Oleh : Najmah Saiidah
Para pengusung Islam Moderat terus berupaya keras untuk untuk menjauhkan umat Islam dari pemahaman Islam yang lurus, bahkan pun terkait dengan masalah aqidah. Tidak hanya sekedar menjadikan hukum buatan manusia lebih tinggi dari hukum Allah, tetapi lebih jauh dari itu. Dengan cara yang sangat halusmereka terus mengopinikan bahwa semua agama benar, karena semua agama mengajarkan kebaikan. Selanjutnya masih segar dalam ingatan kita, mereka melarang menyebut kafir kepada selain Islam … bahkan tepuk anak sholeh pun dipermasalahkan. Padahal telah jelas dalam Al-Qur’an bahwa selain muslim adalah kafir. Dari sini kemudian muncul pemikiran cabang, tentang kebolehan bersahabat dengan non muslim, yang kemudian ditarik kepada cakupan yang lebih besar … yaitu negara. Menganggap negara Asing yang jelas-jelas memusuhi kaum muslimin sebagai teman bahkan tetap mendorong untuk bekerjasama dengan mereka karena ada manfaat yang bisa diambil, seperti contoh yang sangat jelas adalah sikap terhadap China, padahal jelas-jelas bagaimana Pemerintahan negeri tersebut memperlakukan saudara-saudara kita, kaum muslimin di Uighur dengan sangat kejam.
Sesungguhnya Islam telah sangat detil menjelaskan tentang masalah ini, kepada siapa loyalitas seorang muslim diserahkan, dan kepada siapa seharusnya berlepas diri, kemudian siapa yang seharusnya dicintai dan siapa yang seharusnya dibenci. Sesungguhnya hal ini merupakan hal prinsip yang wajib dimiliki oleh seorang mukmin, yaitu aqidah al-wala’ wal bara’. Sayangnya, hal ini dianggap oleh sebagian kalangan sebagai sesuatu yang sudah usang atau dianggap asing alias tidak dikenal di sebagian kalangan umat Islam, seiring dengan semakin jauhnya umat Islam dari pemahaman diin Islam yang lurus.
Al-Wala’ wal Bara’
Masalah al-wala’ (loyalitas/kecintaan) dan al-bara’ (berlepas diri/kebencian) adalah masalah yang sangat penting dan ditekankan kewajibannya dalam Islam, bahkan merupakan salah satu landasan keimanan yang agung. Bahkan dalam kitab Taisiirul wushul, tulisan syaikh Abdul Muhsin al-Qaasim, di halaman 36, dijelaskan jika seseorang melalaikannya akan menyebabkan rusaknya keimanan seseorang.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Al-baraa’ah (sikap berlepas diri/kebencian) adalah kebalikan dari al-wilaayah (loyalitas/kecintaan), asal dari al-baraa’ah adalah kebencian dan asal dari al-wilaayah adalah kecintaan. Yang demikian itu karena hakikat tauhid adalah (dengan) tidak mencintai selain Allah dan mencintai apa dicintai Allah karena-Nya. Maka kita tidak (boleh) mencintai sesuatu kecuali karena Allah dan (juga) tidak membencinya kecuali karena-Nya” (Majmu’ul fataawa 10/465). Selain itu, Imam Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Sesungguhnya barangsiapa yang mentaati Rasul SAW dan mentauhidkan maka dia tidak boleh berloyalitas (mencintai) orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun orang tersebut adalah kerabat terdekatnya” ( Al-Ushuluts tsalaatsah hal. 8).
Syaikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan ketika menjelaskan masalah ini, beliau berkata, ”Setelah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, wajib (bagi setiap muslim untuk) mencintai para kekasih Allah (orang-orang yang beriman) dan membenci musuh-musuh-Nya. Karena termasuk prinsip-prinsip dasar akidah Islam adalah kewajiban setiap muslim yang mengimani akidah ini untuk mencintai orang-orang yang mengimani akidah Islam dan membenci orang-orang yang berpaling darinya. Maka seorang muslim (wajib) mencintai dan bersikap loyal kepada orang-orang yang berpegang teguh kepada tauhid dan memurnikan (ibadah kepada Allah SWT semata), sebagaimana (dia wajib) membenci dan memusuhi orang-orang yang berbuat syirik (menyekutukan Allah SWT).
Banyak nash-nash berkaitan dengan masalah al wala’ wal bara’ ini, baik dari Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah SAW, diantaranya :
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ}
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yahudi dan Nasrani sebagai kekasih/teman dekat(mu); sebagian mereka adalah kekasih bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai kekasih/teman dekat, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka” (QS. al-Maa-idah:51)
{لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الإيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ}
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya, dan Dia menempatkan mereka di dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung” (QS al-Mujaadilah:22).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُون
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu sebagai kekasihmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa yang di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai kekasih, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS at-Taubah:23).
Sabda Rasulullah SAW : “Janganlah kalian tinggal bersama orang-orang musyrik, jangan pula bergabung dengan mereka. Barang siapa tinggal dan bergabung bersama mereka, dia bagian dari mereka.” (HR. al-Hakim 2/141—142, dari Samurah bin Jundub)
Sebagaimana Allah SWT telah mengharamkan berloyalitas terhadap orang-orang kafir, karena mereka adalah musuh-musuh Islam dan kaum muslimin, maka Allah SWT telah mewajibkan untuk berloyalitas terhadap orang-orang yang beriman serta mencintai mereka. Allah berfirman yang artinya : “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut agama Allah itulah yang pasti menang”. [Al-Maidah : 55-56].
Demikian pula sabda Rasulullah SAW :
“من أحب لله وأبغض لله وأعطى لله ومنع لله فقد استكمل الإيمان”
“Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena-Nya, maka sungguh telah sempurna keimanannya“ (HR Abu Dawud (no. 4681) dan al-Hakim (no. 2694)
Dari pemaparan di atas, jelaslah Islam telah dengan sangat rinci membahas tentang Al- Wala’ wal Bara’, loyalitas kaum muslimin seharusnya diberikan kepada siapa. Siapa yang seharusnya dicintai dan disayangi dan siapa yang seharusnya dibenci. Hanya saja meskipun Islam memerintahkan agar memusuhi orang-orang kafir karena agama mereka, supaya ajaran mereka tidak ada yang menyusup ke tengah kaum Muslimin. Namun, Islam mengharamkan berbuat zhalim terhadap mereka tanpa alasan yang haq. Islam menghormati hak-hak orang-orang kafir mu’ahad (yang sedang dalam perjanjian damai), dzimmi (orang-orang kafir yang tinggal sebagai warna negara khilafah dengan membayar jizyah), musta’man (orang kafir yang meminta perlindungan dari khilafah). Islam mengharamkan darah dan harta benda mereka. Islam juga memberikan hak-hak dan kewajiban yang sama kepada mereka, sebagaimana hak dan kewajiban kaum Muslimin. Allah SWT berfirman yang artinya :“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya”. (QS An-Nahl : 91). “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggunganjawabnya”. (QS Al-Isrâ’ : 34).
Peristiwa Teladan di masa Kejayaan Islam
Kita dapat melihat makna sejati Al Wala’Wal Bara’ dalam peristiwa bersejarah yang terjadi selama masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib . Ada konflik antara Mu’awiyah (Gubernur Syam) dan Khalifah Ali ra. Pemimpin kekaisaran Romawi, Heraklius menyadari adanya konflik ini dan ingin memanfaatkannya untuk kepentingannya sendiri. Jadi dia menulis surat untuk Muawiyah ra. DariKaisar Romawi ke Muawiyah:”Kami tahu apa yang terjadi antara Anda dan Ali Ibnu Abi Thalib, dan kami melihat bahwa Anda lebih layak dari Khilafah, jadi jika Anda memerintahkanku, aku akan mengirim Anda tentara yang akan membawa kepala Ali kepada Anda.”
Dengan tegas Muawiyah berkata kepada Heraklius : “Dua saudara berselisih dan apa urusan Anda untuk masuk di antara mereka? Jika kamu tidak diam, aku akan mengirimmu pasukan yang panjangnya dimulai darimu dan berakhir padaku, pasukan itu akan membawakan kepalamu sehingga aku bisa memberikannya kepada Ali. ”
Meskipun Muawiyah terlibat konflik dengan Ali ra dan dia ditawari dukungan oleh pemimpin Romawi untuk mendapatkan kekuasaan untuk dirinya sendiri. Tetapi ia tetap setia pada keyakinannya, setia pada perjanjiannya kepada Allah SWT. Begitulah seharusnya tanggapan seorang pemimpin Muslim sejati, tidak seperti para pemimpin negeri-negeri muslim saat ini yang justru ‘menyerahkan dirinya’ kepada ‘majikan mereka’ yang sebenarnya merupakan musuh-musuh kaum muslimin.
Khatimah
Al Wala` Wal bara (kesetiaan dan disloyalitas) merupakan salah satu di antara konsep-konsep penting dalam Islam, yang harus pahami dan dipegang teguh setiap Muslim dengan sepenuh jiwa. Pada dasarnya konsep ini berarti kesetiaan kepada Allah, kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang beriman, sementara disloyalitas atau berlepas diri atau ketidakpercayaan tertuju kepada kaum kafir dan semua orang yang membantu mereka dengan cara apa pun.
Wallahu a’lam bishshawwab