Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakaatuh.
Ustadzah pengasuh rubrik konsultasi yang dirahmati Allah, Kondisi apa saja yang menyebabkan adanya kewajiban qadha puasa? Bolehkah menundanya hingga menjelang datangnya bulan ramadhan dan apa konsekuensinya jika belum mengganti puasa ketika tiba Ramadhan selanjutnya? Apakah qadha harus dilakukan berturut-turut tiap hari?. Atas jawabannya saya ucapkan jazakumullaahukhairan.
Ibu Marwah dari Malang- Jawa Timur
Wa’alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakaatuh.
Ibu Marwah yang dirahmati Allah, qadha puasa adalah mengganti puasa sejumlah hari yang ditinggalkan pada waktu bulan Ramadhan disebabkan adanya udzur. Hukum qadha ini adalah wajib
Allah SWT Maha Adil dan Bijaksana dalam kondisi tertentu memberikan rukhsah yakni keringanan untuk meninggalkan ibadah puasa Ramadhan, namun mewajibkan orang itu menggantinya di luar Ramadhan. Rukhsah ini diberikan pada orang yang sakit yang tidak mampu menjalankan puasa dan siapapun yang sedang dalam perjalanan safar. Firman Allah Swt dalam surat al Baqarah[2] ayat 184 menjelaskan terkait keringanan ini:
,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapasakitataudalamperjalanan (laluiaberbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, padahari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184).
Selain karena sakit dan sedang dalam perjalanan, qadha puasa juga wajib dikerjakan oleh perempuan muslimah yang mengalami haidh atau nifas di saat bulan Ramadhan. Keluarnya darah haidh dan nifas menjadi penghalang pelaksanaan puasa sehingga dia harus menggantinya di waktu lain. Dalil kewajiban qadha puasa bagi wanita haidh dan nifas adalah hadits dari ‘Aisyah ra, beliau mengatakan,
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
“Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintarkan untuk mengqodho puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.”(HR. Muslim no. 335)
Keempat kondisi di atas, yaitu sakit, dalam perjalanan safar, haidh dan nifas adalah keadaan-keadaan yang dianggap udzur syar’I seseorang tidak menjalankan puasa di bulan ramadhan dan wajib menggantinya di waktu lain. Adapun wanita yang sedang hamil atau menyusui dianggap memiliki kondisi yang sama dengan orang yang sedang sakit sehingga diizinkan untuk tidak puasa di bulan ramadhan dan diharuskan membayarnya.
Ibu Marwah yang dirahmati Allah, terkait ketentuan pelaksanaan qadha puasa harus difahami terlebih dahulu bahwa hukumnya adalah wajib dan sikap seorang muslim terhadap perkara wajib ini harus bersegera melakukannya dan tidak menunda-nunda kecuali ada udzur syar’iy yang menghalangi penunaiannya. Layaknya sikap seorang muslim terhadap hutang yang menjadi tanggunggannya, dia harus secepatnya membayar manakala sudah jatuh tempo dan diadalam keadaaan berkemampuan. Jadi, sebaiknya bersegera mengganti puasa yang ditinggalkan ketika sudah ada kesempatan. Sekalipun memang tidak ada dalil yang memberikan batasan kapan waktu pelaksanaannya sehingga boleh dilakukan mulai bulan Syawal sampai bulanSya’ban selama belum masuk bulan ramadhan tahun berikutnya. Salah satu dalilnya adalah apa yang dilakukan oleh ‘Aisyah ra, beliau pernah menunda qadha puasanya sampai bulan Sya’ban.
Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ
“Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu mengqadhanya kecuali di bulan Sya’ban.” Yahya (salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan ‘Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. (HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146)
Ibu Marwah Yang di rahmati Allah, jadi batas akhir pelaksanaan qodlo puasa adalah akhir bulan Sya’ban, sebelum datangnya bulan Ramadhan. Namun perlu diperhatikan jangan sampai melakukan qadha puasa di hari syak, yakni hari yang diragukan apakah masih masuk akhir bulan Sya’ban atau sudah datang tanggal 1 bulan Ramadhan.
Terkait apa konsekuens ibagi orang yang
belum mengganti puasa ketika sudah datang Ramadhan selanjutnya? Jika penundaan ini
tanpa udzur syar’iy maka termasuk pelalaian terhadap sebuah kewajiban, yang
tentu saja berkonsekuensi dosa. Lalu,
apakah ada pengaruhnya terhadap qadha yang harus ditunaikan? Para ulama berbeda
pandangan. Pendapat pertama diwakili oleh
Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, Imam Ibrahim An-Nakha`i,
Imam al-Hasan Al-Bashri, Imam Al-Muzani (muridAsy-Syafi’i), dan Imam Dawud bin
Ali. Kelompok ini mengatakan bahwa orang
yang menunda qadha hingga
datang Ramadhan berikutnya, mereka hanya wajib menunaikan qadha
. Tidak ada kewajiban membayar kaffarah (fidyah) (Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid, I/240; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul
Islami wa Adillatuhu, II/240; Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’
li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 210).
Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islamiwa Adillatuhu (II/240) dalil yang digunakan Imam Hanafi adalah kemutlakan nash Alquran yang berbunyi “fa-‘iddatun min ayyaminukhar” yang berarti “maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah [2]: 183)
Pendapat kedua dikemukakan oleh jumhur ulama, yaitu Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan lain-lain, menurut para ulamaini orang yang belum membayar qadha puasa hingga Ramadhan berikutnya wajib mengqadha` puasa dan wajib juga membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari sejumlah hari dia tidak berpuasa.Fidyah ini adalah sebagai kaffarah (penebus) dari penundaan qadha`-nya.Pendapat ini disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni Ma’aAsy-Syarh Al-Kabir, II/81 (Dikutip oleh Yusuf al-Qaradhawi, FiqhushShiyam, [Kairo :Darush Shahwah], 1992, hal. 64).
Berikutnya, pendapat mana yang dirajih? Terkait qadha puasa ini dalilnya berbentuk mutlak (QS. Al-Baqarah[2]:184), karenanya penambahan fidyah untuk penundaan pelaksanaan qadha hingga datangnya Ramadhan selanjutnya membutuhkan dalil lain yang menjelaskannya. Sementara Yusuf al-Qaradhawi meriwayatkan tarjih dari Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya Ar-Raudatun An-Nadiyah (I/232), “…tidak terbukti dalam masalah itu sesuatu pun [hadits sahih] dari Nabi shalallahualaihi wasallam.” (Yusuf Al-Qaradhawi, FiqhushShiyam, hal. 64).Dalil yang dikemukakan ulama yang berpendapat wajib membayar fidyah selain mengqadha puasa berupa pendapat beberapa sahabat. Sementara menurut Imam Syaukani, “Pendapat yang benar bahwa qaul ash-shahabi bukanlah hujjah [dalil syar’i].” (Imam Syaukani, IrsyadulFuhul, hal. 243). Demikian juga pendapat Imam Taqiyuddin an-Nabhani, “…mazhab sahabat tidak termasuk dalil syar’i.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, III/411).
Adapun bagi orang yang belum sempat mengganti puasa Ramadhan yang dia tinggalkan hingga kematian menjemputnya, maka pelaksanaan qadha puasa menjadi kewajiban keluarganya, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dariAisyahra: “Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban qadha puasa, maka walinya (keluarganya) berpuasa menggantikannya.”(HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah)
Ibu Marwah Yang dirahmati Allah, terkait pertanyaan ibu yang terakhir yakni apakah pelaksanaan qadha puasa harus berturut-turut setiap hari? Jawabannya tidak mesti berturut-turut karena kemutlakan dalinya (QS al Baqarah:184). Namun Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa qadha’ puasa lebih afdhol berturut-turut karena akan lebih cepat lepas dari beban kewajiban. Ia berkata, “Disunnahkan qadha puasa Ramadhan secara berturut-turut. Jika tidak bisa dilakukan secara berturut-turut, maka tidak mengapa terpisah-pisah.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 136).
Demikianlah jawaban kami. Semoga Allah Swt menjadikan kita hamba Nya yang senantiasa bersegera dalam melaksanakan ketaatan, termasuk tidak menunda untuk menunaikan kewajiban membayar qadha puasa, aamiin. Wallaahu A’lam[SM]