Jihad Puncak Kemuliaan Islam

Rasulullah saw telah bersabda :

  رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُوْدُهُ الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْـجِهَادُ فِـي سَبِيْلِ اللهِ

“… Pokoknya perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad fii sabiilillaah.”  (HR Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Hadis Rasulullah saw ini jelas menggambarkan posisi jihad dalam Islam.  Sebagai puncak dari agama, jihad menjadi ajaran Islam yang penting untuk dipahami.  Namun, sebagian kaum muslimin tampak alergi dengan ajaran jihad.  Pernah diwacanakan untuk dihilangkan dari pembahasan materi sekolah Islam, ajaran jihad akhirnya dilengserkan dari pembahasan hukum fikih menjadi pembahasan sejarah semata.  Sang pembuat kebijakan rupanya takut, bila dibahas di fikih, maka ajaran ini akan diterapkan. 

Wajar bila ajaran jihad sangat ditakuti oleh musuh-musuh Islam.  Dari awal berkembangnya Islam sampai abad ke 15 M, dengan jihad kaum muslimin mampu menaklukkan berbagai wilayah yang membentang dari Asia sampai Afrika dan sebagian Eropa.  Semakin trauma saat tentara Salib gagal menghadang kaum muslimin dan harus rela menyerahkan Yerusalem ke tangan Shalahuddin Al Ayyubi pada tahun 1187 M.

Karena itulah, ajaran jihad merupakan salah satu ajaran Islam yang menjadi sasaran tembak musuh-musuh Islam.  Setidaknya musuh-musuh Islam melakukan dua cara dalam menghilangkan jihad dari kamus umat Islam. Pertama adalah dengan memberikan penafsiran lain dari kata jihad dan meninggalkan makna aslinya.  Misal memaknai jihad dengan mengambil makna bahasanya saja yaitu usaha sungguh-sungguh.  Atau membatasi jihad sebagai perang defensif (mempertahankan diri). Kedua adalah memunculkan wajah ekstrem dan praktek yang berlebihan dari jihad itu, seperti bom bunuh diri, sehingga umat menjadi antipati dengan kata jihad.

Meluruskan Makna Jihad

Jihad di dalam Islam berbeda dengan perang pada aliran-aliran dan agama lainnya. Jihad di dalam Islam diikat dengan kata yang mulia yaitu, fi sabilillah (di jalan Allah). Sehingga jihad terlepas dari kepentingan-kepentingan pribadi manusia, seperti kekuasaan, penjajahan, balas dendam,dan sejenisnya.  Jihad di dalam Islam disyariatkan untuk mencapai tujuan-tujuan syar’i nan mulia yang telah digariskan oleh Allah Sang Pembuat Syariat yang lagi Maha Bijaksana.

Imam Taqyuddin An Nabhani dalam kita Asy-Syakhshiyyah Islamiyyah Jilid 2, menjelaskan definisi jihad sebagai mencurahkan kemampuan untuk berperang di jalan Allah secara langsung, atau dengan bantuan harta, pemikiran, memperbanyak perbekalan dan lain sebagainya.  Dengan demikian makna syar’i dari jihad adalah peperangan (al qital), dan semua yang terkait dengannya berupa pemikiran, ceramah, tulisan, strategi dan sebagainya. 

Allah SWT berfirman:

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”(QS. At Taubah: 29)

Ayat ini menjadi dasar pensyariatan jihad, yaitu wajibnya jihad dalam rangka menegakkan hukum Allah di muka bumi.  Ketika orang-orang kafir masuk Islam, mereka tidak akan diperangi.  Jika mereka menolak masuk Islam, mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam.  Mereka hanya diminta untuk menerima berhukum dengan hukum Islam dalam urusan publik mereka dan membayar jizyah.  Jika mereka bersedia, maka mereka akan dipersamakan dengan kaum muslimin dalam hak dan kewajibannya, tidak diperangi, dan dijamin jiwa, harta, kehormatan dan keyakinannya.  Namun jika menolak juga, maka akan diperangi, karena penolakan mereka akan menjadi penghalang bagi diterapkannya Islam dalam kehidupan.

Kemuliaan Jihad

Banyak ayat dan hadis yang menjadi dalil bagi kemuliaan jihad fi sabilillah.  Dalil-dalil ini menegaskan kewajiban jihad dan menolak pengingkarannya.

Allah SWT berfirman :

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ

Dan perangilah mereka hingga tidak ada fitnah (kesyirikan) dan din hanya bagi Allah semata. Jika mereka menolak, tidak ada permusuhan kecuali pada orang-orang zalim.” (QS Al-Anfal : 39)

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui(QS. Albaqarah:216)

Rasulullah saw bersabda :

جَاهِدُوْا الْمُشْرِكِيْنَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ

Artinya: “Berjihadlah melawan orang-orang musyrikin dengan harta, jiwa, dan lisan kalian.” (HR Ahmad, An-Nasa-i dan Al-Hakim).

Di dalam sebuah hadits dikatakan:

قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا يَعْدِلُ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ؟ قَالَ : « لَا تَسْتَطِيْعُوْنَهُ ». قَالَ : فَأَعَادُوْا عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا . كُلُّ ذَلِكَ يَقُوْلُ : « لَا تَسْتَطِيْعُوْنَهُ ». وَقَالَ فِيْ الثَّالِثَةِ : « مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيْلِ اللهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللهِ . لَا يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ تَعَالَى » .

Artinya: “Dikatakan kepada Nabi saw : Amalan apa yang setara dengan jihad fii sabiilillah? Nabi saw menjawab: “Kalian tidak bisa (mengerjakan amalan yang setara dengan jihad).” Para shahabat mengulangi pertanyaan tersebut dua kali atau tiga kali, dan Nabi tetap menjawab: “Kalian tidak bisa (mengerjakan amalan yang setara dengan jihad).” Kemudian Nabi saw bersabda pada kali yang ketiga: “Perumpamaan orang yang berjihad di jalan Allah itu seperti orang yang berpuasa, shalat, dan khusyu’ dengan (membaca) ayat-ayat Allah. Dia tidak berhenti dari puasa dan shalatnya sampai orang yang berjihad di jalan Allah Ta’ala itu kembali.” (HR Muslim dari Abu Hurairah). 

Kemuliaan jihad ini disebabkan kemuliaan dalam tujuan yang hendak dicapainya.  Jihad bertujuan untuk menghilangkan hambatan yang merintangi penerapan hukum Islam.  Hanya dengan penerapan hukum Islam dalam kehidupan manusia seluruhnya bisa menyaksikan kebenaran dan keagungan Islam, mencapai kesejahteraan dan kemuliaan sehingga mereka akan menerima Islam tanpa paksaan dan keberatan.

Hukum Jihad

Jihad ada dua macam, yakni yang bersifat ofensif dan defensif.  Jihad ofensif adalah jihad yang bersifat menyerang, menaklukkan negeri-negeri yang menolak untuk menerapkan sistem Islam.  Jihad ini dilakukan setelah negeri-negeri tersebut diberikan pilihan seperti yang ditetapkan Rasulullah saw, yaitu ditawarkan Islam, jika menolak masuk Islam ditawarkan untuk bergabung dengan Daulah Islam, jika bersedia mereka akan mendapat hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslimin  serta jika menolak mereka diminta membayar jizyah.  Yang menerima salah satu dari tiga opsi ini tidak akan diperangi, namun jika menolak juga, maka baru akan dilancarkan perang kepada mereka.

Dengan demikian jihad ofensif ini adalah bagian dari pengembanan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.  Karena dakwah merupakan salah satu tujuan dari didirikannya khilafah, selain  menegakkan syariat Allah, maka dalam pelaksanaannya jihad ofensif ini harus dipimpin oleh khalifah.  Jika belum tegak kekhilafahan seperti saat ini, jihad ofensif tidak dapat dilaksanakan.  Jadi jihad ofensif adalah salah satu thariqah (metode) dalam mengemban dakwah yang dijalankan khalifah setelah berdirinya kekhilafahan, bukan merupakan thariqah untuk mendirikan khilafah.

Jihad ofensif ini contohnya serangan pasukan yang dipimpin Rasulullah saw ke Hunain dan Tabuk.  Di masa para khalifah jihad ini terus dilaksanakan sehingga berhasil menaklukkan Persia, Syam, Mesir, bahkan mencapai Andalusia dan Semenanjung Balkan. 

Hukum asal dari jihad yang bersifat ofensif adalah fardhu kifayah.  Artinya jika sebagian kaum muslimin telah melaksanakannya sehingga tuntutan syara’ dapat diwujudkan, maka kaum muslimin yang lain terbebas dari kewajiban tersebut. 

Namun, saat kaum muslimin di suatu wilayah mendapat serangan musuh, tanah mereka diduduki, kemerdekaan mereka dirampas, saat itu yang berlaku adalah kewajiban jihad defensif.  Dalam kondisi ini hukum jihad menjadi fardhu ain bagi setiap orang.  Begitu juga jihad menjadi fardhu ain bagi orang yang Khalifah telah memberikan perintah atasnya untuk berjihad (Dr. Muhammad Khair Haekal, 2016, Mukhtashar Fiqih jihad).

Maka di Palestina saat ini wajib hukumnya kaum muslimin Palestina menegakkan jihad defensif.  Bila mereka tidak mampu, menjadi fardhu kifayah bagi kaum muslimin yang lainnya untuk membantu, dimulai dari wilayah yang terdekat sampai kemudian yang lebih jauh.  Begitu pula kaum muslimin Uighur, Rohingya, wajib untuk menjalankan jihad defensif ini dengan bantuan kaum muslimin di sekitarnya. 

Dari uraian tentang jihad ini, jelas, bahwa jihad bukan merupakan hukum Islam yang layak untuk ditakuti dan dimusuhi.  Justru jihad disyariatkan untuk memuliakan manusia dan mengembalikan mereka pada fitrahnya yakni Islam.