Oleh : Nabila Asy Syafii
MUQADIMAH
Suaramubalighah.com, Muslimah Inspiratif- Anak yang sholih terlahir dari kedua orangtua yang sholih. Dan ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Maka jika sekolah pertamanya mendidik ketaqwaan dan kesholihan, maka InSyaAllah anak-anaknya juga menjadi anak-anak yang sholih ataupun sholihah. Al Quran telah menentukan karekter seorang ibu yang baik dan sholihah, dalam firman Allah SWT
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ
” Maka wanita yang sholihah ialah yang taat kepada Allah lagi menjaga diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah menjaga mereka.” (QS. an Nisa : 34).
Ibu yang sholihah tentu akan menanamkan aqidah Islam yang kuat, mengajarkan untuk senantiasa terikat pada hukum Allah kepada anak-anaknya, semata hanya mengharapkan keridhaan Allah SWT.
Diantara wanita sholihah tersebut adalah ibunda Imam Syafi’i. Sungguh ibunda Imam Syafi’i memiliki kecerdasan dan ketajaman yang dalam memahami ayat-ayat Al Quran, disamping itu ia juga ahli ibadah, dan ketaatan kepada Allah SWT tidak diragukan lagi.
IBUNDA YANG SELALU MENJAGA
Tentunya sudah tak asing lagi bagi kalangan muslim nama Abu Abdullah Muhammad Idris Asy syafi’i atau dipanggil dengan Imam Syafi’i .
Imam Syafi’i adalah salah satu dari empat imam mazhab, beliau dikenal memiliki khazanah keilmuan yang sangat luas. Bahkan ijtihad dan kitab-kitabnya dipakai dan dipelajari oleh kaum muslim di dunia hingga saat ini.
Dibalik kesuksesan Imam Syafi’i ada seorang ibu yang mendidik dan membimbingnya dengan lembut, penuh kasih sayang dan bervisi Rabbani. Dialah, Fathimah binti Ubaidillah Azdiyah. Beliau berasal dari suku Al-Azd di Yaman. Garis keturunannya bersambung dengan Rasulullah Saw dari jalur Ubaidillah bin Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Saat usia 2 tahun, Imam Syafi’i telah menjadi yatim, ayahnya yakni Idris bin Abbas bin Usamah bin Syafi’i wafat. Sehingga ibunyalah yang menjaga, mendidik dan membesarkannya .
Ibunda Imam Syafi’i pun selalu menjaga asupan makan dan minum yang masuk ke tubuh anaknya adalah halal dan thayib.
Dikisahkan, suatu hari, ibunda Syafii meninggalkan Syafi’i kecil yang sedang tidur sendirian di rumah untuk pergi ke pasar. ketika Syafi’i kecil terbangun dan tidak didapati ibunya , ia pun menangis sejadi-jadinya, hingga tangisannya terdengar oleh seorang ibu, tetangganya. Melihat Syafii sendirian dengan tangisan yg pilu, ibu itu langsung mencoba menenangkan tangisian Syafi’i kecil dengan mencoba menyusuinya.
Sepulang dari pasar ibunda Syafii mengetahui hal tersebut. Maka Ibu Imam Syafi’i pun langsung memasukkan jari telunjuknya kedalam mulut Syafi’i kecil hingga kepangkal kerongkongan, mengangkat tubuhnya dan kemudian mengguncang-guncang perutnya, agar semua susu yang telah masuk ke dalam perut Syafi’i pada saat itu dapat termuntahkan kembali. Itu dilakukan karena ibunda Syafi’i khawatir jika terdapat unsur haram yang masuk ke tubuh Syafi’i melalui susu tetangganya tersebut.
Untuk masalah pendidikan, maka ibundanya Imam Syafi’i sangat memperhatikan dan mengutamakan pendidikan anaknya. Beliau rela pindah dari tempat tinggalnya di Gaza, Palestina ke Makkah, disamping itu Makkah adalah tempat tinggal ayahnya dulu, sanak kerabat ada di Makkah, sehingga bisa menyambung silaturahim.
Imam Syafi’i pun dikirim ibundanya ke suku Hudzail, di kota Mekkah untuk belajar bahasa arab fushah. Dalam riwayatnya, di jaman itu suku Hudzail terkenal dengan bahasanya yang fasih. Hal ini memberi pengaruh besar pada diri Syafi’i ketika ia dewasa. Sehingga Imam Syafi’i bukan saja masyhur dalam ketinggian ilmu agama, seperti fikih, ushul, hadis namun juga terkenal lewat bait sya’ir -sya’ir puisinya yang indah.
Imam Syafi’i telah mengkhatamkan hafalan Al-Qur’annya dengan fasih dan mutqin di usia 7 tahun. Pernah, pada suatu perjalan dari Makkah ke Madinah, Imam Syafi’i mengkhatamkan hafalan qur’annya sebanyak 16 kali, Tidak hanya hafal al Quran, Imam Syafi’i juga hafal kitab Al-muwatha’ karya Imam Malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan.
Pada umurnya yang ke-15, ia telah diangkat menjadi mufti kota Mekkah dan telah diizinkan untuk mengeluarkan fatwa.
BUKAN HARTA DUNIA YANG IBUNDA INGINKAN.
Nak, pergilah menuntut ilmu untuk jihad di jalan Allah Swt. Kelak kita bertemu di akhirat saja.” Perintah Ibunda Imam Syafi’i kepada Imam Syafi’i, sebelum perjalanan Imam Syafi’i menuntut ilmu
Imam Syafi’i pun berangkat dari Makkah ke Madinah belajar dengan Imam Malik bin Anas, kemudian ke Iraq. Di Iraq, Imam Syafi’i cukup lama. Imam Syafi’i tidak berani pulang ke rumah, selalu teringat pesan ibundanya (“Kelak kita bertemu di akhirat saja…”), sehingga sebelum ada izin dari Ibundanya, Imam Syafi’i tidak berani pulang ke rumah.
Imam Syafi’i menjadi ulama’ yang terkenal, muridnya banyak , majelis ilmunya tidak pernah sepi.
Suatu ketika ada halaqoh besar di Masjidil Haram. Makkah, Ada seorang ulama besar dari Iraq dalam perkataanya sering menyebut “Muhammad bin Idris al-Syafi’i berkata begini begini …”. Saat itu ibunda Imam Syafi’i hadir dalam halaqoh tersebut. Lantas Ibunda Syafi’i betanya, “Ya Syaikh, Siapakah Muhammad bin Idris al-Syafi’i itu?,” Sang Ibu bertanya.
Syaikh tersebut menjawab “Dia adalah guruku, seorang yang ‘alim, cerdas, sholeh yang berada di Iraq. Asalnya dari Mekkah sini,”
“Ketahuilah wahai Syaikh, Muhammad bin Idris al-Syafi’i itu adalah anak-ku,” jawab Sang Ibu.
Syaikh itu-pun kaget dan tercengang, seketika rombongan dari Iraq itupun menaruh hormat dan takzim kepada ibundanya Imam Syafi’i.
“Wahai ibu, sepulang dari haji ini kita akan kembali ke Iraq. Apa pesanmu kepada Imam al-Syafi’i?,” Kata Syaikh.
“Pesanku kepada Syafi’i, jikalau sekarang dia ingin pulang, aku mengizininya untuk pulang,” jawab Sang Ibu.
Sepulang dari haji, Syaikh beserta rombongan Iraq itupun menyampaikan pesan tersebut kepada Imam Syafi’i bahwa Ibundanya, telah mengizinkan beliau untuk pulang ke rumah. Mendengar kabar tersebut Imam Syafi’i sangat bahagia. Karena masih berkesempatan bertemu dengan sang Ibunda di dunia ini, walaupun sebelumnya ibundanya berkata “kita bertemu di akhirat saja….”.
Imam al-Syafi’i pun bersiap -siap untuk berangkat ke Makkah menjumpai ibundanya. Mendengar Imam Syafi’i akan ke Makkah, masyarakat yang mencintai dan mengagumi beliau, berbondong- bondong memberi bekal kepada beliau, ada yang memberi Unta, Dinar, dan lainnya. Walhasil, Imam al-Syafi’i pun pulang ke Makkah dengan membawa puluhan unta dan dikawal oleh beberapa murid beliau.
Sesampai di perbatasan kota Mekkah, Imam Syafi’i mengutus seorang muridnya agar mengabarkan kepada Ibundanya bahwa saat ini beliau sudah di perbatasan kota Mekkah. (Hal seperti ini termasuk sunnah, yakni mengabarkan ke rumah ketika seseorang mau pulang supaya pihak rumah mempersiapkan sesuatu, bukan membuat malah kejutan).
Kemudian, murid Imam al-Syafi’i-pun menjumpai Ibundanya Imam Syafi’i, dan mengabarkan bahwa putranya sudah ada diperbatasan kota Makkah.
Ibunda Syafi’i bertanya kepada murid tersebut, “Syafi’i membawa apa?”
“Imam al-Syafi’i pulang dengan membawa puluhan unta dan harta lainya,” Jawab murid tersebut .
Mendengar jawaban murid Imam al-Syafi’i yang lugu itu, Sang Ibu menutup pintunya sambil berkata, “Aku menyuruh Syafi’i ke Iraq bukan untuk mencari dunia! Beritahu kepada Syafi’i bahwa dia tidak boleh pulang ke rumah!”
Murid tersebut kembali kepada Imam Syafi’i dan menceritakan apa yang terjadi.
“Wahai Imam, Ibunda anda marah dan menyuruh anda untuk tidak boleh pulang ke rumah,” jawab santri penuh gemetar.
“Mengapa bisa demikian?,” tanya Imam al-Syafi’i.
“Wahai Imam, Sesungguhnya ibunda anda bertanya, Syafi’i membawa apa? Kemudian aku berkata bahwa Imam al-Syafi’i membawa puluhan unta dan kekayaan lainnya,” jawab santri itu.
“Sungguh kesalahan besar dirimu, jika engkau menganggap Ibundaku akan bahagia dengan harta yang kubawa ini.
“Sekarang bagikan semua unta dan kekayaan lainya pada penduduk Mekah, dan sisakan kitab-ku, setelah itu kabarkan lagi kepada Ibuku,” Perintah Imam al-Syafi’i kepada muridnya.
Murid Imam al-Syafi’i itu pun segera melaksanakan perintah sang guru. Kemudian ia kembali ke rumah Imam al-Syafi’i untuk menemui Sang Ibu. Dan mengabarkan bahwa Imam al-Syafi’i telah membagikan semua unta dan harta yang lainnya, yang dibawa Imam Syafi’i hanya kitab dan ilmu. Mendegar khabar itu, maka sang ibu mengijinkan Imam Syafi’i untuk pulang ke rumah.
Akhirnya Imam Syafi’i bisa berjumpa dengan sang ibu. Dan kebahagiaan pun menyertai mereka berdua.
IBUNDA YANG SHALIHAH LAGI CERDAS
Suatu hari Ibundanya Imam Syafi’i pernah menjadi saksi di depan hakim bersama Ummu Basyar al Marisi di Mekkah. Ketika hakim ingin menanyai keduanya secara terpisah ibundanya Imam Syafi’i berkata,” Wahai hakim, engkau tidak berhak melakukan hal itu karena Allah SWT telah berfirman,” Supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya “. Hakim kemudian tidak menanyai secara terpisah.
As Subki memberikan komentar atas kisah tersebut, sebuah ide yang brilian, kuat dan alternatif baru dalam penafsiran. Seperti diketahui madzab Imam Syafi’i , seorang hakim yang meragukan para saksi, dianjurkan menanyai saksi secara terpisah. Pendapat ibunda Imam Syafi’i ini kuat karena ada pengecualian atas saksi wanita. Pendapat nya bisa dibenarkan.
KHATIMAH
Demikian sepenggal kisah, betapa seorang ibu yang sholihah, mendidik anaknya menjadi sholih.
Oleh karena itu, jika menginginkan anak-anaknya sholih dan sholihah, maka dimulai dari kedua orang tua yang sholih dan sholihah. Selalu menanamkan, mengajarkan dan memberi contoh untuk patuh dan taat pada Allah dan Rasulullah. Senantiasa senang untuk menuntut ilmu terlebih ilmu agama, yang dengan ilmu agama, kita akan tahu tujuan hidup dan cara menjalani hidup di dunia ini.
Akhirnya untuk menjadi orang tua yang sholih dan sholihah, maka harus terus memproses diri menjadi baik, tentu baik dalam timbangan syariat Islam. Semoga Allah selalu memudahkan dan menolong kita untuk mampu menjadi orang tua yang shalih dan shalihah. Aamiin