GUGAT CERAI SAAT PANDEM MENINGKAT, BAGAIMANA HUKUM ISLAM MEMANDANGNYA?

  • Hadis

Oleh : Arini Retnaningsih

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا فِى غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ

Wanita mana saja yang meminta talak (cerai) tanpa ada alasan yang jelas, maka haram baginya mencium bau surga.” (HR. Abu Daud no. 2226, Tirmidzi no. 1187 dan Ibnu Majah no. 2055).

Suaramubalighah.com, Hadist-Angka perceraian selama masa pandemi di berbagai daerah meningkat dengan tajam.  PA Bandung mencatat, jumlah gugatan yang masuk per-bulannya yakni pada Maret sebanyak 433 gugatan, April 103 gugatan, Mei 207 gugatan dan Juni sampai tanggal 24 mencapai 706 gugatan.  Rupanya begitu New Normal diberlakukan, tak sedikit pasangan yang langsung mengajukan perceraian.1

Angka perceraian masyarakat khususnya di Ibu Kota Jakarta juga meningkat selama masa pandemi. Memasuki New Normal atau memasuki minggu ketiga Juni 2020, terdapat 300 gugatan yang dilayangkan oleh masyarakat. Di mana 80 persennya adalah gugatan perceraian.Merosotnya perekonomian nasional akibat virus corona ditengarai menjadi alasan seseorang untuk menggugat cerai suami atau istri mereka.2

Di Kabupaten Purwakarta, pada bulan mei terdapat 81 perkara yang masuk ke Pengadilan Agama, sementara baru pertengahan bulan Juni sudah mencapai 136 perkara, dengan rincian 104 perkara gugatan dan 32 perkara permohonan.3

Tak berbeda dengan Cianjur. Sejak New Normal, jumlah pendaftar gugatan dalam satu hari mencapai 50 orang. Hingga kini, terdaftar 2.029 perkara gugatan cerai karena alasan ekonomi.Kasus gugat perceraian ini hampir 80 persen didominasi kaum wanita.4

Solusi kapitalisme dalam menghadapi pandemi terbukti telah memunculkan berbagai persoalan baru. Kesalahan dalam melakukan pembatasan, subsidi setengah hati yang tidak merata dan salah sasaran, serta kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat, menciptakan tekanan ekonomi yang berat bagi masyarakat.  Kemiskinan dan pengangguran meningkat.  Para suami tidak bisa menafkahi keluarga dengan layak, dan tak jarang melakukan kekerasan kepada istri atau anak.  Inilah yang menjadi alasan bagi para istri mengajukan gugat cerai.

Tingginya angka perceraian di masa pandemi ini membahayakan bangunan institusi keluarga sebagai benteng pertahanan terakhir dalam melawan upaya perusakan massif terhadap generasi. Perceraian, akan berimbas pada kehidupan anak-anak, membuat mereka semakin sulit mendapat lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang fisik dan jiwa mereka.

Islam, sebagai agama paripurna, memberikan perhatian besar terhadap keluarga.  Salah satunya dengan mengatur masalah perceraian.  Islam menjadikan hak talak di tangan suami, dengan dua kali talak yang masih bisa dirujuk kembali, dan talak ketiga yang mengharuskan berpisahnya suami istri.  Hak talak ini merupakan alternatif terakhir ketika semua jalan perdamaian sudah ditempuh tetapi tidak menghasilkan solusi.

Termasuk hukum penjagaan keluarga adalah dilarangnya istri memegang hak talak.  Sifat perempuan yang lebih mendahulukan perasaan, boleh jadi akan membuat talak mudah sekali jatuh bila diserahkan ke tangan mereka.  Namun, kehidupan rumahtangga kadang tak seindah kehidupan melodrama.  Ada kondisi-kondisi yang membuat istri tidak bahagia dengan rumahtangganya sehingga Allah memberikan hak khulu’, yakni mengugat cerai kepada hakim dengan membayarkan tebusan kepada suaminya.

Sekalipun demikian, Allah mengingatkan para istri untuk tidak mudah meminta cerai.  Dalam hadis Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah di atas, Allah mengancam para istri yang mengajukan gugat cerai tanpa alasan yang dibenarkan dengan tidak akan mencium bau surga. 

Syaikh Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, Penulis Tuhfah al-Ahwazi, menjelaskan tentang makna diharamkannya bau surga baginya yaitu dia dilarang menciumnya. Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini, apakah si istri yang minta cerai tersebut tidak bisa mencium wangi surga pada waktu tertentu, atau dia tidak dapat mencium wangi surga pada awal pertama kali orang-orang yang berbuat baik dapat menciumnya, atau bahkan dia tidak dapat mencium wangi surga sama sekali. (Aunul Ma’bud, Kitab ath-Thalaq, Bab “Fil Khulu’”)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Kedatangan berita yang berisi tarhib (menakut-nakuti atau mengancam) istri yang minta cerai dari suaminya, dibawa kepada keadaan di mana si istri minta cerai tanpa ada sebab yang menuntut hal tersebut.” (Fathul Bari, 9/314)

Lalu apakah yang dimaksud dengan ‘alasan yang tidak diperkenankan’ seperti tersebut dalam hadits? Yaitu, si istri meminta cerai bukan karena dia berada dalam suatu kesempitan atau kesulitan yang sangat yang memaksanya untuk meminta berpisah. (Tuhfah al-Ahwazi, Kitab ath-Thalaq, Bab “Ma Ja’a fi al-Mukhtali’at”)

Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab AnNizhamu Al Ijtima’iy menjelaskan kondisi yang membolehkan seorang istri mengajukan khulu’ atau gugat cerai adalah sebagai berikut :

1. Jika suami memberikan pilihan talak di tangan isteri. Suamiboleh menjadikan urusan talak berada di tangan isteri karenaRasulullah SAW pernah memberikan pilihan (khiyâr) kepadaisterinya untuk bercerai atau tidak. Juga karena adanya Ijma’Sahabat atas hal itu.

2. Jika isteri mengetahui bahwa suaminya memiliki cacat sehinggatidak dapat melakukan senggama, seperti impoten atau telahdikebiri, sedangkan isteri tidak memiliki cacat semacam itu. Diriwayatkan bahwa Ibn Mundzirtelah menikah dengan seorang wanita, sedangkan ia sendiri telahdikebiri. ‘Umar kemudian bertanya kepadanya: “Apakah engkausudah memberi tahu isterimu?” Ia menjawab: “Belum.” ‘Umarberkata: “Beritahu dulu isterimu, kemudian biarkan ia memilih (antara bercerai atau tidak)”.

3. Jika tampak bagi sang isteri –baik sebelum maupun sesudah terjadipersetubuhan– bahwa suaminya mengidap suatu penyakit yangtidak memungkinkan bagi dirinya tinggal bersama suaminya itutanpa membahayakan dirinya, seperti: penyakitlepra, AIDS, TBC, atau penyakit lainnya yang serupa.Khiyâr (pilihan)yang diambil isteri berlaku permanen, bukan bersifat temporer(sementara). Hal ini didasarkan pada kaidah syariah tentang bahaya(qâ’idah adh-dharar) dan karena mempertimbangkan riwayat yangterdapat di dalam kitab al-Muwaththa’, karya Imam Mâlik, bahwabeliau menerima riwayat dari Sa‘îd ibn al-Musayyab, ia berkata:

Pria mana saja yang telah menikahi seorang wanita, sementaradengan pernikahan itu bisa menyebabkan gila atau(mendatangkan) bahaya, maka isterinya berhak memilih, jika iamau ia boleh tetap tinggal bersama suaminya, dan jika ia ingin iaboleh bercerai.

4. Jika suami gila setelah akad nikah. Hal ini didasarkan pada riwayat dalam kitabal-Muwaththa’ tersebut di atas.

5. Jika sang suami melakukan perjalanan (safar) ke suatu tempat, baikdekat maupun jauh, lalu ia menghilang dan tidak ada kabar-beritanya, sementara isterinya terhalang untuk mendapatkannafkahnya, maka isteri berhak menuntut pemisahan dari suaminyasetelah berusaha keras mencari dan menemukan suaminya.

Ketentuan ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW berkenaandengan seorang isteri yang berkata kepada suaminya:

“Berilah aku makan (nafkah). Jika tidak, ceraikan aku.” (HR ad-Daruquthni dan Ahmad)

6. Jika suami tidak memberi nafkah isterinya, padahal suami mampu,dan isterinya mengalami kesulitan memperoleh harta suaminyauntuk keperluan nafkah dengan berbagai macam cara, maka isteriberhak menuntut perceraian. Qâdhî wajib menceraikannya darisuaminya saat itu juga tanpa menunda-nundanya. Sebab,Rasulullah SAW telah bersabda:

“Isterimu termasuk orang yang menjadi tanggunganmu. Iamengatakan: “Berilah aku makan. Jika tidak, ceraikan aku!” (HRad-Daruquthni dan Ahmad)

7. Jika di antara suami-isteri terjadi pertentangan dan persengketaan yang menghilangkan sakinah dalam rumahtangga,maka isteri berhak menuntut perceraian dengan suaminya. Namun sebelumnya wajib menentukan hakam (juru damai) dari pihakisteri maupun dari pihak suami. Majelis keluarga inilah yang akanmendengarkan pengaduan dari kedua belah pihak danmengerahkan segenap daya upaya untuk mengadakan perbaikan/perdamaian. Allah SWT berfirman:

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seoranghakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itubermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufikkepada suami-isteri itu.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 35)

Meski demikian, keputusan atas gugatan istri ini tetap berada di tangan suami, kecuali bila perkaranya sudah masuk kepada hakim, maka hakim atau qadhi dapat memaksa sang suami tersebut untuk menceraikan istrinya. Dijelaskan dalam sebuah hadits : “Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya istri Tsâbit bib Qais mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai, Rasulullah. Aku tidak mencela Tsâbit bin Qais pada akhlak dan agamanya, namun aku takut berbuat kufur dalam Islam,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apakah engkau mau mengembalikan kepadanya kebunnya (yang sebelumnya diberikan sebagai mahar, pen)?” Ia menjawab,”Ya,” lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada suaminya: “Ambillah kebunnya, dan ceraikanlah ia”. [HR al-Bukhari]

Khulu’ ini diperbolehkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah ketika ada sebab. Dalam al-Qur’an, kita dapati penyebutannya dalam ayat berikut.

“Jika kalian khawatir keduanya (suami istri tersebut) tidak dapat menegakkan batasan-batasan atau hukum-hukum Allah, tidak ada dosa bagi keduanya terhadap tebusan yang diberikan istri kepada suaminya.” (al-Baqarah: 229)

Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fathul Baari, bahwa istri Tsabit tidak menginginkan pisah dari suaminya karena akhlak suaminya yang buruk dan tidak pula karena agamanya yang kurang. Tapi karena suaminya berparas jelek dan tidak menyenangkan hatinya sehingga ia merasa jijik dan tidak ada rasa suka kepadanya.

Kemudian dia mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam karena takut akan terjerumus ke dalam kekufuran karena rasa tidak suka yang ada dalam dirinya sehingga melakukan sesuatu yang bisa menciderai pernikahannya. Ia tahu bahwa hal itu haram sehingga takut kebenciannya mendorongnya ke dalam keharaman tersebut. (Diringkas dari Fathul Baari: 9/399)

Dalam kondisi suami tidak memberikan nafkah, istri memang boleh mengajukan khulu’. Apalagi jika dikaitkan dengan pandemi, kesulitan ekonomi dirasakan oleh hampir setiap orang karena buruknya penanganan negara. Namun demikian, jika istri masih bisa bersabar dan berharap ridha Allah dengan tetap menjaga keluarganya tentu ini lebih utama.

Para istri harus memperkuat iman dan tawakalnya kepada Allah, karena sesungguhnya hanya Dia yang mengatur rizki manusia.  Dan tentu juga dengan menguatkan dakwah dan muhasabah kepada penguasa untuk mengambil solusi penanganan wabah sebagaimana yang sudah ditetapkan Allah melalui rangkaian syariatnya dalam bidang ekonomi, kesehatan, politik dan pemerintahan secara utuh. Waallahu a’lam