Oleh : Najmah Saiidah
Maqashid asy-syari‘ah atau tujuan-tujuan syari’ah merupakan istilah yang digagas oleh Imam Asy-Syatibi. Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal, Al-Muwafaqat fî Ushul al-Ahkam. Menurut Asy-Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba, baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan inilah, dalam pandangan beliau, menjadi maqashid asy-syari‘ah. Dengan kata lain, penetapan syariah—baik secara keseluruhan maupun secara rinci —didasarkan pada pada suatu ‘illat (motif/ pembangkit hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, II/2-3). Pendapat ini yang dikritik oleh Syekh Taqiyyuddin, dengan argumentasi yang kuat.
Di ‘masa kekinian’, konsep maqashid asy-syari‘ah banyak dibelokkan untuk melegitimasi ide-ide Barat sekular, bukan untuk menerapkan syariat seperti digagas Asy-Syatibi itu sendiri. Contohnya, tujuan menjaga agama sebagai “perlindungan terhadap kebebasan beragama, tujuan menjaga akal diinterpretasikan sebagai “perlindungan terhadap kebebasan berpikir. Konsep maqashid asy-syari‘ah dijadikan instrumen untuk menyusupkan ide-ide liberal. Inilah yang harus diluruskan. Apa sesungguhnya maqoshid asy-Syari’ah, apa cakupan atau bentuknya serta apa fungsinya. Inilah yang akan kita bahas.
Maqâshid asy-Syar’iy (Tujuan Penerapan Syari’at Islam)
Sebelum membahasnya, kita akan dalami tentang kaitan syariat dan maslahat terlebih dahulu. Apakah hukum-hukum syariah itu didasarkan pada ‘illat untuk mewujudkan kemaslahatan manusia ? Pendapat yang terkuat adalah apa yang disampaikan ulama Asy‘ariyah dan Azh-Zhahiriyah, bahwa mashlahat bukanlah ‘illat penetapan suatu hukum syariat. Mungkin saja Allah menetapkan suatu hukum syariat yang tidak mengandung maslahat. Hanya saja, mereka mengakui, bahwa studi yang komprehensif menetapkan bahwa seluruh hukum syariat bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dalam lima perkara: menjaga agama, akal, keturunan, jiwa, dan harta (Muhammad Husain Abdillah dalam Al-Wadhih fi Ushul Fiqh 1995: 273). Secara garis besar dapat dikatakan bahwa pendapat Taqiyuddin an-Nabhani mengenai kaitan maslahat dan syariat sama dengan pendapat ini, yakni syariat tidak didasarkan pada ‘illat maslahat.
Terkait maqashid asy-syari‘ah, Taqiyuddin an-Nabhani, dalam kitab Syakhshiyyah Islamiyyah jilid 3 halaman 359 & 363, memerinci menjadi 4 prinsip : Prinsip pertama, maslahat merupakan hikmah (akibat) penerapan syariat, bukan ‘illat penetapan syariat. An-Nabhani mengakui adanya hubungan maslahat dengan syariat. Hal ini beliau pahami dari nash-nash al-Quran yang menyatakan bahwa diutusnya Nabi SAW adalah untuk membawa rahmat, yaitu maslahat, misalnya dalam QS Al-Isra: 82 dan QS al-Anbiya’: 107. Namun demikian, beliau hati-hati menekankan berulang-ulang, bahwa maslahat itu bukanlah ‘illat atau pembangkit penetapan syariat, melainkan hikmah, hasil, tujuan, atau akibat dari penerapan syariat. Dari sini nampak perbedaanya dengan pendapat Asy Syatibi. Karena menurut An-Nabhani, nash ayat-ayat yang ada jika dilihat dari segi bentuknya (shighat) tidaklah menunjukkan adanya ‘illat, namun hanya menunjukkan adanya sifat rahmat (maslahat) sebagai hasil penerapan syariat. Adanya rahmat (maslahat) merupakan hasil pelaksanaan syariat, bukan ‘illat dari penetapan syariat (An-Nabhani, 1953: 359-360).
Prinsip kedua, maqashid asy-syari‘ah adalah tujuan dari syariat secara keseluruhan bukan tujuan syariat sebagai satu persatu hukum. Artinya, terwujudnya kemaslahatan merupakan hasil penerapan syariat secara keseluruhan, bukan hasil penerapan masing-masing hukum. Pandangan ini juga berbeda dengan pandangan Asy-Syatibi yang berpendapat bahwa kemaslahatan adalah ‘illat bagi syariat, baik secara keseluruhan maupun satu demi satu hukum (Al-Muwâfaqât, II/3). Konsep An-Nabhani tersebut didasarkan pada pemahamannya terhadap QS Al-Anbiya’ : 107, yang dengan jelas menunjukkan bahwa rahmat (maslahat) yang dihasilkan adalah dari keseluruhan risalah. Tidak ada penunjukkan apa pun dari ayat tersebut atau ayat lainnya (misal QS Al-Isra’ : 82) bahwa maslahat merupakan tujuan masing-masing hukum (An-Nabhani, 1953: 359-361).
Karena itu, An-Nabhani mengatakan, akan kita dapati ketika Allah menerangkan maqashid asy-syari‘ah dari syariah sebagai keseluruhan, Allah juga menerangkan tujuan dari masing-masing hukum pada banyak hukum, yang bersifat khusus, yang hanya bisa diketahui melalui dalil topik yang bersangkutan. Misalnya, tujuan pensyariatan haji adalah agar manusia menyaksikan manfaat-manfaat bagi mereka (QS al-Hajj : 28), tujuan shalat adalah mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar (QS al-Ankabut : 45), dan seterusnya. Dari sini, jelaslah bahwa dihasilkannya maslahat hanya dihasilkan dari syariat secara keseluruhan, bukan syariat sebagai satu demi satu hukum.
Prinsip ketiga, bahwa hikmah (akibat) penerapan syariat kadang terwujud dan kadang tidak terwujud. Jadi, ketika Allah menerangkan bahwa tujuan pensyariatan suatu hukum adalah begini, maksudnya Allah memberitahukan bahwa hikmahnya begini. Tidak berarti Allah mengatakan tujuannya pasti terwujud begini. Misalnya, menyaksikan manfaat adalah hikmah ibadah haji (QS al-Hajj [22]: 28). Namun kenyataannya, jutaan orang berhaji tidak menyaksikan manfaat bagi mereka. Prinsip ketiga ini mengandung maksud, bahwa tujuan-tujuan hukum ini tidak boleh dijadikan sebagai ‘illat. Kalau dijadikan ‘illat, maka kewajiban haji akan bergantung pada ada-tidaknya manfaat yang diperoleh jamaah haji. Jika ada manfaatnya, haji hukumnya wajib, dan jika tak ada haji menjadi tidak wajib. Tentu ini tidak benar. (An-Nabhani, 1953: 365).
Prinsip keempat, bahwa hikmah dari penerapan syariat hanya diketahui berdasarkan nash syariat, bukan berdasarkan akal. Sebab, yang menetapkan syariat adalah Allah sehingga hanya Allah saja yang mengetahui tujuan pensyariatannya,melalui nash, baik dari al-Quran maupun as-Sunnah (An-Nabhani, 1953: 366). Jadi, tepat jika kita mengatakan bahwa hikmah puasa adalah untuk membentuk ketakwaan, sebab ini ditunjukkan oleh nash (QS al-Baqarah : 183). Namun tidak tepat jika dikatakan, hikmah puasa adalah agar kita bisa turut menghayati kehidupan kaum miskin yang sering kelaparan, karena ini hanya perkiraan akal, tidak ada nash yang menunjukkannya.
Tujuan Penerapan Syari’at Islam
Muhammad Husain Abdullah, dalam kitabnya Dirasat fil Fikri al Islami, 1990, hlm. 61, menyatakan paling tidak ada 8 aspek dalam kehidupan luhur masyarakat manusia yang dipelihara dalam penerapan syari’at Islam, yaitu :
1. Memelihara keturunan, yaitu dengan mensyariatkan nikah dan mengharamkan perzinaan, serta menetapkan berbagai sanksi hukum terhadap para pelaku perzinaan itu, baik hukum jilid maupun rajam. Dengan itu, kesucian dan kebersihan serta kejelasan keturunan terjaga (TQS an-Nisa’: 1; TQS ar-Rum: 21; TQS an-Nur: 2).
2. Memelihara akal, yaitu dengan mencegah dan melarang tegas segala perkara yang merusak akal seperti minuman keras, narkoba, serta menetapkan sanksi hukum terhadap pelakunya. Disamping itu, Islam juga mendorong untuk menuntut ilmu, ijtihad dan berbagai perkara yang bisa mengembangkan potensi akal manusia dan memuji eksistensi orang berilmu ( TQS al-Maidah: 90-91; TQS az-Zumar: 9; TQS al- Mujadilah: 11 ).
3. Memelihara kehormatan, yaitui dengan melarang orang menuduh zina, mengolok, menggibah, melakukan tindakan mata-mata, dan menetapkan sanksi-saksi hukum bagi para pelakunya. (TQS an-Nur: 4; TQS al-Hujurat: 10-12). Selain itu, Islam mendorong manusia untuk menolong orang yang terkena musibah dan memuliakan tamu.
4. Memelihara jiwa manusia, yaitu dengan menetapkan sanksi hukuman mati bagi orang yang telah membunuh tanpa hak, dan menjadikan hikmah dari hukuman itu (qishash) adalah untuk memelihara kehidupan (TQS al-Baqarah: 179). Kalaupun tidak dikenai hukum Qishash, yang berlaku adalah hukum diyat, dimana pihak keluarga pembunuh harus membayar 1000 dinar (4250 gram emas) atau 100 ekor onta atau 200 ekor sapi (Abdurrahman Al Maliki, Nizham Uqubat,Dâr al-Ummah, hlm. 87 – 121). Dengan syariat Islam, jiwa setiap orang terjaga.
5. Memelihara harta, yaitu dengan menetapkan sanksi hukum terhadap tindakan pencurian dengan hukuman potong tangan yang akan mencegah manusia dari tindakan menjarah harta orang lain. Islam juga mencabut hak mengelola harta bagi orang-orang ‘bodoh’, dengan menetapkan wali yang akan memelihara harta yang bersangkutan (TQS an-Nisa 5; TQS al-Baqarah: 282)
6. Memelihara agama, yaitu dengan melarang murtad serta menetapkan sanksi hukuman mati bagi pelakunya jika tidak mau bertobat kembali kepangkuan Islam (TQS al-Baqarah: 217 dan Hadis Nabi). Sekalipun demikian, Islam tidak memaksa orang untuk masuk Islam (al-Baqarah: 256). Melalui hukum syariat, kaum muslim terjamin untuk melaksanakan ajaran agamanya. Demikian pula orang non-muslim bebas untuk menjalankan agamanya tanpa ada paksaan dari siapapun. Negara menjaminnya, masyarakat Islam memberikannya hak.
7. Memelihara keamanan, yaitu dengan menetapkan hukuman berat sekali bagi mereka yang mengganggu keamanan masyarakat, misalnya dengan memberikan sanksi hukum potong tangan plus kaki secara silang serta hukuman mati dan disalib bagi para pembegal jalanan (TQS al-Maidah: 33). Hukum syariat demikian diberikan kepada semua warga negara, baik muslim atau non-muslim tanpa diskriminatif.
8. Memelihara negara, yaitu dengan menjaga kesatuannya dan melarang orang atau kelompok melakukan pemberontakan (bughat) dengan mengangkat senjata melawan negara (TQS al-Maidah: 33). Juga hadits Nabi Muhammad saw: “Siapa yang datang kepada kalian dimana urusan pemerintah kalian di tangan seorang amir, lalu dia berusaha memecah belah jama’ah kalian, maka potonglah leher orang itu” (An Nabhani, Nizhomul Hukmi fil Islam). Paradigma dasarnya Islam hendak menyatukan seluruh umat manusia, bukan memecah-belahnya.
Demikianlah pembahasan mengenai Maqashid asy-Syari’ah, bahwa ia adalah tujuan, hasil atau hikmah dari dilaksanakannya syariat. Maqashid asy-Syari’ah bukanlah dalil syariah, yang tidak bisa digunakan untuk menarik kesimpulan hukum, layaknya dalil. Wallahu a’lam bishshawwab.