Menolak Moderasi Makna Jihad : Jangan Samakan Jihad Dengan Terorisme

Oleh: Arini Retnaningsih

Di awal tahun 2020, Universitas Al-Azhar mengadakan muktamar tentang pembaharuan pemikiran Islam. Muktamar ini menghasilkan banyak keputusan, salah satunya keputusan tentang Jihad. Hasil muktamar ini menyatakan Jihad dalam Islam tidak identik dengan perang. Peperangan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya adalah salah satu jenis jihad. Perang itu bertujuan untuk menolak serangan yang dilancarkan para agresor terhadap kaum Muslim, bukan untuk membunuhi orang-orang yang berbeda agama sebagaimana anggapan kaum ekstremis. Ketentuan agama yang tetap dalam Islam adalah haram hukumnya mengganggu orang-orang yang berbeda agama dan memeranginya selama mereka tidak memerangi kaum Muslim.

Apa yang diputuskan muktamar ini lantas menjadi pembenaran bagi para pengusung ide Islam moderat untuk menafsirkan ulang makna jihad dengan dalih moderasi.  Perhatikan tulisan Khalwani Ahmad (https://harakatuna.com/jihadku-jihadmu-adalah-jihad-kita.html), yang menyatakan jihad dalam artian perang tidak cocok lagi untuk diterapkan di era modern seperti ini. Menurutnya jihad adalah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memajukan dan menyebarkan agama Islam. Dengan pemahaman yang demikian penulis berharap jihad bisa dilakukan dengan berbagai cara dan bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa menimbulkan perang dan kegaduhan.

Dari apa yang dibahas tentang jihad ini, kita bisa menangkap adanya upaya untuk memperbaharui makna jihad, yang bertolak dari ketakutan ketika jihad diartikan perang maka akan memunculkan terorisme.  Sayangnya pembaharuan ini justru menyelewengkan makna jihad, bukan meluruskannya.  Semestinya, bila kita memahami konsep jihad yang lurus, tanpa perlu menyimpangkannya pun kita akan dapati bahwa jihad tidak akan membawa pada kezhaliman, apalagi terorisme.  Dengan demikian patut kita analisis bahwa ada agenda tersembunyi di balik upaya pembaharuan jihad.

Memahami Makna Syari’i Jihad

Memang benar bahwa makna bahasa dari jihad adalah bersungguh-sungguh.  Namun bila lantas karena itu jihad diartikan sebagai berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memajukan dan menyebarkan agama Islam, sama sekali tidak tepat. 

Hal ini terkait dengan kaidah pengambilan makna lafazh dalam Islam.  Muhammad Husain Abdullah dalam kitabnya Mafahim Islamiyah (2002, Al Izzah Bangil) menjelaskan bahwa untuk menentukan makna lafazh maka yang harus diteliti pertama kali adalah makna syara’, kalau ada maka yang diambil adalah makna syara’nya.  Bila tidak ada maka dibawa ke makna istilah, dan bila tidak ada baru mengambil makna bahasanya.

Bila kita kaji dari nash-nash jihad, baik dari Alquran maupun sunnah, tampak bahwa syara’ telah menanggalkan jihad dari makna bahasanya.  Syara’ menggunakan kata jihad dengan makna qital (perang) dan apa saja yang terkait dengannya, dan tidak ada kata jihad di dalam Alquran yang bermakna selain qital.  Dengan demikian, istilah jihad merupakan lafazh yang memiliki makna syar’i, sehingga makna inilah yang harus kita ambil, bukan makna bahasanya.

Imam Taqyuddin An Nabhani dalam kita Asy-Syakhshiyyah Islamiyyah Jilid 2, menjelaskan definisi jihad sebagai mencurahkan kemampuan untuk berperang di jalan Allah secara langsung, atau dengan bantuan harta, pemikiran, memperbanyak perbekalan dan lain sebagainya. 

Imam Ibnul Atsir menyatakan :“Jihad adalah memerangi orang kafir, yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh mencurahkan kekuatan dan kemampuan, baik berupa perkataan atau perbuatan.”( An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (I/319), karya Ibnul Atsir).  Menurut al-Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani rahimahullah (wafat th. 852 H), “Jihad menurut syar’i adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir.”(Fat-hul Baari (VI/3), cet. Daarul Fikr).

Makna syar’i dari jihad ini diambil dari Alquran dan Assunnah.  Di antaranya firman Allah SWT berikut :

انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [At-Taubah/9: 41]

وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ ۚ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ 

Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (QS. Al Hajj : 78).

Dan sabda Nabi saw :

Wajib atas kalian berjihad di jalan Allah Tabaaraka wa Taala, karena sesungguhnya jihad di jalan Allah itu merupakan salah satu pintu dari pintu-pintu Surga, Allah akan menghilangkan dengannya dari kesedihan dan kesusahan.” (HR Al-Hakim dan Ahmad)

Makna jihad dalam nash-nash di atas, dilihat dari asbabun nuzulnya dan penafsiran para mufasir yang mu’tabar, berekuivalen dengan qital seperti yang Allah firmankan :

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”(QS. At Taubah: 29)

Makna syar’i jihad, yaitu berperang di jalan Allah inilah yang menggentarkan musuh-musuh Islam. Sepanjang sejarahnya, jihad mampu menekuk lutut orang-orang kafir.  Mereka memahami, untuk bisa mengalahkan umat Islam, jihad harus disingkirkan dari benak umat.  Namun hal ini tidak mungkin mereka lakukan karena jihad adalah bagian dari syariat, jelas tercantum dalam Alquran dan Assunnah.  Karena itu mereka mengambil cara mengubah harimau menjadi kucing, yaitu dengan mengubah pemahaman umat tentang jihad, memalingkannya dari makna perang menjadi makna yang lebih “jinak”.

Moderasi Makna Jihad

Untuk bisa mereduksi pemahaman jihad, musuh Islam mengambil cara yang dianggap paling jitu, yaitu dengan menggunakan tangan para tokoh ulama umat Islam sendiri untuk mengubahnya.  Mereka tinggal melempar isu terorisme, yang diawali dengan kasus pemboman WTC dan berbagai bom bunuh diri lainnya, yang mengatasnamakan jihad.  Secara otomatis muncul ketakutan di kalangan umat Islam sendiri terhadap jihad, dan selanjutnya muncul reaksi apologis dari para pemikir dan ulama Islam yang telah disetting sedemikian rupa, yang menyatakan bahwa jihad bukanlah perang.

Sangat disayangkan, para ulama Islam telah terkooptasi dengan berbagai kepentingan politik, ikut serta memburu rente para penguasa.  Mudah saja mereka memojokkan ajaran Islam yang tentu mereka tahu merupakan aturan Allah.  Dengan pemahaman Islam yang dangkal, mereka berkoar-koar bahwa ajaran jihad bila diartikan perang akan berbahaya bagi kedamaian dunia.  Orang-orang non muslim akan dibantai, gereja dirobohkan, pura dan wihara dihancurkan.  Maka mereka simpulkan bahwa memaknai jihad adalah perang sama sekali tidak relevan lagi dengan zaman.

Para ulama yang berpendapat semacam ini, boleh jadi tidak menyadari agenda Barat yang licik meminjam tangannya untuk menghancurkan Islam.  jihad, bila maknanya dibelokkan, akan berakibat pada tumpulnya semangat kaum muslimin untuk mempertahankan kemuliaan dan kelangsungan kehidupan Islam.  Umat akan kehilangan kekuatannya dan tunduk terhina di hadapan musuh-musuhnya, yang leluasa mengambil kekayaan alamnya, memeras tenaganya, menguras uangnya dan mencabik-cabik negaranya.

Hukum Jihad

Jihad ada dua macam, yakni yang bersifat ofensif dan defensif.  Jihad ofensif adalah jihad yang bersifat menyerang, menaklukkan negeri-negeri yang menolak untuk menerapkan sistem Islam.  Jihad ini dilakukan setelah negeri-negeri tersebut diberikan pilihan seperti yang ditetapkan Rasulullah saw, yaitu ditawarkan Islam, jika menolak masuk Islam, ditawarkan untuk bergabung dengan Daulah Islam, jika bersedia mereka akan mendapat hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslimin  serta diminta membayar jizyah.  Yang menerima salah satu dari opsi ini tidak akan diperangi, namun jika menolak juga, maka baru akan dilancarkan perang kepada mereka.

Dengan demikian jihad ofensif ini adalah bagian dari pengembanan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.  Karena dakwah merupakan salah satu tujuan dari didirikannya khilafah, selain  menegakkan syariat Allah, maka dalam pelaksanaannya jihad ofensif ini harus dipimpin oleh khalifah.  Jika belum tegak kekhilafahan seperti saat ini, jihad ofensif tidak dapat dilaksanakan.  Jadi jihad ofensif adalah salah satu thariqah (metode) dalam mengemban dakwah yang dijalankan khalifah setelah berdirinya kekhilafahan, bukan merupakan thariqah untuk mendirikan khilafah.

Jihad ofensif ini contohnya serangan pasukan yang dipimpin Rasulullah saw ke Hunain dan Tabuk.  Di masa para khalifah jihad ini terus dilaksanakan sehingga berhasil menaklukkan Persia, Syam, Mesir, bahkan mencapai Andalusia dan Semenanjung Balkan. 

Hukum asal dari jihad yang bersifat ofensif adalah fardhu kifayah.  Artinya jika sebagian kaum muslimin telah melaksanakannya sehingga tuntutan syara’ dapat diwujudkan, maka kaum muslimin yang lain terbebas dari kewajiban tersebut. 

Namun, saat kaum muslimin di suatu wilayah mendapat serangan musuh, tanah mereka diduduki, kemerdekaan mereka dirampas, saat itu yang berlaku adalah kewajiban jihad defensif.  Dalam kondisi ini hukum jihad menjadi fardhu ain bagi setiap orang.  Begitu juga jihad menjadi fardhu ain bagi orang yang Khalifah telah memberikan perintah atasnya untuk berjihad (Dr. Muhammad Khair Haekal, 2016, Mukhtashar Fiqih jihad).

Maka di Palestina saat ini wajib hukumnya kaum muslimin Palestina menegakkan jihad defensif.  Bila mereka tidak mampu, menjadi fardhu kifayah bagi kaum muslimin yang lainnya untuk membantu, dimulai dari wilayah yang terdekat sampai kemudian yang lebih jauh.  Begitu pula kaum muslimin Uighur, Rohingya, wajib untuk menjalankan jihad defensif ini dengan bantuan kaum muslimin di sekitarnya. 

Jihad Bukan Terorisme

Bahwa ada pihak yang melakukan terorisme dengan mengatasnamakan jihad, adalah fakta yang tidak bisa kita tolak.  Namun bila kemudian konsep jihadnya yang kita salahkan, maka tentu tidak tepat.  Seperti ketika ada orang yang mengendarai motornya ugal-ugalan sehingga menabrak orang, apakah kita akan menyalahkan motornya dan minta motornya diubah misalnya dengan menjadikan roda dan bumper motor selembut kapas?

Justru yang kita harus lakukan adalah memahami konsep jihad yang benar dalam Islam sehingga tidak salah menggunakannya.

Pensyariatan jihad adalah dalam rangka menegakkan hukum Allah di muka bumi.  Ketika orang-orang kafir masuk Islam, mereka tidak akan diperangi.  Jika mereka menolak masuk Islam, mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam.  Mereka hanya diminta untuk menerima berhukum dengan hukum Islam dalam urusan publik mereka dan membayar jizyah.  Jika mereka bersedia, maka mereka akan dipersamakan dengan kaum muslimin dalam hak dan kewajibannya, tidak diperangi, dan dijamin jiwa, harta, kehormatan dan keyakinannya.  Namun jika menolak juga, maka akan diperangi, karena penolakan mereka akan menjadi penghalang bagi diterapkannya Islam dalam kehidupan.  Sedangkan hanya dengan penerapan hukum Islam dalam kehidupan lah, manusia seluruhnya bisa menyaksikan kebenaran dan keagungan Islam, mencapai kesejahteraan dan kemuliaan sehingga mereka akan menerima Islam tanpa paksaan dan keberatan.

Dalam pelaksanaan jihad, Rasulullah saw juga memberikan rambu-rambu yang sangat jelas, di antaranya :

  1. Dilarang membunuh perempuan dan anak-anak (HR Bukhari 3015 dan Muslim 1744).
  2. Dilarang mencuri harta rampasan perang, berkhianat, mencincang mayat musuh dan membunuh anak-anak.” (HR Muslim 1731).
  3. Dilarang membunuh anak-anak dan para pekerja (HR. Ibnu Majah no. 2842)
  4. Dilarang menghancurkan desa dan kota, merusak ladang dan kebun (Hadits riwayat Bukhari, Sunan Abu Dawud).

Apakah rambu-rambu ini tampak seperti terorisme?  Bahkan dalam jihad pun Islam mengajarkan adab yang tinggi dan mulia, tidak seperti perang yang dilakukan orang-orang kafir kepada kaum muslimin saat ini dengan membantai dan melakukan genosida.

Khatimah

Seorang muslim wajib untuk meyakini bahwa Allah adalah sebaik-baik pembuat hukum.  Ketika ia mendeklarasikan diri sebagai seorang muslim, ia wajib untuk terikat dengan aturan Allah. 

Menolak sebagian hukum Allah dan menerima sebagiannya, adalah perbuatan yang bisa mengantarkannya pada kekafiran yang sesungguhnya.  Allah SWT berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا [٤:١٥٠]أُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا  وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا [٤:١٥١]

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasu-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir) merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. (TQS al-Nisa’ [4]: 150-151).