Oleh :Wardah Abeedah
Suaramubalighah.com,Opini- Amiirul mukminin Umar bin Khattab ra. berkata, “Demi Allah, di masa jahiliyah dulu, kami tidak pernah mempertimbangkan ide atau saran yang berasal dari kaum wanita, sehingga Allah menurunkan ayat berkenaan dengan hak mereka, dan Dia membagi hak yang dibagikan-Nya.” Kalimat ini hanyalah sedikit dari potongan hadis panjang terkait tafsir surat at-Tahrim ayat 1-2 yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya.
Dari riwayat di atas dan membaca sirah zaman jahiliyah, bisa kita fahami bagaimana kedatangan Islam bukan hanya membahagiakan kaum miskin, budak, atau tak bernasab tinggi. Namun kedatangan Islam juga menjadi rahmat bagi kalangan perempuan. Dalam surat An-Nahl ayat 58-59 Alquran mengisahkan bagaimanapara lelaki Arab di masa jahiliyah teramat malu ketika diberi kabar kelahiran anak perempuan. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan atau menguburnya hidup-hidup.
Tak hanya di Arab, perempuan dunia di masa itu tak kalah merananya. Bangsa Yunani dan Romwai kuno hanya menganggap perempuan sebagai pemuas birahi dan penerusketurunan, mereka tak memiliki hak milik, hak pendidikan, bahkan masa sebelum masehi di Romawi juga terbiasa membunuh bayi perempuan atau dibiarkan hidup untuk dijual di rumah bordil . Aristoteles menganggap perempuan sederajat dengan hamba sahaya. Di India, “ajal” perempuan ditentukan kematian suami. Tradisi Sati mengharuskan mereka terjun ke dalam kobaran api yang membakar jasad suaminya.
Jauh sebelum pejuang feminis menyuarakan pemenuhan hak wanita dan kesetaraan gender, Islam telah menjelaskan relasi pria dan wanita dengan benar dalam banyak nash. Penjelasan yang membahagiakan dan memuliakan kaum hawa sesuai fitrah penciptaannya. Membawa perubahan besar dalam sejarah perempuan di dunia. Islam memliki perspektif khas terhadap gender laki-laki maupun perempuan. Perspektif yang tak subyektif, apalagi asumtif. Dalam annisa ayat 1 dan ali imran 195, Islam memandang baik laki-laki atau perempuan dilihat sebagai manusia ciptaan Allah. Allah SWT telah mengatur kehidupan manusia (baik laki-laki atau perempuan) secara adil dan seimbang. Sebagai manusia, Allah menilai kemuliaan dengan standar yang sama; yakni ketakwaan, bukan berdasarkan gender. Sebagai manusia, Allah juga membebankan kewajiban yang sama apapun gendernya. Sama-sama wajib shalat, puasa, zakat, haji, dll. Pahala yang diberikan juga tak dibedakan berdasarkan gender.
Meski begitu, tak bisa dipungkiri secara fitrah penciptaan, tubuh laki-laki dan perempuan diciptakan berbeda,pun begitu hormon dan tabiat mereka. Wanita memilki rahim, bisa memproduksi ASI. Sedangkan laki-laki diciptakan lebih berotot, dengan dada lebih bidang, dan beberapa perbedaan lainnya. Perbedaan alamiah ini tentunya menjadikan mustahil terwujudnya kesetaraan dalam semua hal. Oleh sebab itu, Allah sebagai pencipta laki-laki dan perempuan tak selalu menyamakan taklif hukum laki-laki dan perempuan. Adakalanya Allah membebankan hukum yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan berdasarkan fitrahnya. Dalam taklif hukum yang berbeda inilah, acapkali syariah Islam diserang pejuang kesetaraan gender.
Berikut diantara hukum syara’ terkait perempuan yang sering disalahfahami kaum feminis beserta penjelasannya :
Pertama, Kewajiban utama sebagai ibu. Peran ibu acapkali diremehkan kaum feminis. Karena faham feminis ini bagian dari ideology kapitalis skuler yang memandang kemuliaan dan kebahagiaan adalah ketika eksistensi terwujud dan meraih materi sebanyak-banyaknya. Sebagai ibu, wanita memiliki hak dan kewajiban hadlanah atau pengasuhan terhadap anaknya ketika berusia dini (sekitar 0-6 tahun sebelum mumayyiz). Hadlanah merupakan hak anak agar dia terhindar dari kebinasaan. Penanggungjawab utama terhindarnya anak dari kelaparan, sakit dengan memenuhi kebutuhan fisiknya seperti makan, minum, tidur, membersihkan ketika buang hajat, secara teknis adalah ibu. Sebagai penanggungjawab utama, ibu bisa meminta bantuan ayah.
Diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dengan menukil dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ada seorang wanita yang mengadu kepada Rasulullah ﷺ : “Wahai Rasulullah, anak ini dulu pernah menjadikan perutku sebagai wadahnya, payudaraku sebagai sumber minumnya dan kamarku sebagai rumahnya. Kini ayahnya telah menceraikanku dan ingin merampasnya dariku.” Rasulullah ﷺ bersabda kepada wanita ini “Kamu lebih berhak terhadapnya selama kamu belum menikah lagi“. (HR Abu Daud, Ahmad dan Al-Baihaqi)
Meski begitu, yang wajib memenuhi nafkah berupa faslitas kebutuhan hadlanah seperti rumah nyaman untuk anak, pakaian, makanan, dan kebutuhan lainnya adalah ayah. Ibu berkewajiban mengasuh anak agar hak terkait kebutuhan tubuh anak terpenuhi sehingga anak bisa hidup dengan sehat dan menjadi mukmin kuat, bukan generasi lemah sabagaimana disebutkan dalam nash.
Dalam hal pendidikan, maka sejak 0 tahun hal itu menjadi kewajiban bersama ayah dan ibu. Ayah wajib terlibat langung dalam mendidik anak, bukan sekedar memenuhi fasilitasnya. Sebagian ulama ketika mentafsiran at-tahrim ayat 6 menjelaskan bahwa ,emjaga keluarga dari api neraka maksudnya adalah mengajari dan mendidik keluarga. Bahkan Alquran banyak mengisahkan pendidikan ayah terhadap anak, seperti kisah Luqman, Nabi Ibrahmi,hingga nabi zakariya, dibanding kisah penididkan ibu.
Menyiapkan SDM yang baik bagi planet Bumi bukanlah tugas remeh. Ini adalah peran mulia yang dibebankan Allah kepada para wanita. Oleh sebab itu, Allah meninggikan derajat Ibu dengan menyebutkan surga ada di telapak kakinya (anggota tubuh yang mungkin paling tak dimuliakan dan paling tak diperhatikan para wanita), Allah juga meletakkan berbakti pada ibu tiga tingkat di atas ayah. Ada banyak nash terkait keutamaan hamil, melahirkan, menyusui, hingga mengasuh dan mendidik anak. Syariat juga memberikannya rukhsah untuk mengganti puasa ketika hamil atau menyusui. Ketika wanita haid atau nifas, dia tak boleh shalat dan puasa, namun tak perlu mengqadla’ shalatnya.
Kedua, Kewajiban menafkahi ada pada pundak lelaki. Hal ini juga acapkali menjadi alasan feminis menyerang syariah Islam. Sebab pandangan feminis yang egosentris. Mereka rabun dekat terhadap hak anak, demi sebuah eksistensi persaingan dengan lelaki. Demi tuntutan kesetaraan, bahwa perempuan mampu mencapai apa yang dicapai lelaki.
Dalam Islam, sejak lahir hingga wafat, wanita tak pernah wajib menafkahi dirinya sendiri. Nafkahnya ditanggung oleh ayahnya sebelum dia menikah. Jika dia yatim, maka nafkahnya ditanggung walinya, kakek dari ayah, saudara laki-laki, paman dari ayah, dst. Jika semua ashabah (kerabat lelaki dari pihak ayah) tak ada, maka nafkahnya ditanggung oleh negara. Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ وَمَنْ تَرَكَ كَلًّا فَإِلَيْنَا
“Siapa yang (mati) meninggalkan harta maka hartanya itu untuk ahli warisnya dan siapa yang meninggalkan keluarga yang miskin maka menjadi tangungan kami” (HR.Bukhari).
Ketika perempuan menikah, nafkahnya ditanggung suami. Meski begitu, Islam tak melarangnya bekerja. Bagi muslimah, bekerja hukumnya mubah atau boleh. Islam juga melindungi hak miliknya. Perempuan berhak memiliki harta dan tak wajib menafkahkannya untuk suami atau keluarganya. Meski begitu syariah memmbolehkannya bershadaqah untuk keluarga, sebagaimana hadis tentang izin Rasulullah bagi istri Ibnu Mas’ud untuk membayarkan zakat bagi suaminya.
Ketika syariah memberikan perempuan hak kepemilikan harta dan tak wajib menafkahi diri sendiri dan keluarganya, maka menjadi tenteram hati para wanita dalam pembagian waris, yang menetakan hak waris anak perempuan separuh waris anak lelaki.
Ketiga, Qawwamah laki-laki. Surat an-Nisa 34 acapkali membuat feminis marah. Mereka tak berheti mencari penafsiran yang pas dengan standar akal mereka. Frasa وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ (karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka) dijadikan illat sehingga ayat tersebut mengandung hukum menjadikan qawwamah berada di tangan siapapun yang mampu menafkahi. Padahal ayat tersebut justru tegas menjelaskan suami adalah qawwam dalam rumah tangga. Pembagian ini bukannya bias gender, atau tafsir kelaki-lakian. Makna qawwam bukanlah tukang perintah, bukan pula raja yang titahnya wajib ditaati secara mutlak bak tuhan. Dalam banyak pennjelasan ulama, qawwam adalah memimpin, wajib menafkahi, bertanggungjawab, pengurus, mengayomi, melindungi, adil, memberi sangsi jika nusyuz.
Dalam hal keharaman perampuan menjadi pemimpin atau penguasa, maka ini terdapat dalam hadis dari Abi Bakrah berkata bahwa Nabi ﷺ. bersabda tentang negeri Persia yang dipimpin oleh putri Kisra:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَة
“Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang urusannya diserahkan kepada wanita” (HR al-Bukhari)
Hadis ini sekalipun bentuknya khabar (pemberitahuan), tetap berfaedah larangan untuk memberi kekuasaan kepada wanita. Adanya dzam (celaan) berupa lan yufliha (tidak akan pernah beruntung) sebagai qarînah menunjukkan bahwa larangan tersebut tegas/pasti (jâzim). Dengan demikian haram bagi wanita menjabat sebagai hukkâm . [Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyyah, II/31-32]
Keharaman memimpin ini terkait dengan hukkam, yakni berkaitan dengan jabatan kekuasaan. Antara lain ; Khalifah (Kepala Negara Khilafah), Mu’awin (Pembantu Khalifah), Wali (Gubernur), Qadi qudat (Pemimpim para qâdhi/ hakim), Qâdhi Mazhâlim (Qâdhi/Hakim yang mempunyai kewajiban menghilangkan kezaliman, termasuk memecat Khalifah jika melakukan kezaliman kepada rakyat atau menyalahi al-Quran dan al-Hadis). Selain dalam masalah kekuasaan perempuan diperbolehkan menjadi pimpinan swasta,biro, atau apapun yang tak terkait jabatan kekuasaan [Taqiyuddin an-Nabhani, Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah].
Menurut Muhammad bin Ahmad Ismail al Qadir, Al-Mar’ah bayna Takrîm al-Islâm wa Ihânah al-Jâhiliyah, wanita tidak dibolehkan menjabat khalifah (kepala negara). Alasannya, kepala negara dalam Islam adalah pemimpin masyarakat, pemimpin para intelektual dan cendekiawan baik Muslim maupun Muslimah. Khalifah pun mempunyai wewenang mengumumkan perang kepada musuh, memimpin pasukan di medan perang, dan memutuskan perselisihan-perselisihan yang terjadi diantara masyarakat. Kepala negara dalam Islam adalah juga orang yang mempunyai wewenang dan paling layak untuk menjadi imam dan khatib Jumat. Tidak bisa dipungkiri bahwa tugas-tugas tersebut tidak sesuai dengan tabiat wanita.
Selain hukum syari’ah di atas, masih terdapat banyak hukum yang diserang oleh feminis. Harusnya hal semacam ini tak terjadi jika kita memandang kehidupan dari kacamata akidah Islam. Menundukkan akal dan nafsu pada ketetapan Allah. Baik itu ketetapan yang berupa syariah, nilai baik-buruk dan benar-salah, ketetapan soal tujuan hidup, makna kemuliaan, dll.
Hal yang juga butuh diperhatikan, bahwa syariah-syariah diatas akan terasa rahmatnya baik bagi laki-laki dan perempuan jika hukum syariah diterapkan secara sempurna oleh negara. Negara memperhatikan pelaksanaan kewajiban para lelaki untuk menafkahi dengan membuka lapangan kerja seluas-luasnya untuk rakyat, bukan untuk tenaga kerja asing. Menerapkan hukum tanggungan, mendirikan baitul maal yang akan mengatur pemasukan dan pengeluaran negara sesuai syariah dengan mengembalikan sumber daya alam menjadi milik umum misalnya. Menggratiskan akses pendidikan dan kesehatan dengan kebijakan politik sesuai syariah, menerapkan kurikulum pendidikan Islam yang mewujudkan ketakwaan rakyat, dll. Hal iniakan menjadikan pelaksanaan syariah oleh laki-laki atau peempuan, ayah atau ibu menjadi selaras dan mewujudkan kebaikan dan keberkahan kehidupan masyarakat seluruhnya. Allahu a’lam