Tidak Ada Kesetaraan Gender Dalam Islam

Oleh: Najmah Saiidah

Pernyataan tegas diserukan oleh para perempuan dan feminis muda se-Asia Pasifik yang berkumpul dalam forum masyarakat sipil dan feminis muda di Bangkok pada 22-26 November 2019 yang diselenggarakan badan khusus PBB untuk ekonomi sosial Asia Pasifik UNESCAP.

Forum ini diselenggarakan UNESCAP untuk organisasi masyarakat sipil se-Asia Pasifik untuk memperingati 25 tahun Deklarasi dan Platform Aksi Beijing atau yang sering disebut Konferensi internasional perempuan Beijing+25 atau Beijing Platform for Action (BPfA).

“Kami marah. 25 tahun sejak Deklarasi dan Platform Aksi Beijing, masih jauh dalam pencapaian kesetaraan gender. Ketimpangan kekayaan, kekuasaan, dan sumber daya menjadi lebih besar dari sebelumnya. Perempuan marah! Karena selama ini pencapaian kesetaraan dan keadilan gender di negara mereka, masih jauh dari yang dicita-citakan.”

Ya! Kesetaraan gender masih dianggap sebagai sebuah nilai universal yang harus diperjuangkan semua orang tanpa memandang agama, ras, bangsa, maupun apa pun. Padahal, jika kita meneliti sejarah lahirnya ide ini, dan menelaah secara seksama pemikiran ini, maka kita akan dapati bahwa jelas ini bukan ide universal.

Ide ini memiliki akar dalam sejarah Barat dan pengalaman para feminis Barat. Ide ini lahir karena adanya diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan di berbagai belahan dunia di masa lampau termasuk di negara negara Barat.

Fakta diskriminasi di masyarakat Barat itulah yang kemudian menyebabkan perempuan Barat menuntut keadilan dan kesetaraan perempuan. Mereka mencari kebebasan dan kemandirian, bebas dari dominasi laki laki dan mandiri dalam menentukan sikap dan mengelola hak milik mereka baik kekayaan maupun diri (tubuh) mereka sendiri.

Hal ini pula yang dipropagandakan ke negeri-negeri Islam, negeri yang mayoritas penduduknya muslim. Bahkan sengaja diopinikan bahwa hukum-hukum Islam mengekang kebebasan perempuan; jilbab dianggap sebagai bentuk kekerasan dan diskriminasi perempuan, karena memaksa perempuan untuk memakai pakaian muslimah yang boleh jadi tidak disukai.

Begitu pula mereka menggugat hukum kepemimpinan (qowwam) suami dalam keluarga, keharusan istri meminta izin suami ketika bepergian dan sebagainya. Mereka menganggap bahwa tugas domestik adalah tugas yang tak penting dan merendahkan perempuan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa ide kesetaraan gender ini cukup berpotensi menitikkan air liur kaum muslim yang haus akan perjuangan. Antusiasme sebagian masyarakat kaum muslim terhadap kehadiran ide ini tampak ketika mereka berupaya menghubungkan antara ide kesetaraan gender ini dengan Islam. Bahkan para ‘pemikir’ di antara mereka dengan bangga menyebut diri sebagai feminis muslim.

Mereka memahami bahwa apa yang menjadi visi feminisme—seperti konsep kesetaraan gender ini—sesungguhnya juga merupakan spirit ajaran Islam. Padahal jika kita mau jeli menilai, kita akan menemukan pertentangan yang sangat jauh antara spirit feminisme dan Islam, antara kesetaraan gender dan Islam, dari sisi mana pun.

PANDANGAN TERHADAP PEREMPUAN, FEMINISME VS ISLAM

Sesungguhnya, ide feminisme –induk dari ide kesetaraan gender– lahir sejak abad 18 seiring dengan kemunculan kapitalisme. Perubahan sosial yang terjadi di Eropa ketika sistem kapitalisme menggantikan feodalisme itu ternyata tidak serta-merta mengubah kondisi kaum perempuan, mereka tetap tertindas dan tidak lebih dari warga negara kelas kedua.

Bahkan ketika kapitalisme mampu menancapkan kukunya dan menjadikan proses industrialisasi sebagai penyangga utama eksistensinya nasib kaum perempuan semakin terpuruk.

Akan tetapi gerakannya sendiri baru muncul pada awal abad ke-20. Salah satu yang menonjol adalah Women’s Lib yang berpusat di Amerika, orientasi gerakannya bersifat sosial politik. Perjuangannya dilakukan melalui parlemen, turun ke jalan (demonstrasi), dan juga aksi pemboikotan.

Pada tahap awal isu yang diangkat adalah persamaan hak untuk memilih, karena pada saat itu kaum perempuan disamakan dengan anak-anak di bawah umur yang tidak boleh mengikuti pemilu.

Inilah sebenarnya latar belakang kemunculan ide dan gerakan feminisme di Eropa dan Amerika. Meskipun kemudian lahir dalam berbagai ragam dan bentuk, sesungguhnya intinya adalah pemberontakan terhadap tatanan masyarakat yang mereka anggap bersifat patriarki.

Termasuk terhadap ide-ide teologis (agama) dan institusi sosial kultural yang sering dituduh sebagai pangkal dari ketidakadilan sistemis perempuan.

Di saat masyarakat dunia memandang rendah perempuan, Islam datang di belahan dunia Arab justru untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Islam datang membawa perubahan pada nasib perempuan.

Islam menyatakan bahwa kemuliaan adalah milik laki-laki dan perempuan sebagaimana firman Allah di dalam Alquran surah al-Hujurat ayat 4 yang artinya:

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa.”

Dalam pandangan Islam, laki-laki dan perempuan dilihat secara proporsional, tidak secara subjektif atau asumtif sebagaimana pandangan para feminis. Allah SWT telah mengatur kehidupan manusia secara adil dan seimbang; adakalanya Allah memberikan beban yang sama antara laki-laki dan perempuan dengan memandangnya sebagai manusia (insan); adakalanya pula Allah memberikan beban yang berbeda kepada keduanya, karena sifat dan tabiat khususnya sebagai laki-laki dan perempuan.

Kekhususan-kekhususan tersebut sesungguhnya ditetapkan untuk mengarahkan aktivitas perempuan dan laki-laki berdasarkan sifat dan tabiatnya masing-masing; laki-laki berdasarkan sifat dan tabiatnya sebagai laki-laki dan perempuan berdasarkan sifat dan tabiatnya sebagai perempuan.

Dengan demikian, adanya kekhususan-kekhususan tersebut tidak bisa dipandang sebagai bentuk diskriminasi syariat Islam terhadap perempuan, sebagaimana yang ditudingkan oleh kalangan feminis dan kaum liberalis selama ini.

Justru hal ini menunjukkan bahwa aturan-aturan Allah sangat manusiawi dan holistik, mengingat fakta perbedaan jenis manusia dengan segala implikasinya merupakan sesuatu yang tidak mungkin dinafikan sama sekali.

Bahkan, bisa dipahami bahwa dengan adanya perbedaan-perbedaan inilah keduanya bisa saling mengisi dan melengkapi sehingga keduanya dipandang memiliki kedudukan dan tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan tujuan-tujuan luhur masyarakat.

Karena itulah mengapa Allah memerintahkan pula agar keduanya rida terhadap apa yang telah ditentukan-Nya dan melarang keduanya saling iri dan dengki dengan kelebihan yang diberikan atas sebagian yang lain.

Allah SWT berfirman,

“Janganlah kalian iri hati dengan apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain (karena) bagi laki-laki ada bagian yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. (QS an-Nisa’: 32).

Secara lebih rinci dapat dijelaskan bahwa, dari sisi insaniyahnya, mereka –laki-laki dan perempuan– dipandang secara sama karena keduanya memiliki akal dan potensi hidup yang sama.

Kesamaan inilah yang memungkinkan bagi keduanya diberi beban hukum yang sama, semisal sama-sama wajib beriman kepada apa-apa yang wajib diimani, beribadah, berdakwah, menuntut ilmu, dibolehkan bekerja, mengembangkan harta, dan lain-lain.

Hanya saja ketika Allah memberikan aturan yang sama kepada laki-laki dan perempuan tidak dikatakan sebagai kesetaraan, akan tetapi memang demikianlah aturan yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan.

Sebagaimana nas-nas berikut:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِم

“Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah)

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.” (QS At Taubah: 71)

“Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan juga ada bagian dari yang mereka usahakan.” (QS an-Nisa’ [4]: 32).

Namun di sisi lain, Islam tidak menafikan adanya perbedaan jenis yang realitasnya membawa konsekuensi pada perbedaan peran sosial sebagaimana yang dinafikan kalangan feminis.

Realitas bahwa perempuan punya alat reproduksi dan karenanya berkemampuan untuk haid, hamil, melahirkan, menyusui, dan sebagainya, mengharuskan adanya hukum-hukum yang berbeda dengan laki-laki.

Termasuk ketika perempuan akhirnya diberi peran sosial khusus sebagai istri dan ibu, sementara laki-laki diberi peran khusus sebagai kepala keluarga berikut hak dan kewajiban, serta aturan-aturan menyangkut relasi keduanya yang berbeda.

“… Seorang laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya; seorang perempuan adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak-anaknya yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Ingatlah setiap kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR Bukhari Muslim).

Perbedaan-perbedaan ini tidak dipandang sebagai pengistimewaan yang satu daripada yang lain atau sebagai diskriminasi Islam atas kaum perempuan, melainkan di sinilah letak keadilan Islam.

Karena Islam memberi nilai kemuliaan bukan pada jenis peran sosialnya, tetapi pada sejauh mana kedua pihak melaksanakan peran-peran sosial ini sesuai tuntunan Allah SWT (Itulah yang disebut dengan kadar ketakwaan).

Dengan begitu, keduanya bisa bekerja sama (ta’awun) saling mengisi, secara adil dan setara untuk mewujudkan tujuan-tujuan luhur masyarakat secara keseluruhan dan karenanya kebahagiaan hakiki bisa dirasakan semua pihak tanpa kecuali.

Lebih dari itu, Islam, memberi kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan untuk meraih kebahagiaan hakiki berupa keridaan Allah dan Surga-Nya.

Dengan demikian, jelaslah bahwa kesetaraan gender tidak lahir dari masyarakat Islam. Ajaran Islam yang luhur telah menempatkan posisi perempuan sebagai pencetak generasi manusia dan mitra sejajar laki laki dalam membangun peradaban.

Jauh sebelum para perempuan Barat menuntut keadilan, para muslimah telah memperoleh haknya. Di samping itu, kesetaraan gender juga jelas bertentangan dengan Islam. Beralihnya kepemimpinan laki laki ke perempuan di dalam rumah tangga, hapusnya kewajiban mencari nafkah dari pundak suami, hapusnya ketaatan pada suami, hapusnya hukum nusyuz karena dianggap sebagai tindak kekerasan terhadap perempuan, jelas bertentangan dengan hukum Allah (lihat QS an Nisa : 34).

Ini artinya, setiap muslim tak boleh mengambil apalagi memperjuangkan ide kesetaraan gender ini. Islam telah mengatur sedemikian rupa peran perempuan dengan sangat adil, semuanya semata-mata bertujuan untuk melindungi dan menjaga kehormatan perempuan, bukan mengekang kebebasan para perempuan sebagaimana yang dituduhkan.

Karena Islam tidak pernah melarang perempuan keluar rumah atau bahkan bekerja atau beraktivitas di luar rumah selama terpenuhi seluruh ketentuan-ketentuan Islam atasnya dan selama ia tidak melalaikan kewajiban utamanya sebagai ibu dan pengelola rumah tangga suaminya.

Sudah saatnya kita sadar, bahwa tidak ada satu alasan pun yang membuat kaum muslim harus ikut-ikutan mengadopsi, mempropagandakan, bahkan memperjuangkan ide feminisme yang mengusung ide kesetaraan gender.

Karena Islam telah memiliki pandangan yang unik tentang keberadaan laki-laki dan perempuan sekaligus mengenai hubungan keduanya serta bentuk kehidupan masyarakat yang hendak dibangun di atas landasan akidah dan aturan-aturannya.

Sudah saatnya kita buang jauh ide kesetaraan gender, yang jelas tak mampu menyelesaikan persoalan perempuan, tak mampu menghantarkan perempuan pada kemuliaan.

Hanya dengan menerapkan syariah kaffah dalam bingkai negara Khilafah Islamiyyah perempuan akan bahagia dan sejahtera. Wallahu A’lam bishshawwab.