Telaah Hadis
Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan hadits dari jalur Abu Hurairah ra, bahwa Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama, bersabda:
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدْلٌ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ ، وَإِنْ يَأْمُرُ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ [رواه البخاري ومسلم]
“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” [Hr. Bukhari dan Muslim]
Yang dimaksud dengan al-imâm adalah khalifah. Para ulama’ menjadikan tiga lafadz: Imâm, Khalîfah dan Amîru al-Mu’minîn sebagai sinonim, dengan konotasi yang sama. Imam an-Nawawi menjelaskan:
«يَجُوْزُ أَنْ يُقَالَ لِلْإِمَامِ: اَلْخَلِيْفَةُ، وَالْإِمَامُ، وَأَمِيْرُ المُؤْمِنِيْنَ»
“Untuk seorang imam [kepala negara], boleh disebut dengan menggunakan istilah: Khalîfah, Imâm dan Amîru al-Mu’minîn.”
Lebih lanjut Imam Nawawi menjelaskan makna al-Imâm Junnat[un] [Imam/Khalifah itu laksana perisai] dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim: ”Sabda Rasulullah -shallaLlâhu ’alayh wa sallam-: (الإمام جنة) yakni seperti al-sitr (pelindung), karena Imam (Khalifah) mencegah musuh dari perbuatan mencelakai kaum muslimin, dan mencegah sesama manusia (melakukan kezhaliman-pen.), memelihara kemurnian ajaran Islam, rakyat berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya.”
Sementara Imam al-Mala’ al-Qari menjelaskan hadis ini, bahwa kedudukan al-Imam, dan apa yang diungkap dalam hadits yang agung ini pun tidak terbatas dalam peperangan semata, seperti penegasan beliau:
”Frase (وَيُتَّقَى بِهِ) sebagai penjelasan dari kedudukan al-Imam sebagai junnah (perisai) yakni menjadi pemimpin dalam peperangan yang terdepan dari kaumnya untuk mengalahkan musuh dengan keberadaannya dan berperang dengan kekuatannya seperti keberadaan tameng bagi orang yang dilindunginya, dan yang lebih tepat bahwa hadits ini mengandung konotasi dalam seluruh keadaan; karena seorang al-Imam menjadi pelindung bagi kaum muslimin dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara berkelanjutan.”( ‘Ali bin Sulthan Muhammad Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtiih Syarh Misykât al-Mashâbiih, juz VI, hlm. 2391).
Menjadi Junnah (perisai) bagi umat Islam, khususnya, dan rakyat umumnya, meniscayakan Imâm harus kuat, berani dan terdepan. Bukan orang yang pengecut dan lemah. Kekuatan ini bukan hanya pada pribadinya, tetapi juga pada institusi negaranya. Kekuatan ini dibangun karena pondasi pribadi dan negaranya sama, yaitu akidah Islam.
Posisi imam sebagai perisai tampak jelas ketika ada wanita Muslimah yang dinodai kehormatannya oleh orang Yahudi Bani Qainuqa’ di Madinah, Nabi saw melindunginya, menyatakan perang kepada mereka, dan mereka pun diusir dari Madinah. Selama 10 tahun, tak kurang 79 kali peperangan dilakukan Nabi saw, demi menjadi junnah [perisai] bagi Islam dan kaum Muslim. Ini tidak hanya dilakukan oleh Nabi, tetapi juga para Khalifah setelahnya. Harun ar-Rasyid, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, telah menyumbat mulut liar Nakfur, Raja Romawi, dan memaksanya berlutut kepada Khalifah. Al-Mu’tashim di era Khilafah ‘Abbasiyyah, memenuhi jeritan wanita Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi, melumat Amuriah, yang mengakibatkan 9000 tentara Romawi terbunuh, dan 9000 lainnya menjadi tawanan. Pun demikian dengan Sultan ‘Abdul Hamid di era Khilafah ‘Utsmaniyyah, semuanya melakukan hal yang sama. Karena mereka adalah junnah [perisai].
Imâm di dalam hadits tersebut adalah penguasa kaum Muslim yang memimpin negara yang sangat kuat, ditakuti kawan dan lawan. Bukan hanya agama; kehormatan, darah dan harta mereka pun terjaga dengan baik. Tak ada satu pun musuh yang berani macam-macam.
Bandingkan dengan saat ini, ketika al-Qur’an, dan Nabinya dinista, justru negara dan penguasanya membela penistanya. Ketika kekayaan alamnya dikuasai negara kafir penjajah, jangankan mengambil balik dan mengusir mereka, melakukan negosiasi ulang saja tidak berani. Bahkan, merekalah yang memberikan kekayaan alamnya kepada negara kafir, sementara di negerinya sendiri rakyat terpaksa harus mendapatkannya dengan susah payah, dan dengan harga yang sangat mahal.
Tanpa imam yang kuat, yang sanggup menyatukan umat di seluruh dunia, kaum muslimin saat ini terpenjara dalam sekat-sekat nasionalisme. Ketika saudara-saudaranya di negara lain dibantai, dimusnahkan, dan para muslimah direnggut paksa kehormatannya, kaum muslimin yang lain hanya sanggup terdiam, menangis, dan mengecam tanpa memiliki daya untuk memberikan pertolongan.
Tak ada Mu’tashim yang datang untuk menolong suku Uighur dari genosida Cina. Tak ada Harun Al Rasyid yang datang untuk menegakkan keadilan atas kaum muslimin Rohingya. Tak ada Sholahudin Al Ayyubi yang datang untuk membebaskan Palestina dari cengkeraman Israel. Dan tak ada Muhammad Al Fatih yang menantang arogansi AS serta membungkam mulut besarnya.
Tak ada khalifah yang sanggup menjadi junnah, melindungi kaum muslimin dari kezhaliman dan memimpin mereka berperang melawan musuh. Malah ide khilafah dimusuhi, didemonisasi, dan dikriminalisasi. Padahal, hanya khalifah yang mampu menyatukan umat dan mengembalikan kemuliaannya dengan dakwah dan jihad. Maka menjadi keniscayaan bagi kita untuk berjuang mewujudkannya di tengah umat.