Tak terasa kita sudah ada di penghujung tahun 2019. 365 hari pun nyaris berlalu. Namun kondisi umat nampaknya tak pernah berubah.
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya umat terus dalam kondisi terpuruk. Bahkan dari tahun ke tahun keadaannya nampak kian parah. Sistem sekuler yang istikamah dikukuhi, benar-benar telah menjauhkan umat dari berkah.
Pihak penguasa sendiri –seperti biasa– nampak sibuk membangun citra. Melakukan ini itu seolah-olah sedang bekerja keras untuk membahagiakan rakyatnya. Bahkan mereka bangga, saat media Singapura siap menyematkan gelar The Straits Times’ Asian of the Year 2019 pada kepala negaranya.
Namun, bukankah rakyat yang layak menjadi hakim sebenarnya?
Rakyat justru melihat, selama ini penguasa hanya sibuk tebar pesona, seraya giat membangun kejayaan kroni-kroninya. Bahkan di ujung tahun ini, penguasa nampak tak malu merintis dinasti kuasa bagi anak-anak keturunannya.
Wajarlah jika stempel buruk rezim tak pernah lepas bahkan hingga periode kedua kekuasaannya. Di mata rakyat, rezim ini tak lebih dari rezim pembohong, zalim, neolib antek asing, bahkan represif anti-Islam.
Betapa tidak? Selama ini di mata rakyat, para penguasa tak pernah sungguh-sungguh berdiri di sisi mereka. Alih-alih mengurus dan menjaga mereka, penguasa justru menjadikan rakyat tak ubahnya sapi perahan. Namun di saat sama, mereka berkoar-koar seolah sudah berhasil memuliakan rakyatnya.
Di bidang ekonomi, mereka selalu mengklaim pertumbuhan dan angka kemiskinan terus membaik. Padahal nyatanya semua hanya permainan angka-angka belaka, karena kehidupan rakyat di dunia nyata benar-benar jauh dari kata sejahtera.
Bargaining position yang lemah membuat negeri ini pun selalu kalah telak di kancah persaingan bebas yang kadung diteken penguasa dengan polosnya. Kran impor pun jebol, hingga produk asing sukses melibas produsen lokal. Mirisnya, ini terjadi bukan tanpa sengaja. Karena nyatanya, ada mafia di kalangan penguasa.
Pembangunan fisik yang jor-joran pun sama sekali tak disambut gembira rakyatnya. Karena mereka melihat itu semua bukan buat mereka. Bentangan tol dan jalan LRT yang serba mulus, pelabuhan dan bandara yang super canggih, semua mereka lihat hanya sebagai alat penguasa memanjakan para pengusaha dan orang-orang yang berduit saja.
Apalagi tak bisa dipungkiri pula, skema utang luar negeri yang nekat diambil penguasa demi proyek-proyek mercusuar itu, jelas-jelas telah berdampak buruk bagi bangsa dan negara. Kedaulatan tergadai. Dan penjarahan kekayaan alam milik rakyat oleh asing dan aseng malah berlangsung legal melalui tangan penguasa.
Lantas bagaimana dengan rakyat jelata?
Mau tak mau kebanyakan dari mereka harus hidup di tengah kesulitan yang terus mendera. Sementara yang menikmati kemudahan, jumlahnya dipastikan hanya segelintir orang saja. Gap sosial di era ini memang makin lebar adanya.
Kondisi ini diperparah dengan banyaknya kebijakan zalim yang justru terus memperberat beban dan mempersempit kehidupan rakyat banyak. Mulai dari pajak yang merambah berbagai sektor, tarif BPJS dan TDL yang terus naik, harga BBM/LPG yang kian melangit, biaya pendidikan bermutu yang kian tak terjangkau, harga pangan yang terus meloncat-loncat, serta kebijakan-kebijakan lain yang kian liberal dan antirakyat.
Adapun di bidang politik, penerapan sistem demokrasi pun makin menampakkan wajah buruknya. Perselingkuhan penguasa-pengusaha makin telanjang. Kasus-kasus korupsi berjamaah terus mencuat ke permukaan. Intrik politik, termasuk politik pencitraan dan politik adu domba begitu kental dan lebih parah terasa.
Sebagaimana di tahun-tahun sebelumnya, kezaliman demi kezaliman dan kedurhakaan demi kedurhakaan pun terus terjadi. Persekusi ulama dan kriminalisasi ajaran Islam, terutama ide jihad dan Khilafah berlangsung kian masif. Label radikal dan teroris dengan mudah dilekatkan pada mereka yang kerap mengkritisi pemerintah dan lantang menyerukan perubahan ke arah Islam kaffah.
Bahkan perang melawan radikalisme yang notabene perang melawan pergerakan Islam kaffah jelas-jelas menjadi tagline pemerintahan periode dua rezim ini. Nyaris semua kerja kementerian strategis diarahkan untuk menjalankan agenda pesanan ini.
Kementerian agama, kementerian dalam negeri, kementerian pertahanan, kementerian pemberdayaan aparatur negara, bahkan hingga kementerian pendidikan, semua berbicara tentang deradikalisasi.
Berbagai program kerja pun dicanangkan agar suara-suara kritis dan seruan-seruan ke arah Islam kaffah ini hilang terbungkam. Ajaran Islam yang dipandang ‘membahayakan’ seperti jihad dan khilafah di buku-buku pelajaran, serius dikaji ulang.
Majelis taklim dan masjid-masjid diawasi. Para da’i diinventarisasi dan diinvestigasi. Para ASN yang kritis dibungkam dan diancam dirumahkan. Bahkan lembaga PAUD pun dicurigai.
Yang lebih berbahaya, rezim pun tak ragu melakukan politik belah bambu. Merangkul sebagian kalangan tokoh umat dengan harta dan kekuasaan, namun ‘menginjak’ dengan mempersekusi, mengalienasi, bahkan mengkriminalisasi sebagian yang lainnya.
Terkait hal ini, ketidakadilan hukum pun secara nudis dipertontonkan penguasa. Hukum hanya berlaku bagi umat dan tokoh Islam yang teguh memegang hukum syara’.
Sementara, mereka yang jelas terlibat kasus SARA bisa melenggang bebas karena diketahui propenguasa atau di-backing negara-negara adidaya.
Kasus pelecehan Rasulullah saw. oleh Sukmawati dan Muwafiq hanyalah sebagian contoh saja. Betapa tumpulnya pisau hukum penguasa atas mereka. Sementara mereka yang kritis atas kebijakan penguasa, tak perlu waktu lama untuk mendekam di penjara.
Wajarlah jika rakyat di berbagai daerah bergelombang turun ke jalan. Melakukan Aksi Bela Nabi, memprotes ketidakadilan yang dipertontonkan penguasa, meski tahu bahwa aspirasi mereka tak akan pernah dianggap ada.
Di bidang sosial, betapa banyak fakta yang menunjukkan kegagalan penguasa menjaga masyarakat terutama generasi agar tetap ada pada fitrah kebaikan. Kian maraknya kasus pornografi pornoaksi, narkoba dan miras, meluasnya komunitas LGBT, keguncangan keluarga, kriminalitas, dan lain-lain turut melengkapi potret buram sepanjang tahun 2019.
Jika dicermati secara mendalam, maka semua problematik ini saling berkait satu sama lain. Namun ujung dari semuanya berakar pada satu sebab: penerapan sistem sekuler demokrasi yang menafikan peran Allah Swt. (agama) dalam kehidupan, serta memberikan hak membuat hukum pada akal manusia yang lemah dan terbatas.
Kedurhakaan inilah yang ditengarai memicu bencana demi bencana yang juga mewarnai perjalanan tahun 2019. Kekeringan, bencana banjir, puting beliung, gempa bumi, dan bencana lain tak kunjung usai memorak-porandakan segalanya. Bahkan di penghujung tahun ini, kelahiran ribuan ular kobra terjadi di mana-mana. Menciptakan teror ketakutan di tengah rakyat banyak.
Umat bahkan dijauhkan dari hakikat ajaran Islam yang benar dengan makar pengarusan ide-ide moderasi Islam pesanan Barat yang hakikatnya merupakan upaya deideologisasi dan liberalisasi Islam melalui berbagai program. Padahal dari sejarah kita belajar, ideologi Islamlah kunci utama kebangkitan.
Mahabenar Allah dengan firman-Nya:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf: 96)
Dan firman-Nya:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى. قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا. قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?’ Allah berfirman, ‘Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.’.” (QS Thoha : 124-126)
Semestinya, semua realitas buruk ini mampu memicu keinginan kuat untuk melakukan perubahan, khususnya di tahun 2020 hingga ke depan. Dan perubahan dimaksud tentu bukan sekadar perubahan parsial berupa pergantian rezim semata. Tapi harus mengarah pada perubahan sistem. Tidak lain, perubahan dari sistem sekuler demokrasi yang jahiliah menuju sistem Islam yang dinaungi wahyu ilahiah.
Dan itu dikarenakan kerusakan memang bukan sekadar ada pada orang, tapi ada pada sistem yang diterapkan. Yakni sistem sekuler demokrasi kapitalis neoliberal yang memang rusak sejak dari asasnya.
Oleh karena itu, sudah saatnya sistem batil ini dicampakkan. Umat Islam bersegera kembali menerapkan hukum-hukum Allah melalui penegakan institusi khilafah yang dipastikan akan membawa keberkahan.
Sistem khilafah inilah yang secara empirik pernah menaungi umat Islam bahkan non-Muslim selama belasan abad. Di masa itu, kesejahteraan dan persatuan hakiki pun terwujud dalam kadar yang tak pernah ada bandingannya.
Hingga umat Islam mampu tampil sebagai umat terbaik dan berdaulat, serta mampu memimpin peradaban cemerlang sekaligus menebar rahmat ke seluruh alam.
Harapan dan peluang perubahan ke arah Khilafah sesungguhnya sangat besar. Momentum Aksi Bela Islam yang terjadi berjilid-jilid dan dijadikan tradisi umat di akhir tahun menunjukkan bahwa umat Islam sesungguhnya bisa dimobilisasi dan disatukan oleh satu kekuatan pemikiran, perasaan, dan qanaah (rasa benci, rida), yakni pemikiran, perasaan, dan qanaah Islam.
Hanya saja, yang menjadi PR besar adalah bagaimana agar kadar pemikiran umat akan Islam ini tidak parsial dan pergerakannya tidak pragmatis pada satu isu saja? Tapi kaffah dan fokus pada isu besar, yakni ikhtiar menegakkan syariat Islam dalam naungan institusi Khilafah.
Untuk bisa demikian, dibutuhkan upaya dakwah yang targetnya membangun kesadaran. Yakni dakwah pemikiran yang dilakukan secara berjamaah, sebagaimana yang dicontohkan baginda Rasulullah saw.. Bukan dakwah fisik apalagi kekerasan. Bukan pula dakwah fardiyah yang tak fokus arah.
Dengan dakwah fikriyah dan jamaiyyah inilah, umat dipahamkan dengan akidah yang lurus, disertai pemahaman tentang konstruksi hukum-hukum Islam sebagai solusi kehidupan.
Sehingga akan tergambar pada diri umat, bahwa tak ada yang bisa membawa mereka pada kesejahteraan hakiki dan keberkahan hidup selain dengan menerapkan hukum-hukum Islam.
Sebagaimana juga di masa dahulu, dakwah fikriyah yang dilakukan Rasulullah saw. bersama para sahabatnya pun berbuah sama. Yakni tumbangnya sistem kufur jahiliah dan tegaknya sistem politik Islam di Madinah al-Munawwarah yang dipenuhi dengan keberkahan. Wallaahu a’lam bish shawwab. [Editorial MNews | SNA].
Link : https://www.muslimahnews.com/2019/12/19/editorial-2020-ke-manakah-umat-melangkah/