. Banyak bermunculan kelompok aneh yang menyimpang dari akidah Islam.
Ada yang mengaku mendapat ‘wahyu’ dan menyebarkan ajaran menyimpangnya, ada yang yakin dengan ‘klenik’, menyandarkan keyakinannya pada makhluk. Ada yang mencari rezeki dengan merampok, mencuri, korupsi, menipu, dan sebagainya. Ada yang memenuhi syahwat di luar ketentuan syariat, berzina, bahkan menyimpang dengan sesama jenis.
Pemimpinnya? Mereka memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan jalan berutang dan memalak dengan aneka pungutan, pajak, premi asuransi, dan lain-lain. Padahal Allah Swt. memerintahkannya untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan sumber daya alam (SDA) yang dianugerahkan-Nya pada satu negeri untuk dikelola demi kesejahteraan semua.
Fakta di atas adalah sebagian akibat dari tidak beriman dan bertakwanya umat ini secara benar kepada perintah Allah Swt.. Akibat melalaikan hukum-hukum-Nya dalam aspek politik, ekonomi, dan lain-lain. Keberkahan hidup individu, keluarga, masyarakat, dan juga bangsa tidak terwujud. Kerusakan yang terjadi demikian masif meliputi alam dan segenap isinya.
Mahabenar Allah dalam firman-Nya, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Ar-Rum: 41).
Berbagai kerusakan alam, bencana, dekadensi moral, dan kesengsaraan lainnya, merupakan peringatan agar kembali kepada Allah Swt., agar berhenti melaksanakan kemaksiatan dan kembali pada jalan yang lurus, jalan yang Allah ridai, karena Allah tidak ingin bumi yang diciptakan ini [ditempati] untuk bermaksiat pada-Nya.
Kembali kepada Allah dan tidak bermaksiat pada-Nya adalah dengan mengembalikan kehidupan Islam pada wujud nyata di tengah masyarakat, dengan menerapkan seluruh aturan Allah yang diberlakukan oleh pemerintahan Islam, Khilafah Islamiyah. [MNews]