HARGA SEBUAH MATA DALAM SYARIAT ISLAM

  • Opini

Oleh : Wardah Abeedah

Suaramubalighah.com, Opini – Di sebagian kalangan thullabul ilmi, nama Qadli Syuraih tentunya sudah tak asing. Salah satu tabi’in yang menjadi qadli (hakim) di masa kekhalifahan Amiirul mukminin Umar bin Khattab hingga khalifah Ali bin Abi Thalib ra. ini, terkenal dengan kisahnya yang memenangkan lelaki Yahudi di atas khalifah Ali dalam kasus persengketaan perisai, atau dalam riwayat lain, persengketaan baju besi. Nama Qadli Syuraih mewangi hingga kini. Namanya selalu disebut setiap ulama mencontohkan keadilan hukum dalam sistem Islam, atau dalam catatan emas sejarah khilafah Islam. Sang Qadli adil ini bahkan pernah memenjarakan anaknya sendiri yang menjamin seorang fakir yang berhutang namun tak sanggup membayar hutang tersebut.

Figur Qadli Syuraih nampaknya langka di negeri berbentuk republik sekuler. Beberapa hari yang lalu, tagar #GaSengaja heboh di jagat twitter. Tagar ini menjadi trending setelah diputuskannya vonis 1 tahun penjara pada pelaku penyiraman air keras pada Novel Baswedan. Banyak tokoh nasional mengecam vonis tersebut. Mereka menyebut hal ini bukti menjadi bukti bobroknya hukum dan mahalnya keadilan di negeri yang sudah 70 tahun lebih menerapkan demokrasi ini.

Diantara yang meringankan hukuman pelaku adalah pengakuan tak sengaja, padahal begitu banyak fakta yang bisa dipergunakan untuk mengingkarinya. Pengabdian pelaku selama 10 tahun di institusi kepolisian juga turut meringankan hukuman tersebut. Meski pelaku orang yang faham hukum, korban adalah penyidik dari institusi yang melawan korupsi -sebuah kriminalitas besar yang masih menjadi PR besar di Indonesia-, apalagi akibat perbuatan pelaku adalah cacatnya wajah dan mata, namun hal ini sama sekali tak menjadi pertimbangan hakim untuk memutuskan hukuman yang membuat jera.

Ya, nampaknya keadilan memang begitu langka di negara manapun demokrasi tegak. Baru saja heboh kasus kematian George Floyd oleh polisi yang memantik protes besar ketidak adilan dan perilaku rasis polisi AS selama ini, di Indonesia kembali ketidakadilan hukum menghebohkan seantero negeri.

Islam Mewujudkan Keadilan

Berbeda halnya dengan penetapan hukum dan sistem peradilan dalam demokrasi. Hukum Islam digali dari Alquran, as-Sunnah dan apa yang ditunjukkan keduanya dari ijma’ dan qiyas. Sumbernya adalah wahyu, metode penggaliannya juga tasyri’i melalui ijtihad syar’i.

Dalam hal uqubat atau sistem sangsi, sangsi dibagi menjadi empat macam ; yaitu hudud, jinayat, ta’zir, dan mukhalafat. Hudud adalah sangsi – sangsi atas kemaksiatan yang telah ditetapkan kadarnya (dan menjadi) hak Allah. Ta’zir adalah sangsi bagi kemaksiatan yang di dalamnya tidak ada had dan kafarat. Adapaun mukhalafat adalah uqubat yang dijatuhkan oleh penguasa kepada orang yang menentang perintah penguasa (baik khalifah atau lainnya seperti wali, muawwin/wazir, dll) yang memang berwenang memberi perintah. Sedangkan jinayat adalah pelanggaran terhadap badan yang didalamnya mewajibkan qishash atau harta (diyat). Juga bermakna sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap tindak penganiayaan.

 Pencideraan terhadap mata, sebagaimana kasus Novel Baswedan termasuk dalam jinayat yang mewajibkan pembayaran diyat dengan kadar sesuai ketentuan syariah bagi korban. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,

 Dari Abu Bakar bin Muhammad bin “Amril bin Hazm dan’ bapaknya dari kakeknya

Bahwa Rasulullah saw. telah menulis surat kepada penduduk Yaman. Di dalam surat tersebut di tulis, “Barangsiapa terbukti membunuh seorang wanita mukmin, maka ia dikenai qawad (qishash), kecuali dimaafkan oleh wali pihak yang terbunuh. Diyat dalam jiwa 100 ekor unta, Pada hidung yang terpotong dikenakan diyat, pada lidah ada diyat, pada dua bibir ada diyat, pada dua buah pelir dikenakan diyat, pada penis dikenai diyat, pada tulang punggung dikenakan diyat, pada pada dua biji mata ada diyat pada satu kaki ‘/2 diyat, pada ma’mumah ( luka yang sampai selaput batok kepala) 1/3 diyat, pada jaifah (luka yang dalam) 1/3 diyat, pada munaqqilah (luka sampai ke tulang dan mematahkannya) 15 ekor unta, pada setiap jari kaki dan tangan 10 ekor unta, pada gigi 5 ekor unta, pada muwadldlihah (luka yang sampai ke tulang hingga kelihatan) 5 ekor unta, dan seorang Iaki-laki harus dibunuh karena membunuh seorang perempuan, dan bagi pemilik emas, 1000 dinar. (HR an-Nasa’iy)

Atas dasar hadis di atas, sanksi atas penyerangan anggota badan adalah diyat, atau irsiy, bukan yang lain. Begitu pula sangsi bagi pencideraan organ mata. Dalam hadis lain yang diriwayatkan Imam Malik dalm Muwattha’nya, Rasulullah ﷺ juga bersabda,

وفي العين الواحدة خمسون من الإبل

“Pada satu biji mata, diyatnya 50 ekor unta”

Jika hilangnya penglihatan telah terbukti, dan ahli mata menyatakan penglihatannya tidak ada harapan pulih seperti semula, maka pelaku wajib dikenai separuh diyat, yakni membayar 50 unta bagi korban.

Inilah salah satu hikmah syariah terkait uqubat dalam Islam. Penerapan syariah bertujuan untuk menjaga nyawa hifdzun nafs, termasuk menjaga organ tubuh manusia. Syariah mengatur sempurna penjagaan dan pemeliharaan nyawa, juga kesehatan tubuh. Mengharamkan puasa wishal dan hal lain yang dapat memudharatkan tubuh. Begitu pula mengharamkan mendatangkan mudharat bagi tubuh orang lain.

Selain itu, sistem peradilan dalam Islam diatur sempurna hingga terwujud keadilan sebagaimana tercatat dalam tinta emas sejarah, ketika khilafah rasyidah yang pertama tegak berabad lalu. Sistem itu tegak tanpa memandang muslim atau kafir dzimmiy yang menjadi warga negara khilafah. Pun tanpa melihat ras, suku, dan lainnya. Bahkan masyhur bagaimana Kanjeng Nabiﷺ  berikrar, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, maka pasti aku potong tangannya. Sabda ini menjadi sebuah prinsip bagi pemimpin dan qadli berikutnya dalam menegakkan keadilan ketika menerapkan sistem peradilan/sangsi dalam Islam. Allahu a’lam.