MENUNTUT KEADILAN DALAM DEMOKRASI BAGAI MENCARI JARUM DI TUMPUKAN JERAMI

  • Opini

Oleh: Etti Budiyanti

Komunitas Muslimah Rindu Jannah

Suaramubalighah.com, Opini-Bagai mencari jarum di tumpukan jerami. Itulah gambaran mencari keadilan di era demokrasi selama ini. Irasional, sekadar memenangkan kemauan penguasa.

Hal itulah yang bisa dirasakan saat Jaksa Penuntut Umum memutuskan hukuman satu tahun penjara bagi dua orang pelaku penyiram air raksa ke muka Novel Baswedan. Air raksa yang mengakibatkan netra kiri Novel Baswedan menjadi buta. Keputusan yang menurut Jaksa Penuntut Umum karena ketidaksengajaan pelaku. Keduanya dinilai melanggar pasal 353 ayat 2 KUHP juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sungguh tak bernalar.

Tak heran bila pengamat politik Rocky Gerung mengibaratkan air keras yang digunakan pelaku saat menyiramkan ke mata penyidik KPK Novel Baswedan adalah air keras kekuasaan. Untuk itu, ia meminta agar mata publik tidak buta dengan proses peradilannya.

Hal ini disampaikan oleh Rocky Gerung pasca menyambangi kediaman Novel Baswedan bersama sejumlah tokoh lainnya di Jalan Deposito T8, RT 03/10, Kelapa Gading, Jakarta Utara pada Minggu, 14 Juni 2020.

“Saya sengaja datang ke sini, sengaja untuk melihat apa di balik butanya mata Pak Novel ini. Kita tahu Pak Novel sendiri sudah tidak peduli dengan butanya mata dia karena sudah bertahun-tahun. Jadi yang bahaya hari ini adalah tuntutan jaksa ini sebagai air keras baru buat mata publik dan mata keadilan,” jelas Rocky, Minggu 14 Juni 2020.

Rocky menilai tuntutan satu tahun oleh JPU dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap terdakwa pelaku merupakan tuntutan yang irasional. Untuk itu, pihaknya menggalang gerakan dengan menamai sebagai ‘New KPK’ untuk menghalangi mata publik dibutakan oleh air keras kekuasaan.

“Itulah yang mau kita halangi, supaya mata publik jangan jadi buta akibat tuntutan jaksa yang irasional. Karena itu teman-teman saya undang ke sini dan kita sepakat untuk membuat gerakan melindungi mata publik dari air keras kekuasaan. Itu intinya,” katanya.

+++

Kasus Novel Baswedan itu merupakan satu contoh betapa compang-campingnya peradilan di Indonesia.

Tentu saja putusan Jaksa Penuntut Umum ini menuai berbagai respons   masyarakat, antara lain:

Pertama, peradilan  tampak irasional dan cenderung sekadar memenangkan keinginan penguasa. Terbukti tidak terungkap siapa sebenarnya aktor di balik layar. Semua ini akibat sanksi dalam sistem kapitalis dibuat berdasar akal manusia yang lemah. Tanpa bimbingan wahyu, produk hukum buatan akal manusia pastilah akan menghasilkan pertentangan, kesengsaraan dan keresahan terus menerus.

Kedua, akibat tuntutan yang ringan itu, tak ada efek jera bagi pelaku kejahatan dan peneror anggota KPK yang lain. Hal ini akan memungkinkan semakin meningkatnya  pelaku kejahatan dan teror. Mereka bisa bebas dan tidak  takut untuk menduplikasi  perbuatannya. Baik kepada anggota KPK hingga    pimpinan KPK yang berjuang dalam memutus mata rantai korupsi.

Ketiga, kasus ini membuktikan bahwa aspek kekuasaan demokrasi baik legislatif, eksekutif dan yudikatif, gagal memberantas  korupsi yang menggurita serta  mewujudkan tegaknya keadilan di negeri ini.

Keempat, hal ini kembali membuka mata rakyat, bahwa mencari keadilan dalam rezim demokrasi berbasis sekuler-kapitalis hanyalah ilusi semata.

+++

Keadilan dalam demokrasi hanyalah ilusi. Utopis. Hal ini disebabkan:

Pertama, legislator (pembuat hukum) dalam sistem demokrasi adalah manusia yang sifatnya lemah dan memiliki banyak kekurangan. Karena itu produk hukum yang dihasilkan pun pasti mengandung kelemahan, kekurangan dan tidak melampaui zaman.

Kedua, standar yang digunakan dalam membuat UU adalah akal manusia berdasarkan suara terbanyak. Kebenaran diukur dari berapa banyak produk hukum tersebut mendapatkan persetujuan. Jika disetujui mayoritas anggota parlemen, berarti produk hukum tersebut dianggap benar dan layak diberlakukan. Meskipun bertentangan dengan hukum Allah Swt. Namun,   meskipun disetujui mayoritas anggota parlemen bukan berarti disetujui mayoritas masyarakat, karena anggota parlemen itu mewakili partai politik, bukan rakyat. Tak jarang kebijakannya banyak yang tidak sejalan dengan harapan rakyat.

Ketiga, akal manusia tidak akan mampu menentukan bahwa suatu perbuatan terpuji atau tercela, termasuk dalam kejahatan atau bukan, berimplikasi pahala atau dosa.

Keempat, hukum yang dibuat manusia akan sangat subyektif dan pasti membawa kepentingan para pembuatnya.

+++

Jika sistem demokrasi tak mampu menghadirkan keadilan yang nyata, lalu di mana lagi kita bisa mendapatkannya? Jawabnya ialah hanya dalam sistem Islam.

Sistem Islam dibangun berdasar akidah Islam bahwa Allah-lah yang menciptakan manusia dan juga aturannya. Sehingga Dia-lah satu-satunya yang berhak membuat hukum. Oleh karena itu sistem sanksi atau uqubat tidak bisa lepas dari paradigma ini.

Dalam Islam, pelaksanaan sanksi (uqubat di dunia) menjadi tanggung jawab khalifah atau yang ditunjuk mewakilinya. Jadi negaralah yang melaksanakannya.

Sanksi dalam Islam, di dunia berfungsi untuk mencegah (jawazir) yakni mencegah orang-orang melakukan tindakan dosa dan kriminal. Selain itu menjadi jawabir yakni menggugurkan sanksi akhirat bagi pelaku kriminal setelah dikenai sanksi di dunia.

Bentuk sanksi dalam Islam dibagi 4:

1. Hudud

2. Jinayat

3. Ta’zir

4. Mukhalafat

Masing-masing memiliki kriteria dan sanksi sendiri-sendiri.

Terkait kasus penyiraman air keras hingga mengakibatkan cacat permanen, maka dalam pandangan Islam, ini merupakan tindak kriminal dengan sanksi jinayat.

Jinayat merupakan tindak pencederaan terhadap jiwa hingga hilangnya nyawa. Sanksi yang akan diberikan adalah hukum qishash. Namun, jika pihak keluarga korban memaafkan, hakim tidak bisa memberikan sanksi dan pelaku diwajibkan membayar diyat.

Diyat adalah membayarkan sejumlah harta sebagai kompensasi pencederaan badan atau timbulnya kematian. Diyat untuk nyawa adalah 100 unta atau 1000 dinar.  Sedangkan untuk pencederaan badan nilainya sesuai dengan kerusakan fungsi organ atau badan serta anggota badan yang dicederai, sebagaimana di banyak hadis. Konstitusi (dustur) dalam Islam diadopsi dengan ketentuan bahwa  Al-Qur’an, As Sunah, Ijma’ sahabat dan Qiyas merupakan sumber hukum yang diakui oleh syara’. Begitu juga mazhab fiqih Islam seperti Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hambali, menjadi referensi penting dalam mengadili dan membuktikan perkara.

Oleh karena itu, hakim selain wajib merujuk Al-Qur’an dan hadis juga perlu merujuk kita-kitab ulama klasik, memperhatikan pandangan dan ijtihad ulama mazhab agar tidak keliru menjatuhkan vonis. Karenanya dalam sistem Islam, hakim atau qadhi harus berderajat ulama yaitu orang yang alim (mengetahui) akan syariah penerapan hukum Islam dalam ranah praktis. Sehingga dalam sistem Islam, keadilan dalam peradilan adalah sebuah keniscayaan. Sangat berbeda dengan sistem demokrasi. Keadilan dalam peradilan sungguh utopis.

Wallahu a’lam bishshawab.