Bahasa Arab adalah Bahasa Islam

Oleh : Najmah Saiidah

Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar-Beberapa minggu lalu kita dikejutkan dengan pemberitaan bahwa akan dihapuskannya kurikulum pendidikan agama Islam (PAI) dan bahasa Arab untuk madrasah.  Dengan serta merta Kementerian Agama (Kemenag) meluruskan, bahwa yang akan dilakukan bukan menghapusnya, tapi yang hendak dilakukan adalah menyempurnakan kurikulum pendidikan agama Islam (PAI) dan bahasa Arab untuk madrasah. Penyempurnaan kurikulum ini tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 183 Tahun 2019 tentang Kurikulum Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah. Kurikulum baru ini digunakan mulai tahun ajaran 2020/2021 (Republika.co.id)

Perubahan pada materi bahasa Arab terutama penyempurnaan dalam penyajian dan metode pendekatan yang digunakan sehingga lebih menekankan pada pendekatan fungsional daripada struktural dan penyempurnaan kedalaman materi kurikulum mata pelajaran PAI pada madrasah aliyah peminatan Keagamaan serta penggunaan pengantar bahasa Arab pada pembelajaran PAI dan bahasa Arab pada MA Program Keagamaan (MAPK). (Republika.co.id)

Dari kejadian ini, sesungguhnya ada hal penting yang seharusnya menjadi perhatian umat Islam, yang seringkali luput bahkan tidak dianggap penting oleh sebagian kalangan, yaitu posisi bahasa Arab.  Bagaimana seharusnya umat Islammemposisikan bahasa Arab dan bagaimana sebenarnya pengaruh bahasa Arab bagi kemajuan umat ?

Fakta Berbicara

Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, dalam kitabnya Mafaahiim Hizbut Tahrir mengungkapkan bahwa kemunduran dunia Islam dikembalikan kepada satu hal, yaitu lemahnya pemahaman umat terhadap Islam, yang telah merasuk ke dalam pikiran kaum muslimin.  Ini berawal tatkala Bahasa Arab mulai diremehkan peranannya untuk memahami Islam sejak awal abad ke 7 Hijriyah, sehingga kekuatan yang dimiliki bahasa Arab dengan kharisma Islam terpisah.  Selama kekuatan yang dimiliki bahasa Arab tidak disatukan dengan kharisma Islam, yaitu dengan menempatkan bahasa Arab –yang merupakan bahasa Islam – sebagai unsur yang sangat pentingyang tidak terpisahkan dari Islam, maka kemunduran itu akan tetap melanda kaum muslimin.  Mengapa ? Karena bahasa Arab memiliki kekuatan besar yang telah turut mengembangkan kharisma Islam.  Islam dan bahasa Arab merupakan satu kesatuan.  Islam tidak mungkin dapat dilaksanakan secara sempurna kecuali dengan bahasa Arab.  Meremehkan bahasa Arab akan menghilangkan ijtihad terhadap syariat, karena ijtihad terhadap syariat tidak akan mungkin dilaksanakan tanpa terpenuhinya syarat mendasar, yaitu bahasa Arab.  Kedudukan ijtihad itu sendiri teramat penting bagi umat Islam, sehingga umat tidak akan memperoleh kemajuan tanpa adanya ijtihad. (Mafaahim Hizbut Tahrir halaman 3-4)

Demikianlah pentingnya bahasa Arab bagi kemajuan Islam, tidak aneh kemudian jika para musuh Islam berusaha memisahkan bahasa Arab dari Islam.  Awalnya, usaha tersebut gagal, karena kaum muslimin ketika melakukan penaklukan-penaklukan senantiasa membawa serta Kitabullah, sunah nabi, dan bahasa Arab. Mereka mengajarkan bahasa Arab, sehingga banyak dari golongan kaum ‘ajam (non-Arab) yang menguasai bahasa Arab, hingga menjadi mujtahid, seperti Abu Hanifah, penyair-penyair seperti Basyar bin Bard, serta penulis ulung  seperti Ibnu al-Muqaffa’. Saat itu, bahasa Arab dijaga kemurniannya dan diposisikan sangat penting karena kedudukannya sebagai bagian dari permata Islam, serta salah satu syarat ijtihad. Pemahaman Islam yang diambil dari sumber-sumbernya dan pengambilan istinbath hukum tidak mungkin diperoleh kecuali dengan penguasaan bahasa Arab. (Ad-Daulah Al Islamiyyah, karya Taqiyuddin An-Nabhani).

Pada abad 9 H/15 M,  Khilafah ‘Utsmani telah berhasil menyelamatkan pemerintahan dunia Islam yang saat itu tengah kalang kabut. Di abad 10 H/16 M, kekuasaan baru kaum muslimin itu berhasil menggabung negeri Arab dalam wilayahnya. Perkembangan selanjutnya, Khilafah ‘Utsmani terlalu sibuk dengan berbagai penaklukan-penaklukan, sementara bahasa Arab tersia-siakan. Dalam hal ini, Daulah ‘Utsmani tidak serius mengurusi Islam dalam aspek pemikiran dan perumusan hukum atau undang-undang. Akibatnya tingkat pemikiran dan pembentukan undang-undang merosot tajam.

Pada waktu itu, kelemahan Daulah tidak terdeteksi, disebabkan secara lahiriah negara memang tampak kuat, apalagi dibandingkan peradaban Eropa saat itu yang masih terpuruk. Serta munculnya masalah ketimuran, yang maknanya diartikan sebagai ketakutan Eropa terhadap serangan besar ‘Utsmani yang terus merayap di bawah kendali Muhammad al Fatih dan dilanjutkan para khalifah sesudahnya.

Masa kejayaan Daulah ‘Utsmani ini seharusnya dapat dimanfaatkan dengan meningkatkan perhatiannya terhadap bahasa Arab, menyemarakkan ijtihad dan memperhatikan aspek-aspek pemikiran dan perundang-undangan sehingga membentuk Daulah menjadi negara yang kokoh serta membawa Islam kepada seluruh umat manusia. Sayangnya peluang-peluang tersebut tidak dilaksanakan. Negara tidak menyemarakkan bahasa Arab selain dalam bidang-bidang pengajaran dan keilmuan semata, meski pada kenyataannya tidak berpengaruh apa-apa dalam memperkuat posisi bahasa serta tidak mengetuk pemikiran. Hal ini terjadi, karena posisi yang diberikan tidak diproyeksikan untuk menghidupkan bahasa Arab. Selain itu, bahasa Arab tidak diposisikan untuk pengembangan pemikiran dan fiqih. Keadaan ini pun dibiarkan terus berjalan hingga saat ini, umat Islam semakin jauh dari bahasa Arab. Akhirnya Islam semakin jauhdari kharismanya.

Urgensi Bahasa Arab

Mengenai kedudukan bahasa Arab sebagai potensi yang tidak boleh dipisahkan dengan potensi Islam, atau dengan kata lain harus diintegrasikan menjadi satu kekuatan (mazj at-thaqah al-lughawiyyah ma’a at-taqah al-Islamiyah) ini ditegaskan oleh Amirul Mukminin, ‘Umar bin al-Khttabh. Abu Bakar bin Abi Syibah menyatakan, “Kami telah diberitahu oleh ‘Isa bin Yunus dari Tsaur dari ‘Umar bin Yazid berkata, Khalifah ‘Umar telah menulis surat Abu Musa al-Asy’ari Ra.(Mafaahim Islamiyah)

“Amma ba’du, perdalamlah as-Sunnah, dan perdalamlah bahasa Arab, Kuasailah Bahasa Arab al-Qur’an adalah kitab berbahasa arab.” Dalam riawayat lain, “Pelajarilah bahasa arab, karena bahasa Arab itu bagian dari agama kalian. Pelajarilah berbagai kefardhuan, karena iapun bagian dari agama kalian.”

Karena itu, dimasa lalu, para sahabat menyebarkan Islam, dengan membawa al-Qur’an ditangan kanannya, dan bahasa Arab ditangan kirinya. Imam as-Syafii (w.204 H), menyatakan hukum mempelajari bahasa Arab adalah fardhu’ain :“Wajib bagi tiap Muslim untuk mempelajari bahasa Arab hingga kemampuannya bisa mengantarkannya untuk menunaikan kefarduan (yang ditetapkan kepada)-nya.”

Syaikh Islam, Ibn Taimiyah, menegaskan :

“Sesungguhnya bahasa Arab itu sendiri bagian dari agama; dan mengetahuinya hukumnya fardhu yang diwajibkan, Sebab, memahami al-Kitab dan as-Sunnah hukumnya fardhu. Sementara semuanya itu tidak bisa dipahami, kecuali dengan memahami bahasa arab.”Suatu kewajiban yang tidak bisa sempurna, kecuali dengannya, maka ia wajib.”

Ulama’ kemudian memilah hukumnya menjadi dua: Pertama, hukumnya fardhu ‘ain, bagi tiap Muslim agar bisa menjalankan kewajibannya dengan baik dan benar. Kedua, hukumnya fardhu kifayah, jika lebih dari kewajiban yang pertama, misalnya untuk berijtihad. Mengingat hukum ijtihad itu sendiri adalah fardhu kifayah.

Begitulah keistimewaan bahasa Arab, sebagai potensi yang tidak bisa dipisahkan dari kharisma/potensi Islam. Keduanya ibarat dua sisi mata uang, yang saling terkait. Jika Islam dipisahkan dari bahasa Arab, maka terjadilah kemunduran umat sebagaimana yang terjadi sebelumnya. Sebaliknya jika Islam disatukan dengan potensi bahasa Arab, maka berbagai kemajuan intelektual umat Islam akan berhasil diraih kembali, sebagaimana zaman kejayaannya.

Khatimah

Demikianlah, bahasa Arab adalah bahasa istimewa dan sangat penting. Ia tidak hanya merupakan alat komunikasi, tetapi merupakansebagai wasîlah memahami dan mendalami tsaqafah Islam, khususnya al-Qur’an dan al-Sunnah yang memang diungkapkan dalam bahasa arab. Umat harus menjadikan bahasa arab sebagai kunci memahami syari’ah, Al-’Allamah Ibrahim al-Baijuri al-Syafi’ menguraikan faidah mempelajari bahasa arab.  Pertama, Memelihara lisan dari kesalahan ketika berbicara. Kedua, Menggunakannya sebagai alat bantu memahami al-Qur’an dan al-Hadits. Bahkan, menurut beliau, para ulama sepakat bahwa ilmu nahwu adalah pengantar untuk seluruh disiplin ilmu (ilmu syar’i), terlebih ilmu tafsir dan ilmu hadits.

Tidak dipahaminya bahasa Arab, membuat pemahaman umat terhadap Alquran dan as-sunnah berkurang.  Mereka tidak mampu menangkap makna keduanya dengan baik, sehingga tidak bisa menggali hukum darinya.  Akibatnya, umat merasa bahwa Islam tidak mampu memberikan jawaban atas persoalan-persoalan umat dan mereka berpaling kepada hukum di luar Islam.

Dengan demikian, selama umat tidak memahami bahasa Arab dengan baik, Islam akan tetap terpuruk.  Esensi inilah yang seharusnya ditanamkan pada umat terutama para pelajar muslim saat belajar bahasa Arab, sehingga pengajaran bahasa Arab memiliki ruh yang membangkitkan.

Wallahu’alam bisshowab.