SAUDAH BINTI ‘IMARAH, MUSLIMAH KALANGAN TABI’IN TAK GENTAR MENGOREKSI PENGUASA

Oleh : Nabila Asy Syafii

MUQADIMAH
Suaramubalighah.com,Muslimah Inspiratif – Seorang muslimah tabi’in, fasih dalam bertutur kata, cerdas, pemberani, dan kuat dalam memegang kebenaran.

Beliau sangat menghormati dan memuliakan Ali bin Abi Thalib, juga beliau adalah pendukung Ali bin Abi Thalib, baik dengan perkataan maupun perbuatan.

Ketika kekhilafahan beralih kepada Amirul Mukminin Muawiyah, terjadi kedzaliman yang dilakukan oleh gubernurnya, maka tanpa gentar, ia mengadukan kepada Amirul Mukminin Mu’awiyah. Beliau adalah Saudah binti ‘imarah. Sikap dan perjuangannya menjadikan Saudah binti ‘Imarah sosok yang dikenang.

SUDAH BINTI ‘IMARAH, MUSLIMAH TABI’IN BERANI MELAKUKAN KOREKSI KEPADA PENGUASA

Saudah binti ‘Imarah bin Asak Al Hamdaniyah, salah seorang muslimah dari kalangan tabi’in yang kecerdasanmya tak diragukan lagi. Jika ia berkhotbah maka kata-katanya bernas, berbobot, keindahan syair dan kefasihan berbahasa menunjukkan ia seorang yang menguasai sastra, kekuatan hujjahnya menandakan ia seorang yang memahami agama dengan mendalam.

Saudah binti ‘Imarah bin Al Asak Al Hamdaniyah keturunan dari bani Hasyim, kecerdasan, kefasihan berbahasa, ahli syair, penuh idealisme dan keistimewaan lainnya, adalah proses penempaan kepribadian yang telah mengakar dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Suadah binti ‘Imarah bin Al Asak Al Hamdaniyah, adalah seorang muslimah pemberani. Dengan rela melakukan perjalanan jauh dari Yaman ke ibu kota negara kekhilafahan di Damaskus guna menegakkan keadilan, melakukan amar makruf nahi munkar,  ia mengoreksi kepada penguasa yang berbuat dzalim kepada dirinya dan juga warga di daerahnya.

Diceritakan oleh Imam Sya’bi, “Saudah binti ‘Imarah bin Al Asak Al Hamdaniyah meminta ijin untuk bertemu Muawiyah. Muawiyah pun mengijinkan beliau datang menemuinya. Ketika datang Saudah mengucapkan salam, dan dijawab oleh Muawiyah.


Muawiyah bertanya kepada Saudah, ” bagaimana kabarmu, wahai binti Al Asak ?”
Saudah menjawab, “Baik, Alhamdulillah, wahai Amirul Mukminin. “
Muawiyah kembali bertanya, ” Bukankah engkau yang berkata kepada saudaramu ketika perang Shiffin syair-syair ini ?” Wahai putra ‘Imarah, singsingkan lenganmu, lakukan seperti yang telah diperbuat oleh ayahmu. Lakukan itu ketika terjadi peperangan sasama saudara. Tolonglah Ali, Husain, dan saudara-saudaranya. Lawanlah Hindun dan anaknya. Buatlah mereka hina. Ali adalah saudara Nabi, pembawa petunjuk dan menara penyebar keimanan. Majulah ! Pimpinlah pasukan, bersama benderanya. Majulah ke depan, membawa pedang yang berkilat tajam.”

Tanpa ragu Saudah menjawab, ” Benar saya yang mengatakan, wahai Amirul Mukminin. Orang seperti aku tidak mungkin enggan mengucapkan kebenaran, dan tidak mempunyai alasan untuk berbohong kepadamu.”

Muawiyah bertanya lagi,” Apa yang menyebabkanmu mengatakannya?”

Dengan singkat Saudah menjawab, ” Karena aku mencintai Ali bin Abi Thalib ra dan karena aku ingin mengikuti kebenaran. “
Muawiyah bertanya lagi, ” Demi Allah, aku tidak melihat sama sekali bekas kebaikan Ali kepadamu.”

Saudah menjawab, ” Demi Allah, wahai Amirul Mukminin, janganlah kita mengulang apa yang telah lalu, dan mengingat-ingat apa yang mungkin sudah dilupakan. “

Muawiyah tak berhenti bertanya, ” Tidak mungkin, tidak mungkin. Orang sehebat saudaramu tidak mungkin dilupakan. Akupun tidak pernah berhadapan dengan pasukan yang lebih hebat dari pasukan suku saudaramu, dan pasukan dari kaummu.”

Saudah menjawab, ” Engkau benar, wahai Amirul Mukminin. Demi Allah, saudaraku bukan orang jelek, bukan orang yang tidak dikenal orang lain. “

Muawiyah takjub dengan kehebatan Saudah dalam bertutur dengan bahasa yang tajam, beradab dan berani.

Muawiyah menutup perbincangan dengan bertanya, ” Wahai binti Al Asak, apa keperluanmu datang kesini? Katakanlah apa yang kau inginkan?”

Saudah mulai berbicara, mengadukan perlakuan gubernur Yaman,” Wahai Amirul Mukminin, engkau sekarang adalah pemimpin bagi orang banyak. Engkaulah yang bertanggungjawab atas kebaikan mereka dan kelak engkau akan ditanya di hadapan Allah Ta’ala, tentang hak-hak kami yang harus kau tunaikan.”

” Telah datang kepada kami, orang-orang yang bisa bekerja karena kemuliaanmu, bisa berbuat sewenang-wenang karena kekuasaanmu. Mereka merampas harta kami dan menyiksa kami. Aku mengadukanBusr bin Artha’ah, dia datang ke negeriku, tapi kemudian membunuhi orang-orang dan mengambil harta kekayaannya. Seandainya tidak diperintahkan taat kepadanya, tentu kami akan melawan karena kami memiliki kekuatan dan kemuliaan diri. Oleh karena itu, kalau engkau berkenan mencopotnya, kami sangat berterimakasih, tapi kalau engkau tidak mau, kamipun tahu siapa sebenarnya engkau. “

Demikianlah pengaduan dan sekaligus koreksi Saudah kepada Amirul Mukminin Muawiyah. Mendengar hal itu Muawiyah marah dan mengancamkan akan menghukum Saudah. Namun dengan penuh wibawa, kehormatan dan keberanian Suadah mengucapkan syair yang membuat Muawiyah berubah pikiran dan memgubah keputusannya. Tidak jadi menghukum Saudah.

Saudah mengatakan, ” Tuhan telah bershalawat kepada ruh hamba Nya, hingga beliau menjadi adil, tapi ruh itu kini telah menyatukan dengan tanah. Keadilanpun terkubur. Nabi selalu bersama kebenaran, dan tak akan melepaskannya, sehingga kebenaran dan keimanan adalah satu yang tidak akan terlepas. ”

Muawiyah penasaran tentang syair yang diungkapkan oleh Saudah, maka ia bertanya siapa orang dalam syair tersebut yang dipujinya.

Saudah menjelaskan dan menceritakan yang dimasud dalam syairnya adalah Ali bin Abi Thalib, yang telah menegakkan keadilan.

ketika ada pegawainya yang berbuat dzalim kepada rakyatnya. Kemudian Saudah mengadukan kepada Ali bin Abi Thalib, maka Ali bin Abi Thalib menangis, kemudian mengangkat tangannya untuk berdoa,” Ya Allah, Engkaulah saksi bagiku dan  bagi mereka. Aku tidak pernah menyuruh seorangpun untuk berlaku dzalim kepada makhluk Mu. Aku juga tidak pernah menyuruh mereka tidak melaksanakan hak Mu.”

Kemudian Ali bin Abi Thalib memgambil secarik kulit untuk menulis, diawali dengan menulis, ” Bismillahirrahmanirrahim. Telah turun ayat kepadamu, maka berlaku adillah.
” Syu’ib berkata, ” hai kaumku cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil dan janganlah kamu merugikan manusia atas hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi. Sisa ( keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman. Aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu ( Qs Hud : 85 -86). Setelah engaku baca suratku ini, tetaplah engkau dalam tugas yang aku berikan, hingga datang orang yang menggantikanmu.

Dengan surat itu, Saudah bisa mencopot pegawai yang telah berbuat dzalim kepada rakyatnya. Ali bin Abi Thalib tidak menghukum rakyat yang mengadukan kedzaliman pegawainya. Justru Ali bin Abi Thalib mencopot pegawainya tersebut.

Setelah mendengar cerita Saudah, Muawiyah menyuruh juru tulisnya agar menulis surat kepada gubernurnya supaya berlaku adil kepada Saudah, mengembalikan hartanya dan tidak mendzaliminya.

Ketika Saudah tahu bahwa surat itu hanya untuk dirinya. Maka iapun protes kepada Muawiyah, agar kebijakan tidak hanya untuk dirinya, namun juga untuk seluruh rakyat di daerahnya di Yaman. Saudah berkata, ” Jika hal itu hanya untuk diriku, sungguh merupakan kebijakan yang tercela dan mungkar . Kebijakan ini harus berlaku untuk seluruh kaumku, karena bukan hanya aku yang membutuhkan, tapi juga seluruh kaumku.

Muawiyah pun akhirnya memgabulkan permintaan Saudah. Agar gubernur Busr bin Ar tha’ah tidak berbuat dzalim kepada rakyat Yaman, berlaku adil dan mengembalikan hak-hak rakyat.

Sungguh Saudah adalah sosok muslimahbukan hanya pemberani, namun juga memiliki kepedulian yang tinggi, cerdas dan keimanan yang kokoh. Namanya selalu dikenang pada barisan muslimahtabi’in yang sikap dan perjuangannya patut diambil ibrahnya.

KHATIMAH

Belajar dari peristiwa sejarah ini. Kita bisa mengambil ibrah yang baik darinya Antara lain :
1. Dalam sistem yang baik, yakni sistem Islam, akan muncul banyak orang-orang baik, orang- orang yang punya idealisme tinggi, orang-orang yang berani mengoreksi kesalahan pemimpin. Termasuk para muslimah pun tak segan untuk melakukan amar makruf nahi munkar, dan mengoreksi penguasa yang dzalim. Sementara dipihak pemimpin, merekapun tidak sewenang-wenang menggunakan kekuasaan ketika diingatkan untuk kembali pada aturan Allah yang benar. Masing-masing baik rakyat dan pemimpin hanya menginginkan keridhaan Allah SWT, dengan patuh dan taat kepada Nya.

2. Kekhilafan adalah sistem pemerintahan dalam Islam, dan bagian dari ajaran Islam. Yang pelaksanaannya dilakukan oleh manusia. Dimana manusia memiliki nafsu dan ambisi. Oleh karena itu meski aturan dan sistem itu sempurna, dan bagus, namun ada peluang manusia menyelewengkannya.
Oleh karena itu, sebagai sistem yang sempurna, maka Islam mengatur mekanisme agar semua urusan pemerintahan berjalan sesuai ketentuan syariat. Islam mewajibkan para penguasa mengurusi dan melayani rakyat, menegakkan hukum dan keadilan sesuai syariat Islam. Disisi lain Islam juga mewajibkan kepada rakyat untuk taat kepada pemimpin selama pemimpin itu taat dan menjalankan hukum-hukum Allah. Dan Islam pun mewajibkan kepada umat melakukan amar makruf nahi munkar, termasuk melakukan muhasabah lil hukkam ( mengoreksi penguasa) yang berbuat kedzaliman. Bahkan ajaran Islam mendorong agar umat berani mengoreksi penguasa yang dzalim, dan memberikan pahala syurga bagi yang berani melakukannya. Rasulullah SAW bersabda

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَرَجُلٌ قَالَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ

“Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang berdiri dihadapan penguasa kejam, maka ia melarang dan memerintah(mengoreksi penguasa), namun penguasa itumembunuhnya.” (HR.  Ath Thabarani ).

3. Dalam hidup harus punya idealisme, peka terhadap keadaan, bergantung hanya kepada Allah SWT dan terus berusaha melakukan yang terbaik sesuai dengan ketentuan syariat Allah SWT, agar kebahagiaan dunia dan akhirat bisa diraih.

Dan masih banyak lagi ibrah yang bisa diambil dari setiap kisah. Waallahua’lam.