Memberikan Loyalitas Karena Allah

Oleh: Arini Retna

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أوثق عري الإيمان الموالاة في الله و المعاداة في الله و الحب في الله و البغض في الله

“Ikatan iman yang paling kuat adalah memberikan loyalitas karena Allah, memberikan sikap permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah, dan membenci karena Allah.” (HR. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 3: 429; dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 998)

Dalam realita kehidupan umat saat ini, kita dapati suatu kaum dari kalangan muslim yang mereka lebih suka saling berkasih sayang dengan orang-orang non muslim, menjadikan mereka sebagai saudara dengan berpijak pada dalih ukhuwwah wathaniyyah dan ukuwwah basyariyyah.   Di sisi yang lain, mereka menampakkan permusuhannya kepada kaum muslimin: membubarkan pengajian muslim yang mereka anggap tidak sepaham, memfitnah dan menolak dalil-dalil yang berbeda dengan dalil mereka. 

Lebih jauh, kelompok tersebut menuduh bahwa hadis tentang muwaalah di atas, adalah salah satu dalil ajaran radikalisme dalam Islam.  Karena itulah perlu dijelaskan dengan benar makna dari hadis tersebut dalam konteks ajaran Islam.

Ikatan Iman Yang Paling Kuat

Hadis di atas, diriwayatkan juga oleh Imam Ath-Thabrani dalam Al-mu’jamul Kabiir no. 11537, dan dinyatakan hasan oleh Imam Al Albani.

Muwaalah artinya : “(memberikan) pembelaan, pemuliaan, penghormatan, dan selalu ingin setia bersama dengan yang dicintainya baik secara lahir maupun batin”.[ Taisir Al-‘Azizil-Hamid fii Syarhit-Tauhid oleh Asy-Syaikh Sulaiman bin ‘Abdillah bin Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab, hal. 422, Daarul-Iftaa’, Riyadl.] Jadi al-muwaalah bukan sekedar cinta, tetapi mengandung pengertian membela, memuliakan, mengagungkan, dan setia kepada yang dicintai, lahir maupun batin.

Sedangkan mu’aadah secara bahasa merupakan bentuk mashdar (kata kerja yang berfungsi sebagai kata benda) dari ’ada – yu’di – mu’aadaatan. Artinya sama dengan al’adaa-u dan al-adaawatu yaitu memusuhi dan menjauhi. 

Makna al hubb adalah cinta, dan kata ini berlawanan dengan kata al baghdhu yang berarti benci. 

Seorang mukmin dengan mukmin yang lain, memiliki ikatan di antara mereka dengan ikatan yang kuat, yakni ikatan yang lahir karena iman.  Keyakinan yang sama bahwa mereka memiliki tuhan yang satu, memiliki nabi yang satu, kitab suci yang satu.  Ikatan ini lebih kuat daripada ikatan darah, karena ikatan darah bisa putus dengan putusnya ikatan iman.  Ketika perang Badar berkecamuk, sahabat Rasulullah saw, Abu Ubaidah Al Jarrah membunuh ayahnya sendiri karena sang ayah yang masih kafir memerangi kaum muslimin dan berusaha untuk membunuhnya.

Ikatan iman antara seorang mukmin dengan mukmin yang lain, akan menjadi ikatan paling kuat ketika ia menjadikan loyalitas dan cintanya hanya kepada Allah, dalam rangka mendapatkan ridha dan cinta-Nya.  Itulah yang dilakukan Abu Ubaidah, cintanya kepada Allah telah ia tempatkan lebih tinggi daripada cintanya pada sang ayah.  Ikatan karena iman terhadap saudara-saudaranya seaqidah inilah yang menjadikan sempurnanya iman seorang muslim.

Nabi saw bersabda, “Barang siapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan melarang (dari pemberian) karena Allah, sesungguhnya ia telah menyempurnakan imannya (seseorang).” (Shahih sunan Abi Dawud oleh Imam Al-Albani). (HR Abu Daud (no. 4681) dari Abu Umamah. Hadits ini mempunyai beberapa hadits penguat lainnya dan dihasankan oleh Syaikh Al-Bani dalam Silsilatul Ahaadits Ash-Shahiihah (no.380).

Dengan demikian, seorang mukmin, akan menyerahkan loyalitas, yakni kesetiaan dan cintanya, hanya kepada Allah, Rasulullah saw, dan orang-orang yang beriman dan berjuang di jalan Allah.  Ia tidak akan menyerahkan kesetiaan kepada jargon-jargon kosong seperti nasionalisme dan isme-isme lain, atau pada pemimpin yang menolak Islam atau orang-orang non muslim yang tidak beriman.  Ia tidak akan berkasih sayang dengan orang-orang kafir, meninggalkan saudara-saudara mukminnya dan memusuhinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَّا تَجِدُ قَوۡمٗا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ كَانُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ عَشِيرَتَهُمۡۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ ٱلۡإِيمَٰنَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٖ مِّنۡهُۖ وَيُدۡخِلُهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُۚ أُوْلَٰٓئِكَ حِزۡبُ ٱللَّهِۚ أَلَآ إِنَّ حِزۡبَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٢٢

“Tidak akan engkau dapati bahwa suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah mengokohkan keimanan dalam hati mereka, menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya, dan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, sesungguhnya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.” (al-Mujadilah: 22)

Dan sebaliknya, orang yang beriman akan menjadikan kebenciannya juga semata-mata karena Allah.  Ia tidak membenci karena sekedar marah, tidak suka, atau karena dizhalimi.  Tapi ia membenci orang yang membenci agama Allah, ia memusuhi orang yang memusuhi agama Allah dan memerangi orang yang memerangi agama Allah.

Meluruskan Pemahaman

Hadis ini adalah hadis yang hasan, yang layak menjadi sandaran amal.  Karena itu, menjadi kewajiban seorang mukmin untuk mengamalkannya dan terikat dengannya.  Yang perlu dipahami, orang yang mengamalkan hadis ini, tidak akan lantas menjadi “radikal” seperti yang dituduhkan.

Mengapa? Karena yang dituntut dalam Islam tidak hanya mengamalkan satu dalil saja, melainkan dalil secara keseluruhannya. Mengamalkan dalil hadis ini, tidak akan membuat seorang mukmin meninggalkan dalil-dalil yang membolehkannya untuk berbuat baik kepada orang non muslim selama mereka tidak memerangi dan mengusirnya. 

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, 

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada  memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Dari penelaahan dalil secara komprehensif, bisa disimpulkan bahwa berbuat baik (ihsan), berbeda dengan wala’.  Karena itu, menjadikan wala’ semata-mata kepada Allah tidak perlu ditakutkan, justru harus dipahamkan kepada umat sehingga mereka tidak salah menempatkan wala’ tersebut.  Misal, berwala’ kepada orang-orang kafir, berwala’ kepada pemimpin yang zhalim, atau berwala’ kepada guru atau aliran agama tertentu secara membabi buta sehingga keluar dari kebenaran.