Sanksi bagi Penganiayaan Anggota Tubuh menurut Syariat Islam

Oleh : Najmah Saiidah

Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar – Beberapa hari lalu kita dikejutkan oleh berita bahwa Jaksa penuntut umum perkara penyiraman air keras Novel Baswedan menuntut kedua terdakwa hanya dengan 1 tahun penjara, dalam pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (11/6/2020).  Ahmad berdalih berdasarkan fakta persidangan, kedua terdakwa tidak terbukti memiliki niat atau adanya unsur kesengajaan untuk melukai Novel sebagaimana dalam Pasal 355 KUHP. Berdasar fakta persidangan diketahui bahwa kedua hanya ingin memberikan pelajaran, lantaran Novel dianggap sebagai orang yang lupa terhadap institusi Polri.

Sebagaimana diketahui, Novel disiram air keras pada 11 April 2017 setelah menunaikan shalat subuh di Masjid Al Ihsan, tak jauh dari rumahnya. Akibat penyerangan tersebut, Novel mengalami luka parah pada matanya yang menyebabkan gangguan penglihatan, bahkan disebutkan dalam tuntutan jaksa tersebut  mengakibatkan tidak berfungsi mata  sebelah kiri hingga cacat permanen (bbc.com/In donesia)

Dari kasus ini saja, kita bisa menilai bahwa penegakan hukum di Indonesia semakin tidak karuan.  Manusia menjadi sumber hukum, siapa yang kuat dialah yang menang.  Akal manusia dibiarkan bebas untuk menghukumi tanpa ada sandaran yang jelas.  Memang seperti inilah negeri yang telah dikuasai oleh sistem kapitalis sekuler, sistem yang menjadikan manfaat sebagai asas.  Sistem buatan manusia, sudah barang tentu banyak kelemahan di sana sini.  Sudah saatnya kita campakkan sistem rusak ini dan  menggantinya dengan sistem Islam.  Sistem yang datang dari Allah Al-Khaliq Al-Mudabbir, sistem yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan akhirnya akan menentramkan jiwa.

Islam Saja !

Berbeda dengan kapitalisme, yang terbukti telah gagal memberikan ketentraman dan keamanan bagi manusia, Islam sebagai diin yang sempurna mampu memberikan ketentraman dan keamanan, karena Islam berasal dari Allah SWT, Pencipta manusia, yang Maha Mengetahui apa yang tepat untuk manusia.  Islam telah memberikan aturan yang sangat lengkap yang menjaga manusia dari kerusakan, baik untuk individu, masyarakat maupun bangsa. Islam diturunkan Allah  sebagai rahmat bagi seluruh alam, firman Allah SWT yang artinya :” Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk( menjadi) rahmat bagi semesta alam”(TQS.al-Anbiyaa’ :107).Rahmat Islam hanya bisa dirasakan ketika ajaran Islam secara kaafah diterapkan dalam kehidupan, bukan hanya sebatas teori yang dipelajari dalam kajian akademis, juga bukan sekedar penerapan  hukum yang bersifat parsial.  Ajaran Islam harus dilaksanakan secara utuh dan menyeluruh. Sehingga akan mewujudkan ketentraman dan keamanan bagi seluruh manusia.

Islam mengharuskan umat Islam untuk terikat dengan aturan dari Allah SWT dan RasulNya, tanpa kecuali.  Islam sebagai aturan kehidupan yang diturunkan oleh Allah Swt merupakan aturan yang paripurna, yang menyelesaikan setiap persoalan manusia secara menyeluruh, tuntas dan sempurna. Dalam  Islam,  yang halal dan haram sangat jelas dan tidak akan lekang oleh waktu serta tidak tergantung pada pendapat penduduk bumi.  Syariat Islam sangat menjaga jiwa dan kehormatan umatnya bahkan manusia seluruhnya, Tidak akan dibiarkan satu nyawa manusia melayang tanpa hak, tidak ada seorangpun yang boleh dianiaya orang lain tanpa hak.  Karenanya barang siapa yang melanggar jiwa dan kehormatan manusia, ia akan diberikan sanksi yang setimpal.  Demikian halnya yang saat ini terjadi, sesungguhnya ia akan dijatuhi sanksi, apakah sengaja atau tidak sengaja, karena telah menganiaya orang lain.   Bagaimana Islam mengatur masalah ini ?

Sistem Sanksi Dalam Islam

Sistem sanksi dalam Islam dikenal dengan istilah Al-‘uquubah. Al’uquubah adalah bentuk jamak dari al-‘iqaabAl-‘iqaab merupakan bentuk isim dari ‘aaqaba–yu’aaqibu–‘iqaab wa mu’aaqabatan. Menurut Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab, dikatakan man ‘aaqabahu ‘iqaaban aw mu’aaqabatan bidzanbin wa ‘ala dzanbin artinya akhadzahubihi (menindak/menghukumnya karenanya) wa iqtashshaminhu (menuntut qishash darinya). 

Secara istilah, para fuqaha berbeda-beda dalam mendefinisikan al-‘uquubah.  Al-Mawardi dalam Al-Ahkâm as-Sulthaniyah menyebut ‘uquubah dalam kitab huduud sebagai pencegah (zawâjir) yang ditetapkan oleh Allah SWT untuk mencegah apa yang Allah larang dan mendorong apa yang Allah perintahkan.  Abdul Qadir Awdah dalam bukunya, Tasyrî’ al-Jinâ’i al-Islâmî (I/524), mendefinisikan ‘uquubah sebagai balasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan jamaah (masyarakat) terhadap orang yang menyalahi ketentuan Asy-Syaari’.  Dr. Yusuf bin Abdullah ash-Shubili dalam Fiqh al-Jinâyât (hlm. 1) menyebutkan, al-‘uquubaat adalah implikasi atas kejahatan, baik kejahatan jina’iyah ataupun haddiyah. Para fuqaha mendefinisikan al-‘uquubat sebagai balasan yang dijatuhkan pada orang yang melakukan kejahatan atas dosa yang dialakukan sebagai sanksi atas dirinya dan pencegahan atau penghalang untuk orang yang lain dari tindak kejahatan.

Dari paparan tersebut, ‘uqubat merupakan balasan atas keburukan, yaitu sanksi atas kemaksiatan atau kejahatan.  ‘Uqubat merupakan implikasi dari kejahatan yang dilakukan.  Sanksi atau uqubat  disyariatkan memiliki hikmah sebagai zawâjir dan jawâbir,yakni sebagai pencegah dan penebus.  Sebagai zawâjir artinya ‘uqubat disyariatkan untuk menghalangi manusia dari tindak kejahatan (QS al-Baqarah: 179).

Dalam Kitab Nizham al-’Uquubat karya Dr. Abdurrahman al-Maliki, sanksi dibagi menjadi empat: (1) huduud; (2) jinayah; (3) ta‘zir; dan (4) mukhalafatHuduud adalah sanksi atas kemaksiatan yang macam kasus dan sanksinya telah ditetapkan oleh nash. Dalam kasus hudûd tidak diterima adanya pengampunan, sebab hudûd adalah hak Allah Swt.  Jinayah adalah penyerangan terhadap manusia. Jinâyât dibagi dua:  penyerangan terhadap jiwa (pembunuhan); penyerangan terhadap organ tubuh.  Ta‘zir adalah sanksi atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak had dan kafarah. Pada dasarnya, sanksi ta‘zîr ditetapkan berdasarkan pendapat atau ijtihad seorang qadhi dengan mempertimbangkan kasus, pelaku, politik, dan sebagainya.  Mukhalafat   adalah pelanggaran terhadap ketetapan yang dikeluarkan oleh Negara, baik yang berwujud larangan maupun perintah.

Dari penjelasan ini, maka kita bisa masukan  kasus yang menimpa Novel Baswedan masuk dalam sanksi jinayat, bagaimana Islam mengaturnya ?

Jinayat Bagi Pelaku Kriminal

Dalam kitabnya Nizham al-’Uquubaat, Dr. ‘Abdurrahman al-Maliki menyatakan bahwa Jinayah bermakna penganiayaan terhadap badan, harta atau jiwa.  Sedangkan menurut istilah, jinayat adalah pelanggaran terhadap badan yang di dalamnya mewajibkan qishash atau harta (diyat). Juga bermakna sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap tindak penganiayaan.   Jinayat dibagi dua: (1) penyerangan terhadap jiwa (pembunuhan); (2) penyerangan terhadap organ tubuh. Jika kita kategorikan, maka kasus yang sedang kita bahas berkaitan dengan yang kedua.

Jinayat terhadap organ tubuh atau jinayat selain jiwa, baik terhadap organ tubuh maupun tulang, atau atas kepalanya atau atas bagian dari tubuh manusia dengan sebuah pelukaan.  Sebagian fuqoha mendasarkannya pada QS Al-Maaidah : 45 :

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ ۚ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

         “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”

Dr. ‘Abdurrahman al-Maliki,  dalam kitab Nizhâm al-’Uquubaat, menjelaskan bahwa  ayat ini tidak tepat dijadikan pijakan untuk masalah ini, karena ayat ini turun untuk Bani Israil.  Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan asbabun nuzul ayat ini, bahwa ayat ini turun terkait celaan terhadap orang-orang Yahudi, di mana bagi mereka seperti yang tertera di dalam kitab Taurat, bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, sedangkan mereka melanggar ketentuan hukum tersebut secara sengaja dan penuh keingkaran.  Sehingga khithab bagi mereka, bukan khithab bagi kaum muslimin.   Sehingga berlaku kaidah “Syar’u man qoblana laysa syar’an lanaa” (syariat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita).  Yang benar adalah jinayat selain jiwa tidak diistidlalkan dari ayat ini, akan tetapi disandarkan kepada riwayat yang disebutkan dalam hadits-hadits, di antaranya :   Dari `Amru bin Hazm bahwa Rasullullâh SAW menulis untuknya, dalam ditulisan itu, “Pada hidung yang terpotong diyatnya utuh, pada lidah diyatnya utuh, pada kedua bibir diyatnya utuh, pada dua buah biji dzakar diyatnya utuh, pada batang kemaluan diyatnya utuh, pada shulb (tulang syaraf reproduksi) diyatnya utuh, pada kedua mata diyatnya utuh, dan pada satu kaki diyatnya setengah ”

Dari Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW telah menulis surat kepada penduduk Yaman. Di dalam surat tersebut di tulis, “Barangsiapa terbukti membunuh seorang wanita mukmin, maka ia dikenai qawad (qishash), kecuali dimaafkan oleh wali pihak yang terbunuh. Diyat dalam jiwa 100 ekor unta, Pada hidung yang terpotong dikenakan diyat, pada lidah ada diyat, pada dua bibir ada diyat, pada dua buah pelir dikenakan diyat, pada penis dikenai diyat, pada tulang punggung dikenakan diyat, pada pada dua biji mata ada diyat pada satu kaki ‘/2 diyat, pada ma’mumah (luka sampai selaput batok kepala) 1/3 diyat, pada jaifah (luka yang dalam) 1/3 diyat, pada munaqqilah (luka sampai ke tulang dan mematahkannya) 15 ekor unta, pada setiap jari kaki dan tangan 10 ekor unta, pada gigi 5 ekor unta, pada muwadldlihah (luka yang sampai ke tulang hingga kelihatan) 5 ekor unta, dan seorang Iaki-laki harus dibunuh karena membunuh seorang perempuan, dan bagi pemilik emas, 1000 dinar. (HR An-Nasa’iy)

Dalam hadis lain, Rasulullah SAW juga bersabda :  “Pada dua biji mata, dikenakan diyat”.  “Pada satu biji mata, diyatnya 50 ekor unta. Pada dua daun telinga dikenakan diyat penuh”

Dari penjelasan hadits-hadits tadi,  Syekh Abdurrahman Al-Maliki menyimpulkan  bahwa sanksi terhadap perusakan organ tubuh manusia adalah diyat.Diyat adalah tebusan, besarnya 100 ekor unta, sebagaimana dijelaskan dalam hadits An-Nasaiy di atas.  Tidak ada qishash perusakan terhadap organ tubuh maupun tulang secara mutlak, kecuali pada kasus penyerangan terhadap gigi, dan kasus jarh (pelukaan di badan). Hanya saja, kasus penyerangan gigi atau jarh bisa saja dikenai diyat. Lebih lanjut, syekh Abdurrahman Al-Malikiy menjelaskan bahwa kadar diyat atas penyerangan badan dan kepala ada yang telah ditetapkan di dalam as-Sunnah, ada pula yang belum ditetapkan. Jika telah ditetapkan dalam as-Sunnah, diyatnya sesuai dengan apa yang disebut dalam ;misalnya pada kasus jaifah dan pelukaan terhadap kelamin anak perempuan yang masih kecil. Adapun kasus penyerangan terhadap badan yang kadar diyat-nya tidak disebutkan oleh as-Sunnah, maka sanksinya adalah hukumah yang adil.

Terkait organ di kepala, syekh Abdurrahman AL-Malikiy menjelaskannya sangat rinci beserta dalil-dalinya.  Terkait dua biji mata, jika terjadi penyerangan akan dikenakan diyat.  Untuk satu biji mata dikenakan ½ diyat, berdasarkan hadits : “Pada dua biji mata ada diyat”. Hadits lainnya : Pada satu biji mata, diyatnya 50 ekor unta”.  Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara dua biji mata yang besar atau yang kecil, cantik atau jelek, juling atau tidak.  Selama kedua mata memiliki putih mata. Bila sampai mengurangi penglihatan mata, maka setiap pengurangannya dikenai diyat menurut kadar pengurangannya. Demikian halnya dengan 2 pelupuk mata,  setiap biji mata memiliki 2 pelupuk mata, jadi seluruhnya empat pelupuk mata. Dari penjelasan hadits-hadits terdahulu, bila terdiri dari 2 organ, maka dikenakan ½ diyat (untuk masing-masing organnya), dan jika lebih dari 2, maka diyatnya setara dengan bagian-bagian organ yang dimilki.  Maka untuk setiap pelupuk mata dikenakan ¼ diyat. Sedangkan diyat penuh adalah 100 ekor unta.

Khatimah

Demikianlah, telah sangat jelas, bahwa aturan Islam dengan sangat rinci mengatur urusan kehidupan. Mampu memelihara jiwa dan memberikan keamanan bagi rakyatnya, sehingga dijauhkan dari sifat aniaya. Sebaliknya sistem demokrasi kapitalis sekuler  adalah sistem yang gagal memberikan kesejahteraan dan rasa aman bagi rakyatnya. Tidak layak bagi umat Islam sebagai khayru ummah untuk menerapkannya.  Karena itu tidak layak terus dipertahankan dan dibela, sebaliknya harus segera ditinggalkan dan dicampakkan.  Jalan satu-satunya mengembalikan kemuliaan umat sekaligus meraih kesejahteraan, keamanan  dan kebahagiaan hakiki hanyalah dengan mencampakkan aturan-aturan hidup sekuler dan kembali kepada sistem Islam. Karena Islam, baik pada tataran konsep maupun praktek telah terbukti mampu menjadikan umat Islam sebagai umat terbaik, dimana setiap orang akan  mampu merasakan kesejahteraan dan keamanan di bawah naungannya selama rentang waktu yang sangat panjang. Wallahu a’lam bishawwab.