Oleh: Arini Retnaningsih
Dari ‘Aisyah radhiyallahu‘anha, beliau berkata:
أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
“Asma’ binti Abu Bakar pernah menemui Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam dengan memakai pakaian yang tipis. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpaling darinya dan bersabda, “wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu jika sudah haidh (sudah baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya, kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya.”” (HR. Abu Daud 4140, dalam al-Irwa [6/203] al-Albani berkata: “Hasan dengan keseluruhan jalannya”)
Hadis dari Aisyah ra ini adalah hadis yang paling tepat dalam menjelaskan batasan aurat perempuan di hadapan laki-laki bukan mahram. Hadis ini merupakan penjelasan dari maa zhahara minha (apa yang biasa tampak) yang terdapat dalam QS.An Nuur: 31 :
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak darinya…”
Dari hadits ini, Imam Az Zarqaani berkata,
وعورة الحرة مع رجل أجنبي مسلم غير الوجه والكفين من جميع جسدها
“Aurat wanita di depan lelaki muslim ajnabi adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan” (Syarh Mukhtashar Khalil, 176).
Asy Syaranbalali berkata:
وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها باطنهما وظاهرهما في الأصح ، وهو المختار
“Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam serta telapak tangan luar, ini pendapat yang lebih shahih dan merupakan pilihan madzhab kami“ (Matan Nuurul Iidhah).
Muhammad Al Khotib -ulama Syafi’iyah, penyusun kitab Al Iqna’– menyatakan bahwa aurat wanita -merdeka- adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya (termasuk bagian punggung dan bagian telapak tangan hingga pergelangan tangan) (Lihat Al Iqna’, 1: 221).
Asy Syarbini berkata, “Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Termasuk telapak tangan adalah bagian punggung dan dalam telapak tangan, dari ujung jari hingga pergelangan tangan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (QS. An Nur: 31). Yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan, inilah tafsiran dari Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah.” (Mughnil Muhtaj, 1: 286).
Adapun menggunakan kain yang tipis sebagai penutup aurat seperti yang dikenakan Asma’ dalam hadis ini, hukumnya terlarang karena dipahami tidak mampu menutup aurat dengan sempurna. Hal ini perkuat dengan apa yang diriwayatkan Usamah bin Zaid berikut ini :
Rasulullah memberiku pakaian “qubthiyah” (pakaian buatan Mesir), lalu aku berikan kepada istriku. Maka Rasulullah bertanya kepadaku: “Kenapa engkau tidak memakai qubthiyah?” Aku menjawab: Ya Rasulullah pakaian itu telah kuberikan kepada istriku. Lalu Rasulullah bersabda: “Perintahkan kepadanya untuk melapisinya dengan pakaian dalam, aku khawatir pakaian itu akan menampakan bentuk tubuhnya”(HR. Ahmad dan al-Baihaqi, hasan)
Saat ini banyak muslimah yang tidak memahami batasan menutup aurat dengan benar. Mereka terkadang masih mengenakan mukena tipis untuk shalat dengan alasan tidak gerah. Atau mengenakan kerudung tipis untuk keluar rumah yang masih menampakkan rambut atau lehernya. Padahal, mengenakan pakaian tipis atau pakaian yang ketat tidak dianggap sebagai menutup aurat, bahkan dikatakan sebagai berpakaian tetapi telanjang seperti hadis berikut :
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)
Sekalipun batasan menutup aurat sudah jelas, namun masih ada pihak-pihak yang berupaya untuk mencari-cari dalih membantahnya. Ada yang mengatakan bahwa hadis Aisyah di atas adalah hadis dhaif yang tidak bisa dijadikan dalil (lihat KH Husein Muhammad, Fiqh Perempuan ; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, 2001, hal 77) Boleh jadi memang ada satu jalur periwayatan dari hadis ini yang dhaif, tetapi untuk melihat kehujahan suatu hadis, kita tidak hanya melihat dari satu jalur saja, melainkan dari dari semua jalur. Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadis ini hasan dari seluruh jalur periwayatan (Al Albani, Ar-Raddul Mufhim, Hal. 79-102), sehingga masih layak dijadikan sebagai dalil.
Selain itu, Husein Muhammad yang bergelar kyai gender ini juga memutarbalikkan makna aurat. Karena aurat diartikan para ulama sebagai sesuatu yang membuat malu dan tercela ketika tampak, maka ia menafsirkan makna aurat ini sebagai terminologi sosial budaya, bukan agama, yang sifatnya relatif, berbeda dari satu tempat dengan tempat lain (Fiqh Perempuan ; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, 2001, hal 85).
Padahal, dalam pembahasan hukum syara’, yang menjadi standar tercela dan terpuji seharusnya adalah apa yang Allah mencela atau memujinya. Bila standar ini diserahkan pada manusia, seperti yang terjadi dalam sistem sekuler, memang akan menghasilkan relatifitas hukum. Karena itu, ukuran aurat mesti dikembalikan pada dalil-dalil yang mu’tabar, bukan pendapat manusia.