Arini Retnaningsih
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim”
(HR. Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 3913)
Suaramubalighah.com, Hadist-Ilmu merupakan hal yang pokok bagi umat Islam dalam beragama, beramal dan beraktivitas. Para ulama memahami betul urgensi ilmu ini sehingga seringkali pembahasan dalam kitab-kitab karya mereka didahului dengan bab ilmu, seperti Imam Ibnu Qudamah dalam kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin. Imam Bukhari dalam kitabnya Shahih Al-Bukhari, membuat bab tersendiri tentang ilmu yaitu Bab “Al-‘Ilmu Qabla Al-Qaul wa Al-‘Amal” (ilmu sebelum berkata dan beramal).
Perkembangan ilmu di masa kejayaan Islam berlangsung pesat. Ilmu-ilmu terkait fikih telah berkembang di abad ke-2 H, dan disusul dengan berkembangnya berbagai cabang ilmu lain selama 14 abad Islam menguasai hampir 2/3 dunia.
Perkembangan ilmu yang sangat pesat,
ditunjang oleh ajaran Islam yang mengagungkan ilmu dan mengembangkan budaya
keilmuan secara massif. Perintah Allah
SWT dan Rasul-Nya dalam Alquran dan Assunnah untuk menuntut ilmu menjadi
motivasi utama. Dalam Alquran, Allah
memuji orang-orang yang berilmu, di antaranya firman-Nya:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.“ (Al Mujadilah : 11).
Hadis yang menjadi topik pembahasan kita, menegaskan bahwa hukum menuntut ilmu adalah wajib bagi seluruh kaum muslim. Ini juga menjadi motivasi besar bagi umat untuk belajar dan mengembangkan ilmu.
Para pemikir Islam, membagi ilmu penjadi 2 macam, sebagaimana Ibnu Khaldun dalam Kitab al-Muqaddimah, yakni ilmu thabi’i (alamiah) di mana manusia mendapatkannya melalui pemikirannya, dan ilmu naqly yang diperoleh manusia dari Yang Membuatnya. Ilmu ini bersandar pada berita-berita dari sumber-sumber syara’(Shahib al-Kutb, 2019, Warisan Peradaban Islam, PTI, Bogor). Dalam perkembangan berikutnya, kata ilmu terus mengalami pergeseran makna, sehingga Syeikh Taqyuddin An Nabhani membaginya menjadi ilmu dan tsaqofah untuk menghindari kekaburan makna. Menurut beliau, ilmu adalah pengetahuan yang diambil melalui cara penelaahan, eksperimen dan kesimpulan. Sedangkan tsaqofah adalah pengetahuan yang diambil dari berita-berita, periwayatan dan istinbath (penggalian/penarikan kesimpulan) (An Nabhani, 2003, Syakhshiyah Islamiyah jil.1).
Perkembangan kedua jenis ilmu ini juga didukung oleh budaya keilmuan yang dikembangkan oleh sistem Islam yang diterapkan saat itu dalam institusi Khilafah Islamiyah. Umar bin Khaththab, diriwayatkan menggaji guru-guru yang mengajar anak-anak sebesar 15 dinar, setara dengan 63,75 gram emas. Dengan asumsi harga emas saat ini Rp 900.000,00 per gram, maka gaji guru senilai 57,3 juta rupiah per bulannya.
Para khalifah dalam sepanjang sejarah Islam juga mendirikan berbagai sekolah dan perguruan tinggi yang masyhur dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Hebatnya, semua sistem pendidikan ini disediakan negara secara gratis. Saat Eropa terpuruk dalam Abad Kegelapan di masa pertengahan, sistem Islam bersinar dengan keilmuannya. Robert Briffault dalam buku Making of Humanity menyatakan:
Setelah terus menerus mengalami kemunduran, Eropa terperosok dalam masa kegelapan, kebodohan dan keterbelakangan. Sedangkan pada saat yang sama, kota-kota Sarasin (istilah untuk menyebut kaum muslim) seperti Baghdad, Kairo, Cordova dan Toledo menjadi pusat peradaban dan aktivitas pendidikan…( Shahib al-Kutb, 2019, Warisan Peradaban Islam, PTI, Bogor).
Maka terasa ironis dalam dunia Islam saat ini, ketika sistem Islam tidak lagi diterapkan, ilmu dan tsaqofah mandek perkembangannya. Umat dipaksa tunduk dengan ilmu-ilmu dari Barat, yang dulu bersumber dari literatur-literatur Islam. Kewajiban menuntut ilmu, sekarang berubah tujuan. Bukan lagi upaya untuk menjalankan kewajiban dalam agama sehingga meraih ridha Allah dan kebesaran Islam, tetapi semata-mata hanya orientasi dunia: untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan.
Pendidikan akhirnya hanya menjadi salah satu alat kapitalis untuk menghasilkan tenaga kerja sesuai dengan spesifikasi yang mereka butuhkan, serta alat mengeruk keuntungan. Biaya pendidikan melambung. Bahkan negara ikut terseret arus kapitalisasi ini dengan mencabut subsidi bagi perguruan-perguruan tinggi negeri. Maka PTN mau tidak mau harus membebankan biaya pendidikan kepada para mahasiswa. Kebijakan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT), terasa semakin mencekik. Bahkan di masa pandemi ini, UKT bukannya turun, tetapi semakin naik. Dengan alasan kenaikan UKT ini sudah ditetapkan sebelum masa pandemi, beberapa kampus ngotot tetap tetap menaikkan UKT seperti Undip dan Univ Tadulako sekalipun ramai diprotes oleh mahasiswanya.
Dengan kondisi mahalnya biaya pendidikan, tak banyak dari kalangan umat yang mampu untuk menikmati fasilitas pendidikan yang memadai. Hadis Rasulullah saw tentang wajibnya menuntut ilmu bagi muslim juga tidak bisa dijalankan secara sempurna. Fungsi negara yang meriayah (mengurus) kepentingan rakyat sudah hilang seiring dengan bergantinya sistem pemerintahan Islam menjadi negara kapitalis-sekuler.
Maka merealisasikan kewajiban menuntut ilmu dalam hadis Nabi saw di atas, meniscayakan perlunya mengembalikan sistem Islam dalam kehidupan, karena hanya dalam Islamlah, pemimpin menjadi pengurus dan pelayan umat sebagaimana sabda Rasulullah saw :
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim). WaAllahu A’lam