Oleh : Sulistiawati Ummu Aisyah
Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar – Pancasila bagi bangsa Indonesia dijadikan sebagai dasar negara karena dianggap merupakan hasil kesepakatan dari proses musyawarah founding fathers, para ulama, dan pejuang kemerdekaan dari seluruh pelosok Nusantara. Sebagai hasil kesepakatan, maka tidak diperbolehkan adanya perubahan atau pergantian.
Menanggapi hal ini, ada poin-poin yang perlu diperjelas dalam pernyataan tersebut yaitu bagaimana Islam memandang kesepakatan dan musyawarah.
Kesepakatan Dalam Islam
Kesepakatan sama dengan kedudukan akad dalam Islam. Dan ia wajib untuk dipenuhi bagi pihak pihak yang berakad.
Secara umum, Al Qur’an telah memerintahkan hal ini.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ ۗ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.(QS Al Maidah:1)
Lafazh إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيد oleh Imam Ath Thabari ditafsirkan sebagai berikut :
“Innallaha yahkumu maa yuriid, adalah sesungguhnya Allah menetapkan apa yang Ia kehendaki untuk ciptaanNya, memberikan penjelas untuk hamba hamba Nya,mewajibkan segala kewajiban, menetapkan had-had-Nya, memerintahkan agar hamba-Nya taat, dan mencegah maksiyat pada hamba-Nya.”
Dari sini dipahami secara jelas, bahwa akad atau kesepakatan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam.
Dalam hadits Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, Nabi s.a.w. bersabda:
اَلصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.
“Perjanjian boleh dan bebas dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
Jadi kesepakatan yang bertentangan dengan Islam,bisa diubah, bahkan harus dibatalkan.
Musyawarah dalam Pandangan Islam
Sedangkan musyawarah adalah pengambilan pendapat yang dipimpin oleh orang yang memiliki wewenang (shahibu ash shalahiyat) . Bisa oleh Khalifah atau Amir, atau siapa pun yang memiliki wewenang. Bisa juga dilakukan oleh komandan pasukan, sebagai wujud tanggung jawab kepemimpinannya.
Dalam prosesnya, musyarwarah termasuk aktivitas nasihat, yaitu terjadi penyampaian pendapat kepada pihak yang memiliki wewenang. Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Daari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin, serta bagi umat Islam umumnya.” [HR. Muslim, no. 55]
Penjelasan Imam Al Khatthabi tentang nasihat,
“Nasihat adalah kalimat ungkapan yang bermakna untuk mewujudkan kebaikan kepada yang ditujukan nasihat.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:219)
Pengambilan pendapat inilah yang disebut dengan syura dan tasawur.
Dalam pandangan Islam, musyawarah dilakukan hanya sesama umat Islam.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.(QS Ali Imran:159)
Ayat ini ditujukan untuk Rasulullah SAW, dan kata mereka dalam ayat ini merupakan kata ganti dari kaum muslimin, sehingga musyawarah dibatasi hanya pada sesama kaum Muslim.
Dalam ayat musyawarah berikut :
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.(QS Asy syura:38)
Sifat sifat yang disebutkan hanya ada pada kaum muslim.
Dengan demikian syura adalah khusus bagi kaum muslim dan sesama mereka. Bahkan syura di kalangan kaum muslim adalah perkara yang masyhur dan telah diketahui.
Abu Hurairah ra berkata:
Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih banyak musyawarahnya dari pada Rasulullah SAW terhadap para sahabatnya (HR Al Baihaqi)
Hadis dari Hassan ra:
Tidaklah suatu kaum bermusyawarah kecuali mereka memperoleh petunjuk agar urusan mereka mendapatkan bimbingan.
Adapun jenis pendapat yang dimusyawarahkan digolongkan menjadi 4 macam.
Pertama,pendapat tentang hukum Syara’.
Maka rujukannya adalah Al Qur’an dan As Sunnah sebagai pendalilan. Jika terdapat perbedaan, maka akan merujuk kepada argumentasi yang lebih kuat secara pendalilan. Ini dilakukan oleh Rasulullah SAW saat perjanjian Hudaibiyah. Beliau SAW sama sekali tidak memperhatikan pendapat terbanyak. Karena ini berkaitan denga wahyu. Jenis ini tidak membutuhkan suara terbanyak.
Kedua, tentang terminologi (definisi) suatu perkara.
Contoh ketika mendefinisikan apakah an nahdhoh (kebangkitan). Apakah kebangkitan terjadi dengan meningkatnya taraf ekonomi suatu bangsa,atau terjadi dengan meningkatnya aspek pemikiran? Atau apakah sebuah negara akan melakukan manuver politik, atau militer, atau dilakukan keduanya? Maka pendapat jenis ini harus dikembalikan pada yang definisi yang benar. Sama sekali suara mayoritas tidak dibutuhkan.
Ketiga,pendapat suatu topik keahlian yang dipahami oleh pakarnya.
Maka perkara seperti ini harus dikembalikan kepada pendapat yang benar. Ini pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika menyetujui pendapat seorang sahabat saja yaitu Hubab Al Munzhirdalam menentukan tempat pos pasukan dalam perang Badar. Ia memberikan masukan berdasarkan kepakarannya dalam strategi perang. Pendapat mayoritas tidak ada tempat dalam jenis ini.
Dan keempat, pendapat yang mengarah pada beberapa aktivitas yang akan dilaksanakan.
Di sinilah diperlukan suara mayoritas. Bahkan Rasulullah SAW pun tidak akan menyalahi pendapat mayoritas.
Seperti sabda Rasulullah SAW kepada Abu Bakar dan Umar:
Jika kalian berdua sepakat dalam satu hasil permufakatan, maka aku tidak akan bertentangan dengan kalian berdua (dikeluarkan oleh Ahmad dan Ibnul Ghanim Al Asy’ari).
Bagaimana dengan non muslim? Mereka tidak dilibatkan dalam musyawarah, namun mereka diperbolehkan untuk menyampaikan pendapat melalui wakil-wakil mereka.
Jika dilihat dari kemunculannya, maka sejatinya Pancasila bukanlah proses musyawarah yang sesuai dengan Islam. Ini karena Pertama, awal pembentukannya dilakukan oleh sebuah badan yang di dalamnya hanya ada ketua badan yang tidak memiliki wewenang kepemimpinan (laa sholahiyata lahu) , selayaknya Khalifah atau pemimpin pasukan.
Kedua, jika dilihat dari jenis pendapat, maka ia masuk katagori pertama,yaitu pendapat yang berkaitan dengan hukum syara’ karena berkaitan dengan landasan negara. Tidak ada artinya suara mayoritas di dalamnya. Karena yang menjadi penentu adalah Syariah Islam,bukan suara terbanyak.
Ketiga, keanggotaan badan persiapan kemerdekaan itu,bukanlah semuanya Muslim. Sehingga tidak sah dikategorikan sebagai musyawarah. Karena musyawarah hanya dilakukan sesama kaum Muslim.
Dari paparan tersebut, tidak tepat mengatakan pancasila adalah kesepakatan hasil musyawarah untuk menjadi landasan negara. Terlebih negara adalah pelaksana syariat Islam sehingga harus berdiri di atas landasan (pondasi) yang kokoh yakni aidah Islam. Sebagaimana pendapat Imam Al-Ghozali, “Agama merupakan dasar, sedangkan negara adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh, dan dasar tanpa penjaganya akan hilang”. (Ihya’ Ulumuddin, Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali). wa Allahu A’lam