MAKANAN HALAL KEBUTUHAN UMAT DAN TANGGUNGJAWAB NEGARA

  • Hadis

Oleh : Arini Retnaingsih

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا} وَقَالَ تَعَالَى {يَا أَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌوَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ.رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (thayyib), tidak menerima kecuali yang baik (thayyib). Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukminin seperti apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih.’ (QS. Al-Mu’minun: 51). Dan Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu.’ (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seseorang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dari yang haram, bagaimana mungkin doanya bisa terkabul.” [HR. Muslim, no. 1015]

Suaramubalighah.com, Hadist-Makanan halal adalah salah satu bagian dari syariat Islam.  Nash-nash tentang wajibnya seorang muslim hanya mengkonsumsi makanan yang halal adalah nash-nash yang qath’i, bersifat pasti karena bersumber langsung dari Kitabullah, Alquran. Misalnya firman Allah SWT :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi(QS Albaqarah : 168).

Para ulama umumnya membagi makanan halal ini dari dua aspek: dari cara memperolehnya dan dari dzatnya.  Bila cara memperolehnya dengan cara halal dan secara dzatnya juga halal, maka status makanan tersebut adalah halal. 

Halal tidaknya makanan yang dikonsumsi seorang muslim bukan hanya sekedar berpengaruh terhadap pahala dan dosa, namun juga membawa efek-efek samping lainnya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

”Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali neraka lebih utama untuknya.” (Riwayat At Tirmidzi).

Salah satu yang dipengaruhi oleh kehalalan makanan adalah terkabulnya doa.  Hadis riwayat Imam Muslimyang menjadi topik kita di atas, memberikan gambaran bagaimana seorang yang tidak menjaga makanan, minuman dan pakaiannya dari yang haram, maka Allah tidak akan mengabulkan doanya sekalipun ia terus meminta.  Sebaliknya, orang yang menjaga kehalalan makanannya baik dari dzat maupun dari mana makanan tersebut diperoleh, Allah akan menjadikan doa-doanya lebih mudah terkabul.

Saad bin Abi Waqqash, seorang shahabat yang Rasulullah saw katakan doanya maqbul, pernah ditanya seseorang, “Apa yang membuat doamu mudah dikabulkan dibanding para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya?” “”Perbaiki makananmu dan engkau akan menjadi orang yang mustajab doanya dikabulkan oleh Allah Subhanahu wata’ala”,jawab Sa’ad.

Imam Ahmad pernah ditanya, apa yang harus dilakukan, agar hati mudah menerima kebenaran, maka beliau menjawab,”Dengan memakan makanan halal.” Hal ini termaktub dalam Thabaqat Al Hanabilah (1/219).

Di masa sekarang ini, menjaga agar hanya makan makanan yang halal bukanlah persoalan yang mudah.  Kondisi perekonomian yang didominasi sistem kapitalis telah menjadikan kehidupan yang sulit bagi rakyat yang tidak memiliki akses modal.  Sementara yang punya modal, akan menempuh jalan apapun untuk bisa menguasai akses-akses ekonomi.  Maka tak sedikit orang menempuh cara-cara haram dalam mencari nafkah.  Suap-menyuap, korupsi, dan berbagai kecurangan lain ditempuh, termasuk melakukan tindak kriminal dalam mendapatkan harta.

Belum lagi dari sisi dzatnya.  Trend makanan di masyarakat telah bergeser pada menu-menu kontemporer seperti masakan-masakan asing dari negeri-negeri non muslim, dan lebih mendominasinya produk makanan industri.  Pergeseran ini membawa konsekuensi.  Umumnya menu-menu kontemporer lebih banyak menggunakan bahan-bahan tambahan pangan.  Tidak seperti opor atau rendang yang titik kritisnya hanya di masalah kehalalan bahan bakunya, produk-produk kontemporer titik kritisnya hampir merata di seluruh bahan yang digunakan.  Sebagai contoh, berbagai jenis masakan Jepang menggunakan sake dan mirin yang merupakan khamr.  Berbagai masakan China menggunakan angciu, dan masakan Eropa tak sedikit menambahkan wine, brandy, scotch dan semacamnya.  Bahan tambahan yang berfungsi memberikan aroma pada masakan ini, dihukumi sebagai khamr atau minuman keras yang diharamkan dalam Islam.

Belum lagi bahan-bahan seperti gelatin, pengemulsi, penyedap dan sebagainya yang banyak diproduksi dari bahan-bahan tidak halal seperti babi, darah, rambut manusia dan sejenisnya.  Kondisi ini membuat kaum muslimin menjadi sulit menjaga makanannya karena kebanyakan pengusaha makanan justru dari kalangan non muslim yang tidak peduli masalah halal.  Maka perlu adanya campur tangan kebijakan negara untuk memastikan bahwa hanya bahan-bahan halal yang boleh dijadikan bahan baku produksi.

Semestinya upaya untuk memberikan jaminan halal dalam produksi makanan ini menjadi tugas negara dalam rangka memberikan rasa aman pada umat.  Namun sampai sekarang, kepastian halal tersebut belum juga bisa didapat kaum muslimin.  Sekalipun UU Jaminan Produk Halal sudah mengamanatkan agar semua produk industri pangan mengacu pada ketentuan halal, dalam prakteknya masih banyak persoalan yang mengganjal penerapannya, sehingga kebijakan halal ini masih sebatas himbauan.

Ini sebagaimana yang tercermin saat Kementerian Agama mengajak pengusaha Indonesia untuk dapat mengembangkan produk halal. Ajakan ini disampaikan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Sukoso saat menjadi narasumber dalam International Webinar on Halal dengan tema “Prospects and Challenges of Halal Industry during the Covid-19 Pandemic” (https://kemenag.go.id/berita/read/513366/kemenag-ajak-pengusaha-kembangkan-produk-halal).

Semestinya yang dilakukan pemerintah bukan lagi mengajak, namun mewajibkan.  Islam telah menggariskan bahwa urusan umat semacam ini adalah tanggung jawab negara sebagai bagian dari perlindungan negara terhadap agama.  Rasulullah saw bersabda terkait dengan tanggung jawab pemimpin negara:

Sesungguhnya imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.“ (HR Muslim)

Imam adalah pengurus dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya.“ (Hr Muslim dan Ahmad).

Laits bin Abi Sulaim meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab pernah menulis surat kepada para wali yang memimpin daerah , memerintahkan  agar mereka membunuh babi dan membayar harganya dengan mengurangi pembayaran jizyah dari non muslim (Al Amwaal, Abu Ubaid hal. 265).  Ini dalam rangka melindungi umat dari mengkonsumsi dan memperjualbelikan zat yang telah diharamkan.

Negara kapitalis yang menjunjung tinggi kebebasan dalam realitanya tidak akan mampu untuk melaksanakan perlindungan sebagaimana ditetapkan Islam.  Negara semacam ini hanya mencari keuntungan dan membisniskan kepentingan warganya. Negara yang akan mampu mengemban amanah ini  hanya negara yang berpijak pada penerapan syariat Islam, Khilafah Islamiyyah