Man Huwa Al-Haakim ?

Oleh :  Najmah Saiidah

Belum lama  ini, Konferensi Internasional Al-Azhar tentang Pembaruan Pemikiran Islam digelar di Gedung Pusat Konferensi Al-Azhar, Nasr City, Kairo, Mesir.  Konferensi tersebut menghasilkan 29 rumusan terkait pembaharuan pemikiran Islam,  yang dibacakan oleh pemimpin tertinggi Al-Azhar, Grand Syeikh Prof Dr Ahmed Thayyib pada penutupan konferensi.  Jika kita mencermati rumusan-rumusan tersebut, banyak yang harus kita kritisi.  Mengapa ? Karena tidak sesuai dengan tuntunan Islam.

Termasuk poin ke 6 dari rumusan tersebut, yang berbunyi :  Konsep Haakimiyyah menurut kelompok-kelompok ekstrem adalah bahwa kewenangan untuk memutuskan hukum hanya milik Allah. Siapa yang memutuskan hukum berarti telah menyaingi Allah dalam wewenang ketuhanan-Nya yang paling khusus. Siapa yang menyaingi Allah berarti telah kufur, halal darahnya, karena telah menyaingi Allah dalam sifat-Nya yang paling khusus. Tentu saja ini merupakan penyimpangan yang terang benderang terhadap teks-teks keagamaan yang tersebut dalam Al-Qur’an dan Sunah yang menguraikan secara gamblang adanya penyerahan wewenang penetapan hukum kepada manusia. Semua keputusan Ahlul halli wal aqdi (pembuat keputusan dan kebijakan) dianggap sebagai ijtihad yang bermuara pada hukum Allah. Ibnu Hazm pernah berkata, “Di antara ketetapan hukum Allah adalah menyerahkan wewenang penetapan hukum kepada selain Allah.” Hal itu seperti tersebut dalam firman Allah Swt., “Maka kirimlah seorang hakim (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakim (juru damai) dari keluarga perempuan.” (An-Nisa’/4:35). Demikian juga firman Allah yang artinya, “…. Menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu.” (Al-Ma’idah/5:95).  Dengan demikian, pandangan masyarakat tentang konsep haakimiyyah harus diluruskan dengan cara menyebarkan akidah Ahlussunnah wal Jamaah dan penjelasan bahwa putusan hukum yang diambil oleh seorang manusia yang patuh terhadap prinsip-prinsip agama tidak bertentangan dengan hukum Allah, bahkan termasuk bagian dari hukum Allah. https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2020/02/04/177353/hasil-rumusan-lengkap-konferensi-internasional-al-azhar.html

          Kita bisa simpulkan dari rumusan ke 6, bahwa kewenangan memutuskan hukum bukan hanya milik Allah.  Dalam pandangan mereka bahwa manusia yang patuh terhadap prinsip-prinsip agama berhak menjadi pemutus hukum dengan cara berijtihad.  Mereka menyandarkannya kepada al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 35 dan Al-Maaidah ayat 95. Ini semua bermuara pada satu titik, yaitu siapa sesungguhnya Al-Haakim ?

Makna Al-Haakim

          Al-Haakim atau dalam catatan hasil konferensi disebut dengan konsep haakimiyyah, sesungguhnya yang dimaksud adalah siapa yang berhak membuat hukum.  Syekh Taqiyyuddin An-Nabhani dalam kitab Ash-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah jilid 3 hal. 14 menjelaskan bahwa al-Haakim adalah man yamliku ishdaral hukmi, bisa diartikan siapakah sumber yang berhak mengeluarkan hukum.   Al-Haakim dalam konteks ini bukanlah pemegang kekuasaan yang akan menerapkan segala hal dengan kekuasaan yang ada ditangannya, melainkan sumber yang berhak mengeluarkan hukum atas perbuatan (al-af’al) dan benda (al-asyya’). Karena yang ada di muka bumi ini tidak lain selain dua hal di atas, yakni benda atau perbuatan.

Oleh karena manusia telah menjadi objek pembahasan di dunia ini, maka keluarnya hukum itu tidak akan terlepas dari dan dalam rangka mengatur manusia. Dengan demikian, harus ada hukum yang mengatur perbuatan manusia dan benda yang mempunyai kaitan dengan perbuatannya. Lalu, siapakah berhak mengeluarkan hukum tersebut, syara’ atau akal, manusia ataukah Allah? 

Man Huwa Al-Haakim ?

An Nabhani menjelaskan bahwa jawaban atas pertanyaan di atas sebenarnya tidak terlepas dari perdebatan mengenai al-hasan (terpuji) dan al-qabîh (tercela). Alasannya, karena pembahasan mengenai keluarnya hukum esensinya merupakan pembahasan mengenai sikap manusia untuk menentukan perbuatan; apakah harus dilaksanakan, ditinggalkan atau dipilih.  Pada waktu yang sama sikap manusia terhadap perbuatan tersebut ditentukan oleh pandangannya mengenai sesuatu, apakah al-hasan  dan al-qabiih, ataukah tidak al-hasan  dan al-qabiih. Dengan kata lain, pembahasan mengenai zat yang berhak mengeluarkan hukum ini sebenarnya merupakan pembahasan tentang tahsiin (penentuan terpuji) dan taqbiih (penentuan tercela).

Ustadz ‘Atha’ bin Khalil, dalam bukunya Taisir Al-wushulu ilal ushul, menyatakan penetapan terhadap sesuatu bisa ditinjau dari 3 aspek, yaitu dari pertama : aspek fakta, apakah sesuatu itu ? Kedua, kesesuaiannya dengan tabiat manusia dan ketiga, aspek pahala siksa atau dari aspek terpuji dan tercela.  Aspek pertama dan kedua penetapannya bisa diserahkan kepada manusia, contohnya :  manusia bisa menentukan bahwa menyelamatkan seseorang adalah baik, memiliki ilmu adalah baik. Sedangkan yang ketiga penetapannya hanya bisa diserahkan pada Allah SWT, yakni Syaari’ … Sang Pembuat hukum.  Hal ini menguatkan pendapat Syekh An-Nabhani dalam kitab Syakshiyyah 3 hal 15  :  Adapun penetapan terhadap perbuatan dan sesuatu yang berkaitan dengan aspek pujian dan celaan, pahala dan siksa di akhirat, maka tidak ada keraguan bahwa hanya Allah saja yang berhak, bukan insaan, dengan kata lain syara’ saja bukan akal.  Yang demikian itu  seperti iman itu baik, kufur itu buruk atau ta’at itu baik, maksiat itu buruk. Akal tidak akan mampu mengeluarkan hukum atau keputusan terkait sesuatu yang tidak bisa diindra, seperti petunjuk, kesesatan, halal, haram, maksiat, ta’at dan sebagainya. 

Di bagian akhir pembahasan, syekh An-Nabhani menyimpulkan bahwa : Keputusan terhadap perbuatan dan sesuatu dengan terpuji dan tercela yang ia menentukan sikap manusia. Terkait benda apakah boleh (mubah) diambil ataukah haram,  dan berkaitan dengan perbuatan, apakah di dalamnya terkandung tuntutan untuk melaksanakan (wajib dan sunnah) atau tuntutan meninggalkannya (haram dan makruh) atau pilihan (mubah), maka tidaklah mungkin kecuali  disandarkan kepada syara’.  Karenanya wajib menjadikan syara’ saja satu-satunya sebagai pemutus bagi perbuatan hamba dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya bukan akal. (Asy-Syakshiyyah Al-Islamiyyah 3 hal 17-18).   Hal ini diperkuat dengan nash :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيم

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QS An-Nisaa : 65)

Dan sabda Rasulullah saw :

“Demi jiwaku yang ada dalam genggaman-Nya, tidak sempurna iman seorang dari kalian, sampai aku menjadi orang yang lebih dia cintai dari dirinya, hartanya, anaknya, bahkan seluruh manusia.” (HR. Bukhari)

          Telah sangat gamblang bahwa yang dimaksud dengan al-Haakim adalah pemutus atau pembuat hukum. Dan siapakah yang berhak menjadi al-Haakim adalah Allah SWT, bukan manusia, seorang mujtahid sekalipun.  Karena ijtihad menurut pendapat ahli ushul adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam rangka memperoleh  hukum syara’ yang bersifat zhonniy, sehingga ia tidak mampu lagi untuk berbuat lebih dari itu.  (Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah jilid 1, Syekh Taqiyyuddin An-Nabhani).  Bisa disimpulkan bahwa ijtihad adalah upaya maksimal untuk memahami hukum syara’, apa yang dimaksud dengan ayat tertentu atau hadits,  bukan membuat hukum syara’.  Sehingga tidak tepat jika al-Haakim dinisbahkan kepada mujtahid ataupun ahlul halli wal aqdi. 

          Tinggal tersisa satu permasalahan lagi, yaitu terkait dengan nash yang dijadikan rujukan atas klaim mereka, yaitu QS An-Nisaa : 35 dan QS Al-Maaidah : 95.

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki & seorang hakam dari keluarga perempuan.(QS An-Nisaa: 35)

 Ibnu Katsir menafsirkan bahwa jika perselisihan antara suami dan istri tidak juga bisa diakhiri, dan semakin mengkhawatirkan, maka utuslah seorang penengah yang terpercaya dari keluarga istri dan seorang penengah yang terpercaya dari keluarga suami agar keduanya bermusyawarah dan membicarakannya, serta menentukan tindakan yang dipandang oleh keduanya akan bermaslahat, apakah itu perceraian ataukah rujuk  (Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir).  Sedangkan tafsir Jalalain menjelaskan, makna hakaman adalah seorang penengah, yaitu seorang laki-laki yang adil.  Jadi yang dimaksud dengan hakaman di sini adalah penengah yang terpercaya yang bisa mendamaikan pasangan suami istri yang sedang berselisih.  Dari penjelasan ini jelas tidak tepat, jika hakaman dalam ayat ini dimaknai sebagai Al-Haakim.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ ۚ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu” (QS Al-Maaidah : 95)

          Ibnu Katsir menjelaskan yahkumu bihi dzawaa ‘adlin minkum (menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu).  Yakni dalam menentukan denda pada binatang yang ada bandingannya atau dengan harganya,  Bila tidak ada, maka harus diputuskan oleh 2 orang yang ahli dan adil dari kalangan kaum muslimin.  Maka jelas, ini tidak berkaitan dengan Al-Haakim, tapi ini berkaitan dengan tathbiq ahkam atau ijtihad jika tidak ada bandingannya (analoginya) terkait denda yang harus ditunaikan.

Khatimah

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa yang dimaksud Al-Haakim yaitu yang berhak membuat aturan atau hukum, hanyalah Allah semata.  Akal manusia dalam hal ini hanya berfungsi untuk memahami hukum-hukum Allah.  Ijtihad, diakui keberadaannya bahkan merupakan hal yang dibutuhkan saat ini, akan tetapi posisinya bukan sebagai pemutus suatu hukum, tapi merupakan upaya maksimal seorang mujtahid untuk memahami hukum yang telah ditetapkan Allah, sehingga hukum tersebut bisa ditunaikan oleh manusia sebagai upaya untuk menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan.  Wallahu a’lam bishshawwab.