Oleh: Hayyin Thohiro
“Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” [TQS. ar-Rûm/30:41]
Demikian Allah telah memfirmankan dalam Nash Al-Qur’an, bahwa wabah Corona Covid-19 yang telah merebak ke berbagai negara di dunia pada dasarnya adalah musibah yang diakibatkan oleh perbuatan manusia yang telah mengkonsumsi apa yang diharamkan oleh Allah. Munculnya virus Corona-sebagai makhluk yang disinyalir berasal dari kelelawar ini menjadi pengingat betapa lemahnya manusia, dan betapa kuasanya Allah SWT atas segala makhluknya.
”Dan musibah apa saja yang menimpa kamu maka itu disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri” [TQS. asy-Syûra/42:30].
Pandemi Corona makin tak terkendali, lebih dari 170 negara di dunia terpapar Covid-19. Masing-masing negara berbeda-beda dalam menyikapi musibah ini, termasuk di negeri-negeri muslim. Ada yang dengan sigap mengambil langkah tegas-antisipatif, ada juga yang cenderung santai hingga tergagap-gagap. Sudah bisa dipastikan dampaknya pun berbeda-beda, ada yang cukup mampu mengendalikan jumlah korban, ada juga yang tidak mampu mengendalikan hingga jatuh korban cukup banyak. Walhasil masing-masing negara bergerak sendiri-sendiri, bahkan antar daerah dalam suatu negara pun bertindak atas kebijakan kepala daerah sendiri-sendiri. Termasuk diantaranya antar negeri-negeri muslim.
Sudahlah penanganan dalam negeri suatu negara dalam mengatasi pandemi corona tidak mencerminkan adanya kesatuan komando dan sifat pemimpin sebagai periayah, adanya negara dunia yaitu Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan WHO sebagai organisasi kesehatan dunianya, hingga keberadaan negara adi kuasanya sekalipun, dikarenakan adanya kepentingan politik dan ekonomi juga tidak mampu mewujudkan perlindungan bagi jiwa manusia sebagai korban keganasan virus Corona Covid-19. Sebagai contoh diantaranya adalah adanya perbedaan rekomendasi penetapan status, standart penanganan covid-19 antara Johns Hopkins University yang menjadi representatif Amerika Serikat dengan WHO, sistem edukasi dan opini, termasuk juga urusan pembiayaan untuk penanganan kasus.
Kondisi di Indonesia beberapa pihak menilai bahwa langkah pemerintah dalam menangani Covid-19 adalah lamban. Terlihat bahwa pada awalnya beberapa pejabat publik melontarkan pernyataan yang terkesan meremehkan bahaya virus corona. Dengan santainya mereka mengatakan bahwa virus corona bisa diatasi dengan mulai minum jamu, minum susu kuda liar, makan nasi kucing, hingga mengatakan bahwa penderita corona bisa sembuh sendiri. Pemerintah bahkan lebih sibuk mengurusi sektor pariwisata. bukan sibuk menyelamatkan nyawa rakyatnya. Padahal setiap hari update pasien corona menunjukkan peningkatan signifikan. Hingga akhirnya ketika Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi positif corona, barulah pemerintah terhenyak, dan berbagai kebijakan mulai dikeluarkan, mulai dari socil distancing (menjaga jarak), menghindari kerumunan, meliburkan sekolah, hingga tuntutan tegas untuk isolasi atau lock down (isolasi). Walaupun pada kenyataannya pemerintah tidak berani secara tegas untuk mengambil kebijakan lockdown karena berbagai pertimbangan.
Penanganan corona tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Butuh kerja sama semua pihak di bawah satu komando kepemimpinan, sehingga bisa berjalan efektif. Penguasa yang bisa memimpin dengan benar haruslah yang bermental negarawan, bersikap sebagai raa’in (pengurus) dan mas’ul (penanggung jawab) untuk menyelesaikan masalah. Kebijakan lock down ketika tidak ditopang dengan kesiapan lain seperti kebijakan ekonomi dan politik yang memadai juga tidak akan menjadi solusi yang efektif, lebih-lebih ketika hubungan dengan negara yang dianggap berpeluang bahkan sebagai sumber virus tidak ada ketegasan secara ekonomi maupun politik. Karena itu pandemik corona yang bersifat global akan sulit dihadapi oleh negara-negara yang tersekat paham kebangsaan. Di sinilah saatnya akal sehat digunakan untuk mempelajari sejarah maupun nash, sehingga terbuka kesadaran akan pentingnya Islam sebagai agama yang tidak hanya mengatur masalah ruhiyah tapi juga politik telah lengkap memberikan aturan dalam kehidupan sehari-hari, jika ditaati akan membawa keberkahan dan jika dilanggar akan menimbulkan madhorot dan bencana. Islam menyelesaikan problem kehidupan dengan tuntas, sesuai fitroh, dan memuaskan akal.
Adanya sekat-sekat negara bangsa akan semakin menambah kesulitan dalam penanganan pandemik corona dengan segera. Pandemik yang bersifat global ini pun akan sulit dihadapi oleh negeri-negeri muslim yang tersekat oleh paham nasionalisme kebangsaan. Bisa dibayangkan, saat ini umat Islam terpecah lebih dari 50 negara di dunia. Masing-masing dipimpin oleh seorang pemimpin dengan visi-misi yang berbeda-beda, orientasi kepemimpinannya pun berbeda-beda, bahkan orientasi ekonomi dan bisnis tampak lebih menonjol dibandingkan periayahan urusan kaum muslimin. Di sinilah urgensi keberadaan Khilafah, sebagai “ kepemimpinan umum ( global)a bagi seluruh kaum muslimin untuk melaksanakan hukum-hukum Allah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia” semakin dirasakan.
Khalifah sebagai “pemimpin dalam negara khilafah” adalah raa’in (pengurus umat), sudah semestinya tidak akan bersikap meremehkan terhadap urusan apa pun. Apalagi terhadap wabah corona yang telah ditetapkan menjadi pandemik dunia. Sehingga untuk mengatasinya dibutuhkan satu komando untuk seluruh dunia. Sebagai contoh ketika terjadi wabah kolera di Syam, khalifah Umar bin Khaththab memutuskan untuk tidak ke Syam dan kembali ke Madinah. Amirul Mukminin tidak meremehkan penyakit yang terjadi di Syam, meski tidak terjadi di Madinah. Begitulah gambaran sosok pemimpin negarawan yang memiliki pandangan luas terhadap urusan dunia dan menyelamatkan nyawa kaum muslimin.
Maka jelas, untuk mengatasi corona selain dibutuhkan pemimpin negarawan, juga dibutuhkan sistem yang benar (Khilafah). Yakni sistem politik yang menempatkan syariat Islam kafah sebagai solusi atas semua masalah, termasuk corona. Kebijakan politik yang terintegrasi dengan kebijakan ekonomi serta kebijakan-kebijakan lainnya. Selain ketegasan dalam menetapkan kebijakan lock down, seorang Khalifah juga akan menggunakan tata aturan ekonomi yang benar yakni dengan mendayagunakan semua potensi ekonomi (baik berupa fai’ dan kharaj, infak rakyat, utang syar’i pada warga negara yang kaya, maupun dhoribah dalam kondisi khusus), bahkan dari hasil pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah ruah, yang dilakukan oleh negara untuk mengatasi wabah corona. Bukan justru kegamangan dan sikap setengah hati dengan kebijakan lock down karena kekhawatiran dampaknya pada potensi ekonomi seperti pariwisata, investasi, ataupun lainnya.
Lock down adalah perintah syara’ yang sudah seharusnya diambil dalam menghadapi wabah corona. Sebagaimana Rasulullah telah bersabda,
“Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu.” (HR. Bukhari & Muslim).
Karena itu para Khalifah sepeninggal Rasulullah senantiasa terikat dengan solusi syar’i dalam menghadapi wabah, sebagaimana dicontohkan oleh Khalifah Umar Bin Khattab ketika menghadapi wabah kolera di syam. Namun negeri-negeri muslim saat ini tanpa adanya kepemimpinan global (satu pemimpin untuk seluruh kaum muslimin) di seluruh dunia belum bisa mengambil kebijakan ini secara serentak. Sebagai contoh, terbukti Pemerintah Indonesia-ditengah kegentingan merebaknya wabah corona, tetap saja tak menghentikan masuknya TKA-Cina ke Indonesia. Sungguh ironis memang, Indonesia sebagai salah satu representasi negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, tapi tidak segera mengambil solusi syar’i yang telah ditetapkan dalam syariat Islam dalam mengatasi wabah corona ini.
Bahkan atas semua kebijakan yang ada mustinya negara menggratiskan semua layanan kesehatan, mulai dari deteksi, perawatan, hingga obat-obatan. Negara juga akan mendakwahkan pola hidup bersih dan sehat melalui sistem pendidikan dan infokom. Demikian seharusnya kebijakan yang diambil untuk mengatasi virus corona oleh suatu otoritas (kepemimpinan) global yang kredibel, yang dengan segenap tenaga “Badzilun Juhdi” akan melakukan riset, teknologi, dana, fasilitas kesehatan, informasi, edukasi, dan lain-lain yang dibutuhkan tanpa adanya hambatan berupa sekat-sekat nasionalisme kebangsaan. Dan itu semua hanya mungkin dilakukan dengan Penerapan syariat kaffah yang dilakukan oleh Khilafah. Bukan negara bangsa (nation state). Allahu A’lamu bi as shawab.