Oleh: Arini Retnaningsih
MuslimahNews.com, FOKUS – Ijtima 3.000 ulama bertajuk “Ulama dan Masa Depan Indonesia” yang diikuti ulama dari 27 kota dan kabupaten se-Jawa Barat, di Gedung Tegar Beriman, Cibinong, Kabupaten Bogor, Selasa (17/12/2019), menghasilkan sembilan poin kesepakatan.
Dari sembilan poin tersebut, poin pertama perlu mendapat sorotan. Poin pertama tersebut menyatakan bahwa radikalisme atas nama agama yang dimanifestasikan dalam bentuk aksi berupa upaya untuk mengubah bentuk negara dan tidak mengindahkan mekanisme konstitusional yang berlaku, merupakan bentuk pengkhianatan terhadap kesepakatan bangsa Indonesia. Perilakunya dikategorikan sebagai makar.[1]
Radikalisme adalah isu yang digencarkan oleh penguasa saat ini. Termasuk dalam definisi radikalisme adalah paham Islam ideologis yang mengarah pada penggantian sistem.[2] Dengan kata lain, radikalisme versi penguasa adalah pemikiran bahwa Islam wajib untuk diterapkan dalam satu institusi yang disebut Khilafah.
Perjuangan Khilafah bukan Makar
MENDIRIKAN Khilafah adalah suatu upaya perjuangan merealisasikan apa yang diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu menerapkan hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan penerapan hukum Islam inilah Islam rahmatan lil ‘alamin dapat diwujudkan.
Penerapan Islam tidak akan memecah belah kesatuan umat, namun justru menyatukannya di bawah satu pemimpin dalam satu wilayah. Tidak akan ada lagi sekat-sekat kedaerahan, kesukuan, atau nasionalisme, karena semua wilayah, semua suku dan bangsa akan melebur menjadi satu dengan kedudukan yang sama.
Begitu pula penerapan Islam, tidak berarti memaksa nonmuslim untuk masuk Islam. Bahkan hak-hak beragama mereka akan mendapat jaminan, serta mereka dilindungi jiwa, harta, dan agamanya.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama (kalian) dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil” (QS Mumtahanah: 8)
Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
من قتل مُعاهَدًا لم يَرَحْ رائحةَ الجنَّةِ ، وإنَّ ريحَها توجدُ من مسيرةِ أربعين عامًا
“Barang siapa yang membunuh orang kafir muahad, ia tidak akan mencium wangi surga. Padahal wanginya tercium dari jarak 40 tahun.” (HR Bukhari no. 3166).
Upaya penegakan sistem Islam juga tidak dilakukan dengan menggunakan jalan kekerasan. Hal ini merupakan tuntunan Rasulullah saw. dalam perjuangannya menegakkan sistem Islam secara sempurna di Madinah.
Beliau dalam perjuangannya melakukan tiga tahapan: pembinaan, perjuangan politis dan pemikiran, serta melakukan thalabun-nushrah, yaitu mencari pertolongan dari orang yang memegang kekuatan dan kekuasaan untuk menerapkan syariat Islam.
Bagaimana dengan syariat jihad? Jihad diwajibkan ketika institusi negara Islam sudah berdiri, dengan tujuan untuk menghilangkan hambatan-hambatan dakwah yang menghadang jalan penerapan syariat. Bukan untuk menjajah dan mengeruk kekayaan negara jajahannya.
Dengan konsep seperti ini, di manakah poin yang bisa dikatakan sebagai makar? Apalagi, Khilafah merupakan salah satu ajaran Islam, dan ini sudah disepakati para ulama masyhur yang lurus dalam dakwahnya.
Dengan demikian kita bisa katakan bahwa rekomendasi pertama ijtima’ 3000 ulama di Bogor, telah menyalahi kesepakatan para ulama salaf yang hanif dalam menetapkan hukum.
Ulama dalam Pandangan Islam
SECARA syar’i, Allah Swt. dan Rasul-Nya menjelaskan berbagai sifat siapa ulama itu. Ulama adalah orang-orang yang merupakan lambang iman dan harapan umat, memberikan petunjuk dengan hanya berpegang kepada aturan Islam.
Mereka mewarisi karakter Nabi dalam keterikatannya terhadap wahyu Allah Swt.. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya perumpamaan ulama di bumi adalah seperti bintang-bintang di langit yang memberi petunjuk di dalam kegelapan bumi dan laut. Apabila dia terbenam maka jalan akan samar.” (HR Ahmad)
Dalam hadis lain beliau saw. menyatakan, “Sesungguhnya kedudukan seorang alim sama mulianya dengan bulan di tengah-tengah bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi)
Dalam hidup dan dakwahnya, ulama itu benar-benar takut hanya kepada Allah Swt.; dalam hati, ucapan, dan perbuatannya yang senantiasa berpegang kepada aturan Allah Swt..
Firman Allah: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS Fathir [35]: 28)
Karena itulah, ulama senantiasa menegakkan amar makruf nahi mungkar dan tidak takut terhadap risikonya.
Rasulullah Saw. telah bersabda,
“Tidak, demi Allah, kamu harus amar makruf dan nahi mungkar, dan kamu harus mencegah perbuatan orang yang zalim, membujuknya untuk mengikuti jalan yang benar atau kamu paksa dia untuk mengikuti jalan yang benar. Jika tidak, niscaya Allah akan menjadikan kamu saling bertentangan kemudian Allah akan mengutukmu sebagaimana mengutuk orang-orang Yahudi.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud).
Inilah yang dikatakan sebagai ulama. Dengan sifat-sifat ini tidak banyak orang yang bisa dikatakan sebagai ulama karena menyandang gelar ulama adalah beban berat bagi seorang muslim.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ingatlah, sejelek-jelek keburukan adalah keburukan ulama dan sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan ulama.” (HR ad-Darimi).
Ulama di Hadapan Penguasa
“Dua macam golongan manusia yang apabila keduanya baik maka akan baiklah masyarakat. Tetapi, apabila keduanya rusak maka akan rusaklah masyarakat itu. Kedua golongan manusia itu adalah ulama dan penguasa” (HR Abu Na’im)
Islam memandang bahwa politik dan pemerintahan negara merupakan salah satu bagian dari syariat Islam. Karena itulah, kita mendapati banyak nas, baik dari Alquran maupun Sunah bicara tentang penguasa, kepemimpinan, dan penyelenggaraan negara. Upaya untuk memisahkan antara Islam dengan kekuasaan sama saja dengan memutilasi Islam.
Maka sungguh tidak layak disebut ulama jika takluk pada kehendak penguasa setelah diajak makan siang bersama, atau setelah disumbang organisasinya dengan sejumlah uang.
Tidak layak disebut ulama bila bersedia mengeluarkan fatwa seperti yang dipesan penguasa seperti menyatakan bolehnya ikut merayakan natal, tidak kafirnya orang-orang nonmuslim, tidak wajibnya penerapan syariat Islam dan penolakan terhadap institusi Khilafah, demi harta, keamanan diri, atau kedudukan.
Dengan demikian, seorang ulama wajib untuk menyampaikan agama dengan benar dan dilarang menyembunyikan apa yang diketahuinya merupakan hukum agama. Hendaklah mereka takut akan ancaman Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ ۙ أُولَٰئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allâh dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati” (QS Al-Baqarah [2]:159)
Selain itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan bahaya menyembunyikan ilmu agama yang harus disampaikan kepada umat.
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seseorang yang hafal suatu ilmu, namun dia menyembunyikannya, kecuali dia akan didatangkan pada hari kiamat dengan keadaan dikekang dengan tali kekang dari neraka”. (HR Ibnu Majah, no. 261; Syaikh al-Albani menyatakan tentang hadis ini ‘Hasan Shahîh) [MNews]
Link: https://www.muslimahnews.com/2020/01/06/respons-ijtima-3-000-ulama-di-bogor-layakkah-perjuangan-menegakkan-khilafah-disebut-makar/