Batas Iman dan Kafir Dalam Islam

Oleh: Arini Retnaningsih

Peristiwa peserta Kursus Mahir Lanjutan (KML) pembina pramuka yang mengajarkan yel-yel kepada siswa SD di Yogyakarta: Islam Islam yes, kafir kafir no, mengundang banyak komentar.  Mahfud MD mengatakan jangan-jangan pembinanya bego.1Sedangkan Mustofa Bisri atau lebih akrab disapa Gus Mus, lebih keras tanggapannya dengan mengatakan itu bodoh dan gendeng (gila).2

Mereka berkomentar seperti itu karena mereka berpandangan bahwa agama di luar Islam tidak bisa disebut kafir.  Bahkan Sultan Yogya, Hamengku Buwono X, menegaskan tidak ada kafir di Indonesia.3

Pernyataan tokoh tokoh tersebut dibantah Wakil Ketua Komisi Hukum MUI Pusat, Anton Tabah Digdoyo.  Beliau mengatakan kata-kata ‘kafir, kafir no!’ merupakan penegasan bahwa siswa PAUD yang merupakan anak-anak Islam harus menjaga keimanan mereka.  Bukan untuk menghardik orang kafir, apalagi mengancam. 4

Dari peristiwa munculnya yel-yel ini, kita melihat ada kerancuan akidah yang sedang dibangun penguasa dalam rangka memoderasi Islam, yakni dalam memaknai kata kafir.  Sengaja dibangun?  Betul.  Tentu kita masih ingat batasan radikal yang disampaikan oleh Mahfud MD. Yang pertama adalah takfiri, yaitu mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda.5

Bukan hanya berbeda dalam pemahaman masalah akidah, tetapi takfiri ini termasuk juga mengkafirkan agama di luar Islam.  Dengan demikian salah satu upaya deradikalisasi yang dilakukan adalah mengubah pemahaman umat, bahwa agama di luar Islam bukanlah kafir.  Itulah sebabnya dibangun narasi yang keras, bahwa apa yang dilakukan pembina pramuka di Yogya tersebut adalah tindakan radikal yang dilarang.

Siapakah Orang Kafir dalam Pandangan Islam?

Kafir berasal dari kata kufr, yang berarti menyembunyikan atau ingkar.  Karena istilah kafir ini adalah istilah Islam, maka untuk memahaminya kita harus kembalikan pada sumber-sumber ajaran Islam yang sah, yaitu Alquran dan hadis Rasulullah saw.

Allah SWT berfirman dalam QS. Al Bayyinah : 1

لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّىٰ تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ

Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata

Hamka menafsirkan ayat ini dengan mengatakan kafir di sini adalah orang-orang yang menolak, yang tidak mau percaya, tidak mau menerima kebenaran yang dibawa Rasulullah saw.  Mereka itu terdiri dari ahlul kitab yaitu Yahudi dan Nasrani, dan kaum musyrikin yang masih menyembah berhala.6

Sementara Imam Jalaluddin Al Mahally dan Imam Jalaluddin As Suyuthi, menafsirkan ayat ini sebagai berikut : (Tiadalah orang-orang yang kafir dari) huruf Min di sini mengandung makna penjelasan (kalangan ahlulkitab dan orang-orang musyrik) orang-orang musyrik artinya orang-orang yang menyembah berhala; lafal Musyrikiina di’athafkan kepada lafal Ahlilkitaabi (mau meninggalkan) agamanya; lafal Munfakkiina sebagai Khabar dari lafal Yakun; artinya mereka akan tetap memegang agama yang mereka peluk (sebelum datang kepada mereka) artinya sampai datang kepada mereka (bukti yang nyata) berupa hujah yang jelas, yang dimaksud adalah Nabi Muhammad saw.7

Penggunaan kata min dalam QS. Al Bayyinah :1 ini, menurut mufassir mu’tabar adalah min bayyan, yaitu min yang berfungsi menjelaskan, diartikan sebagai yaitu. Bukan min tab’idh yang menunjukkan sebagian.  Jadi ayat ini diartikan orang-orang kafir yaitu ahli kitab dan musyrik.  Bukan orang-orang kafir dari (sebagian) ahli kitab dan musyrikin.

Pemahaman kafir dari QS Al Bayyinah : 1 juga diperkuat oleh ayat-ayat lainnya.  Di antaranya adalah firman Allah Swt:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ [آل عمران: 85]

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS Ali Imran [3]: 85).

Dalam ayat ini dinyatakan dengan sangat jelas bahwa semua orang yang mencari agama selain Islam tidak akan diterima amalnya dan di akhirat termasuk orang yang merugi.

Juga firman Allah Swt:

إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا (150) أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا (151)

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan” (QS al-Nisa [4]: 150-151).

Berdasarkan ayat ini, semua pemeluk agama selain Islam adalah kafir. Sebab, sekalipun mereka mengimani semua nabi dan kitab Allah SWT, mereka mengingkari Nabi Muhammad saw dan Alquran. Itu berarti dia telah mengingkari seorang nabi dan satu kitab. Sebagaimana ditegaskan ayat ini, orang yang beriman sebagian dan ingkar sebagian lainnya dinyatakan sebagai hum al-kâfirûn haqq[an] (mereka adalah orang-orang kafir yang sebenar-benarnya).

Selain itu, kekufuran orang Nasrani secara khusus disebut dalam QS al-Maidah [5]: 72-73. Disebut kafir lantaran mengatakan Allah SWT salah satu dari tiga (trinitas) dan Allah SWT adalah Isa bin Maryam (Yesus).

Hadis Rasulullah saw juga menegaskan kekafiran  mereka yang menolak masuk Islam.

Rasulullah saw bersabda:

وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ! لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هـٰذِهِ اْلأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Demi Dzat yang diri Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang pun dari umat ini, Yahudi maupun Nasrani, yang mendengar diutusnya aku (Muhammad), lalu dia mati dalam keadaan tidak mengimani apa yang aku diutus dengannya (Islam), niscaya dia termasuk penghuni neraka (HR Muslim).

Maka tak aneh, para ulama sepakat tentang kafirnya semua pemeluk agama selain Islam. Imam Ibnu Hazm berkata:

Maka Allah Ta’ala mengabarkan bahwa mereka sebenarnya mengetahui kebenarannya (Nabi saw) dan tidak mendustakannya, mereka ada Yahudi dan Nasrani, dan mereka adalah orang-orang kafir tanpa ada perbedaan pendapat dari seorang pun dari umat ini.

Ibnu Hazm juga berkata:

وَاتَّفَقُوا عَلَى تَسْمِيَةِ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى كُفَّارًا

Mereka sepakat tentang penamaan orang Yahudi dan Nasrani sebagai orang-orang kafir (Marâtib al-Ijmâ’, 22).

Imam al-Qurthubi juga berkata, “Tidakkah Anda lihat orang yang mengesakan Allah SWT dan tidak beriman terhadap Nabi saw, maka tidak bermanfaat iman dan tauhidnya dan dia termasuk orang yang kafir secara ijma’ yang qath’i?” 8

Karena masalah kekafiran ahli kitab dan musyrikin merupakan perkara yang qath’i, maka mengingkari kekufuran mereka dapat membatalkan keimanan seseorang.
Imam al-Nawawi rahimahullah berkata:

“Dan barang siapa yang tidak mengkafirkan orang yang beragama selain Islam seperti Nasrani, ragu dalam mengkafirkan mereka, atau membenarkan madzhab mereka, maka adalah kafir, meskipun pada saat yang sama dia menampakkan keislaman dan meyakininya”9

Bentuk Intoleransi?

Bila kita menyatakan nonmuslim adalah kafir, apakah hal tersebut termasuk intoleran?  Hal inilah yang selalu ditekankan oleh para penganut Islam moderat, bahwa mengkafirkan non muslim adalah salah satu bentuk intoleransi yang membawa pada radikalisme.

Padahal dalam faktanya, sekalipun kita meyakini kekufuran nonmuslim, tidak pernah kita memanggil tetangga atau teman nonmuslim kita dengan “hai kafir”.  Sekalipun kita meyakini kekufuran nonmuslim, tidak pernah kita mendeklarasikan permusuhan atau melakukan pemaksaan agar mereka masuk Islam.

Wacana toleransi yang dibangun Islam moderat sangat berbahaya bagi akidah umat.  Ini karena toleransi versi mereka sudah melampaui batas keimanan, yakni mengakui kebenaran agama lain.  Bahwa tuhan mereka sama dengan tuhan kita, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.  Keyakinan ini bisa membawa umat berpindah agama dengan mudah tanpa merasa berdosa.  Bisa juga membawa kekafiran tanpa sadar, karena mengakui tuhan mereka berarti menyamakan Allah dengan Yesus, Budha, Sang Hyang Widi dan tuhan-tuhan lainnya. 

Allah Ta’ala berfirman :

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. Az-Zumar [39]: 65).

Toleransi seharusnya dikembalikan kepada apa yang sudah ditetapkan oleh Allah, yang pokoknya adalah QS. Al Kafiruun: 6 :

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”

Ayat ini melarang kita untuk mencampuradukkan akidah dan ibadah agama kita dengan agama lain.  Namun dalam hal muamalah dan akhlak, kita diperbolehkan memperlakukan orang-orang nonmuslim dengan baik, adil dan saling menghormati, sesuai dengan batas-batas yang telah Allah tetapkan.  Maka kita boleh berjual beli dengan mereka, bekerjasama dalam bisnis, memberikan mereka hadiah, menengok mereka saat sakit dan sebagainya.  Namun bila ada larangan, kita tunduk meninggalkannya seperti menikahkan wanita muslim dengan nonmuslim, memilih mereka sebagai pemimpin, turut serta dalam acara keagamaan mereka, dan sebagainya.

Dari masa Rasulullah saw, masa khalifah setelahnya sampai masa sebelum dimassifkannya paham Islam moderat, toleransi ini tidak pernah menjadi persoalan besar.  Jika Islam intoleran, boleh jadi agama-agama lain musnah tak bersisa saat ini.

Maka tak perlu mengajari umat Islam dengan toleransi.  Tak perlu alergi dengan kata kafir.  Dan tak perlu stigma radikal.  Biarkan umat Islam memahami agamanya sesuai dengan apa yang diajarkan Allah SWT dan Rasulullah saw  dalam  Alquran dan Assunnah, maka mereka akan menjadi muslim dan mukmin yang baik, rahmatan lil’alamin.

1https://regional.kompas.com/read/2020/01/14/15125081/pembina-pramuka-ajarkan-yel-yel-bernada-sara-mahfud-mdpembinaan-dulu-jangan

2https://regional.kompas.com/read/2020/01/14/16571401/pembina-pramuka-ajarkan-siswa-sd-yel-yel-bernada-sara-gus-mus-itu-bodoh-dan?page=2.

3https://regional.kompas.com/read/2020/01/14/17442791/pembina-pramuka-ajarkan-siswa-sd-yogyakarta-yel-yel-berbau-sara-sri-sultan?page=2

4https://www.eramuslim.com/berita/nasional/mahfud-md-dibantah-mui-anda-kok-dangkal-yel-yel-anak-paud-islam-yes-kafir-no-bukan-menolak-agama-lain.htm#.XiZiOcgzY2w

5https://nasional.republika.co.id/berita/q0thh4320/3-pengertian-radikal-menurut-menkopolhukam-apa-saja

6Hamka, 1988. Tafsir Al Azhar Juzu’XXX hal.226. Pustaka Panjimas, Jakarta.

7Tafsir Jalalain Jilid 4 hal 2763, 1990.  Sinar Baru, Bandung.

8 Imam Al Qurthubi, al-Mufhim limâ min Talkhîsh Kitâb Muslim, I/291-291.

9Imam an Nawawi, Raudhah al-Thâlibin wa Umdah al-Muftîn, III/444.